Refleksi Buku The Critique Of Pure Reason

THE CRITIQUE OF PURE REASON

by Immanuel Kant

Kata Pengantar Edisi Pertama, 1781

Perlunya pertimbangan pada bidang kognisi untuk pernyataan alam yang tidak bisa ditolak karena merupakan fenomena yang melampaui batas pikiran manusia. Manusia jatuh ke dalam kebingungan dan kontradiks, karena tidak dapat menjawab dengan prinsip-prinsip, yang digunakan telah melampaui batas-batas pengalaman. Konteks tanpa akhir disebut Metafisik.

Waktu adalah ratu semua ilmu. Fisiologi pemahaman manusia yang terkenal yaitu Locke, tidak bisa merujuk ke sumber yang lebih tinggi dari pengalaman umum. Mengakibatkan macetnya sains, jatuh kedalam kebingungan dan ketidakjelasan. Penalaran merupakan solusi untuk menjawab pertanyaan tentang kemungkinan atau ketidakmungkinan metafisika, penentuan asal, dan batas ilmu. Semua dilakukan atas dasar prinsip. Tidak ada satu masalah metafisik yang tidak menemukan solusi atau setidaknya kunci solusi. Akal murni adalah kesatuan yang sempurna. Terdapat batasan pada metafisik yaitu hanya pemeriksaan akal dan pikiran murni serta tidak jauh dari kognisi. Penalaran sederhana memiliki tugas untuk menjawab pertanyaan dengan alasan, tanpa materi dan dilengkapi pengalaman.

Dua kondisi yang diperlukan adalah kepastian dan kejelasan. Mengenai kepastian disasarkan pada apriori. Kejelasan diskursif atau logis merupakan konsepsi dan intuisi atau estetis oleh ilustrasi. Alasan spekulatif murni diperkenalkan dengan Metafisik Murni.

 

Kata Pengantar Edisi Pertama, 1787

Ketidakpastian menjadi ciri kemajuan ilmu pengetahuan. Zaman modern memperkenalkan kemampuan mental, seperti imajinasi, kecerdasan, metafisik, diskusi asal mula pengetahuan, perbedaan jenis kepastian, perbedaan objek (idealisme, skeptisisme, dan sebagainya), diskusi antropologis, penyebab dan perbaikan. Keberhasilan awal logika dikaitkan secara eksklusif. Matematika dan fisika adalah ilmu teoretis dengan objek murni apriori dan Sebagian dari sumber kognisi lain. Pengalaman mmode kognisi membutuhkan pemahaman yaitu apriori. Prinsip kebenaran dalam Critique of Pure Reason bersifat spekulatif dan praktis. Sistem filosofis tidak bisa maju dengan risalah matematika sedangkan struktur dianggap satu kesatuan.

 

PENGANTAR

Pengalaman adalah pengetahuan tentang objek. Pengetahuan yang terlepas dari pengalaman disebut a priori, sedangkan pengetahuan yang didasarkan pengalaman disebut a posteriori. Pengetahuan murni a priori adalah sesuatu yang tidak memiliki elemen empiris yang tercampur.

Apriori murni tidak diturunkan dari proposisi lain. Pengetahuan empiris diasumsikan dan induksi. Tidak seorangpun dapat mengakui keabsahan penggunaan aturan dalam kognisi apriori murni, Konsepsi substansi memiliki kedudukan didalam kognisi a priori murni. Semua ilmu teoritis tentang nalar, penilaian sintetis “a priori” terkandung sebagai prinsip :

1.      Penialaian matematis selalu sintetis. Proposisi matematika yang tepat adalah selalu menilai secara apriori, dan tidak empiris karena mereka menjalankannya dengan konsepsi sesuai kebutuhan yang tidak dapat diberikan melalui pengalaman. Analisis memerlukan konsepsi sedangkan sintesis memerlukan konsepsi.

2.      Ilmu filsafat alam (fisika) mengandung penilaian sintetik a priori.

3.      Metafisik menurut tujuan ilmu yang tepat mengandung proposisi sintetik apriori.

Masalah universal dari Pure Reason

      Penilaian sintetik diposisikan secara a priori. Ketidakmungkinan sintetik a priori tergantung keberadaan metafisik. Davide Huem mengungkapkan bahwa metafisika hanyalah khayalan biasa. Matafisik harus dianggap benar-benar ada. Jika bukan sebagai ilmu namun sebagai watak alami manusia. Ketidakmampuan metafisik dalam penilaian dibatasi ketat oleh alasan murni. Untuk penalaran manusia diperlukan suatu ilmu yang darinya setiap cabang dapat ditanggungnya atau dipotong, tetapi akarnya tetap tidak bisa dihancurkan.

 

Bagian I. Ruang

SS.2 . Metafisik eksposisi dari konsep

Indera eksternal (pikiran) artinya mewakili diri sebagai diri sebagai objek. Indera internal artinya tidak memberi intuisi jiwa sebagai objek.

1.      Ruang bukanlah konsepsi yang diturunkan dari pengalaman luar, melainkan melalui antiseden.

2.      Ruang merupakan representasi a priori dari intuisi eksternal.

3.      Ruang bukanlah diskrutif tapi intuisi murni atau intuisi a priori yang tidak empiris dengan kepastian apodeiktik.

4.      Ruang direpresentasikan sebagai kuantitas tertentu yang tidak terbatas. Representasi ruang adalah intuisi a priori dan bukan konsepsi.

 

SS. 4.  Keseimpulan dari konsepsi sebelumnya

1.      Ruang tidak merepresentasikan objek dan tidak mewakili hubungan antar objek.

2.      Ruang adalah wujud dari fenomena eksternal yaitu subyektif dan sensibilitas.

Sensibilitas adalah suatu kondisi yang diperlukan dari semua hubungan dimana objek dapat diintuisi sebagai yang ada tanpa kita dan ketika abstraksi benda-benda ini dibuat disebut intuisi murni yang diberi nama ruang. Ruang berisi semua yang didapat secara eksternal Jika kita menggabungkan batasan penilaian konsepsi subjek, maka penialaian akan memiliki validitas tanpa syarat. Tetapi jika menggabungkan kondisi konsepsi maka aturan tersebut berlaku secara universal dan tanpa batasan apapun. Ruang yang tidak ada representasi subjektif dan mengacu pada sesuatu diluar pikiran disebut objektif a priori.

Bagian II. Waktu

SS.5. Metafisik eksposisi dari konsep

1.      Waktu bukanlah konsepsi empiris

2.      Waktu adalah representasi yang didasarkan intuisi

3.      Waktu sebagai a priori dan apodeiktik prinsip hubungan waktu atau aksioma waktu

4.      Waktu bukanlah diskursif atau konsepsi umum tetapi murni bentuk intuisi

5.      Ketidakterbatasan waktu sebagai penanda tidak lebih dari yang ditentukan kuantitas waktu.

SS.7.  Keseimpulan dari konsepsi sebelumnya

1.    Waktu bukanlah sesuatu yang ada dengan sendirinya atau penentuan objektif dan tetap, ketika abstraksi dibuat dari kondisi subjektif dari intuisi

2.    Waktu adalah bentuk dari indera internal yaitu intuisi, karena semua hubungannya dapat di ekspresikan dalam intuisi eksternal

3.    Waktu adalah kondisi formal dari semua fenomena apapun. Ruang bentuk murni intuisi eksternal.

     Waktu adalah kondisi a priori dari semua fenomena apapun, kondisi langsung dari semua internal dan kondisi perantara dari semua fenimena eksternal. Waktu adalah kondisi subjektif dari intuisi. Realitas empiris waktu artinya validitas objeknya mengacu pada semua objek yang ada pada indera.

 

II. Identitas eksternal dan internal dari semua objek dianggap fenomena belaka.

Pengertian eksternal tidak ada tetapi hanya representasi dari hubungan yang diberikan.  Pengertian eksternal tersebut dalam representasi hanya dapat berisi relasi objek ke subjek tetap, bukan sifat esensial dari objek sebagai bend aitu sendiri.

III. Intuisi objek eksternal dan intuisi subjek dalam ruang dan waktu

IV. Teologi murni tidak menjadi objek intuisi karena mengandung batasan. Manusia berpikir terbatas karena disimpulkan dan bukan yang asli, akibatnya bukan intuisi intelektual.

SS.10. Kesimpulan dari trasendental estetika

Ruang dan waktu merupakan intuisi a priori murni. Intuisi murni tidak menjangkau hal diluar objek indera, hanya berlalu untuk objek yang memungkinkan pengalaman

 

Bagian II. Trasedental Logis

Perkenalan. Ide dari trasendental logis

I. Logis secara umum

Sumber utama pengetahuan dalam pikiran  yaitu menerima representasi. Pikiran tanpa isi itu adalah hampa, intuisi tanpa konsepsi itu buta. Oleh karena itu, pikiran perlu membuat konsepsi sensual untuk membuat intuisinya dipahami. Kekuatan mengenali representasi, keduanya murni dan empiris. Logika ada dua macam logika umum dan logika khusus, unsur atau murni atau terapan atau empiris atau subjektif atau ilmu tertentu. Ahli logika hanya memenuhi dua aturan:

1.      Sebagai logika umum abstraksi dari bentuk pikiran

2.      Sebagai logika murni tidak memiliki prinsip murni.

 

II. Transedental Logis

Logika umum memperlakukan bentuk pemahaman yang diterapkan pada representasi. Representasi (intuisi dan konsepsi) diterapkan hanya a priori dari kognisinya dan penggunaan a priori itu trasendental. Perbedaan yang trasendental dan empiris hanya milik kognisi dan tidak menyangkut hubungan dengan objek mereka. Konsepsi menghubungkan a priori dengan objek bukan intuisi murni tetapi empiris.

 

III. Pembagian logis umum antara analitik dan dealitik

     Definisi dari kata kebenaran adalah yang sesuai dari kognisi dengan objeknya. Sebuah pertanyaan yang ditolak masuk akal dan tidak dapat dikenali dari jawaban rasional itu berbahaya. Jika kebenaran terdiri dari kesesuaian antara kognisi dan objeknya. Kognisi palsu jika tidak sesuai dengan objek yang terkait. Kebenaran benar jika apa yang berlaku untuk semua kognisi.

     Kriteria kebenaran logis yaitu kesesuaian antara kognisi dengan yang universal dan hukum formal pemahaman dan nalar. Logika umum dalam karakter asumsinya organon (instrumen) disebut dialektika. Logika umum sebagai organon menjadi logika ilusi yaitu dialektika.

 

 

 

IV. Pembagian transendental logis dari transedental analitik dan dialektik.

Logika trasendental yang tidak ada objek yang dipikirkan bersifat analitik trasendental.  Logika yang menilai menggunakan empiris dari pemahaman bersifat sintetik yang kemudian disebut dialektis.

 

Transedental Logis. Pembagian Pertama

SS 1. Transedental analitik

Analisis transedental adalah pembedahan dari seluruh pengetahuan a priori menjadi kognisi murni dari pemahaman.

Tujuan transedental analitik adalah : (1) agar konsepsi menjadi murni dan tidak empiris, (2) bukan intuisi dan sensibilitas tetapi berpikir untuk memahami, (3) konsepsi dasar berbeda dari kesimpulan majemuk presepsi, (4) konsepsinya memenuhi seluruh lingkup pemahaman murni.

 

SS 2. Analitik konsepsi

Analitik konsepsi adalah pembedahan pemahaman untuk menyelidiki kemungkinan konsep apriori dengan menganalisis penggunaan pikiran murni. Tugas filosofis transedental adalah pembenaran logis pada konsepsi dalam filsafat secara umum.

 

Bagian I. Petunjuk transedental dalam penemuan pemahaman konsepsi murni

SS 3. Pengenalan

Keunggulan mencari konsepsi menurut prinsip, konsepsi murni dan tidak bercampur dengan pemahaman mutlak, dan saling terhubung antar satu konsepsi atau ide.

 

SS 4. Bagian 1. Definisi dari penggunaan pemahaman secara umum

Pemahaman adalah kognisi melalui konsep bukan intuitif tetapi diskursif . Intuisi bergantung pada konsepsi bergantung pada spontanitas,

 

SS 5. Logika pemahaman dalam penilaian

 

1

 

 

Kuantitas penilaian

 

 

Universal

 

 

Partikular

 

 

Singular

 

 

 

 

2

 

3

Kualitas

 

Relasi

Afirmatif

 

Kategori

Negatif

 

Hipotesis

Infinite

 

Disjungsi

 

4

 

 

Modaliti

 

 

Problem

 

 

Assertorical

 

 

Apodeictical

 

 

 

 

Penjelasan:

1.      Ahli logika mengatakan dengan keadilan, penggunaan penilaian dalam silogisme, penilaian tunggal dapat diperlakukan penilaian universal.

2.      Logika transendental memiliki keterbatasan yang dibedakan dari penilaian afirmatif meskipun secara logika umum benar.

Pemikiran dalam penilaian adalah (a) dari predikat untuk subjek; (b) dari prinsip untuk konsekuensinya; (c) dari yang terbagi kognisi dan semua anggota divisi satu sama lain

Modalitas penilaian adalah karaktersitik pembeda, yaitu tidak memberikan kontribusi apa pun pada konten penilaian (karena selain kuantitas, kualitas, dan hubungan, tidak ada apa-apa lebih dari yang merupakan isi keputusan), tetapi menyangkut dirinya sendiridalam hubungannya dengan pemikiran secara umum. 

Logika umum membuat abstraksi dari semua konten

kognisi, dan mengharapkan untuk menerima representasi dari beberapa kuartal lainnya,

agar, melalui analisis, untuk mengubahnya menjadi konsepsi. 

 

Tetapi spontanitas pemikiran mengharuskan keragaman ini diuji- di dalam dengan cara tertentu, diterima ke dalam pikiran, dan terhubung membentuk kognisi darinya. Proses ini saya sebut sintesis.

 

Tugas logika transendental adalah mereduksi menjadi konsepsi, bukan representasi, tetapi sintesis murni representasi.   

 

Konsepsi primitif dari pemahaman murni, juga memiliki konsepsi yang direduksi dalam sistem lengkap ilmu pengetahuan transendental,

 

Representasi yang bisa diberikan sebelumnya untuk semua pikiran disebut intuisi. Murni persepsi, untuk membedakannya dari empiris; atau ap- primitive persepsi, karena itu adalah kesadaran diri yang, ketika melahirkan ke representasi .

 

Kesatuan dari apersepsi sebut sebagai kesatuan transendental kesadaran diri, untuk menunjukkan kemungkinan apriori kognisi yang timbul darinya Prinsip fundamental dari kesatuan apersepsi yang diperlukan adalah memang proposisi yang identik, dan karena itu analitis; tapi tidak pernah- kurang menjelaskan perlunya sintesis

Prinsip tertinggi kemungkinan semua intuisi dalam hubungannya dengan sensibilitas, menurut estetika transendental bahwa semua manusia dalam intuisi tunduk pada kondisi formal ruang dan waktu.

 

Semua penyatuan representasi membutuhkan kesatuan kesadaran dalam sintesis. Akibatnya, itu adalah kesatuan kesadaran sendiri yang merupakan kemungkinan representasi yang berkaitan dengan suatu objek,

 

Sebuah penilaian, yaitu, suatu hubungan yang memiliki validitas objektif, dan sangat berbeda

dari hubungan representasi yang sama yang hanya memiliki validitas suatu hubungan, dengan kecerdasan, yang diproduksi menurut hukum asosiasi. 

 

Intuisi sensual adalah intuisi murni (ruang dan waktu) atau empiris intuisi  yang langsung diwakili dalam ruang dan waktu sarana sensasi yang nyata. Melalui penentuan intuisi murni

kita memperoleh kognisi apriori objek, seperti dalam matematika, tetapi hanya sebagai menganggap bentuk mereka sebagai fenomena; 

Akibatnya konsepsi pemahaman murni, bahkan ketika  diterapkan pada intuisi a priori (seperti dalam matematika), menghasilkan kognisi hanya sejauh ini (dan karena itu konsepsi pemahaman melalui mereka) dapat diterapkan pada intuisi empiris kategori hanya berfungsi untuk membuat empiris kognisi

 

Konsepsi murni pemahaman berlaku untuk objek intuisi secara umum, melalui pemahaman  Realitas objektif, yaitu aplikasi pada objek yang diberikan intuisi, tetapi itu hanya sebagai fenomena, karena itu hanya fenomena mampu melakukan intuisi apriori.

Sintesis imajinasi adalah Tindakan spontanitas, yang determinatif, dan bukan, seperti indra.

 

Internal yaitu bagaimana indra ini mewakili kita pada kesadaran kita sendiri,

hanya ketika kita muncul pada diri kita sendiri, bukan seperti kita dalam diri kita sendiri, karena, untuk kecerdasan, kita intuisi diri kita sendiri hanya karena kita dipengaruhi secara batiniah. Yang menentukan indera internal adalah pemahaman, dan pengertiannya

kekuatan asli menggabungkan berbagai intuisi,

SS 22. Pengurangan Transendental dari kemungkinan pengalaman

 

Dalam deduksi metafisik, asal mula kategori dibuktikan dengan kesesuaianya dengan logika pemikiran; dalam deduksi transendental menunjukkan kemungkinan kategori sebagai kognisi apriori objek intuisi.

 

kategori sintesis yang homogen dalam sebuah intuisi; yaitu kategori kuantitas,

yang mana sintesis pemahaman tersebut di atas, yaitu, persepsi harus benar-benar sesuai.

Kategori adalah konsepsi yang menetapkan hukum apriori untuk fenomena. Kognisi empiris pengalaman; akibatnya tidak ada kognisi apriori yang mungkin bagi kita, kecuali objek dari pengalaman.

 

BUKU II.

Logika umum dibangun di atas rencana  kognisi Logika transendental, terbatas pada konten penentu, yaitu kognisi apriori murni, tepatnya, tidak dapat meniru logika umum.

Logika umum tidak mengandung arahan penilaian, juga tidak dapat berisi apa pun. pemahaman mampu diinstruksikan oleh aturan.

 

DOKTRIN TRANSSENDENTAL

PENILAIAN ATAU ANALITIK PRINSIP.

BAB I. Skema di Konsepsi Murni

 

Konsepsi harus mengandung apa yang direpresentasikan dalam objek yang akan dituju

dimasukkan di bawahnya. Representasi mediasi ini harus murni (tanpa empiris apapun

konten), namun di satu sisi harus menjadi intelektual,  Representasi seperti itu adalah skema transendental.

Konsepsi pemahaman mengandung kesatuan sintetik murni manifold pada umumnya. Waktu, sebagai kondisi formal bermacam-macam pengertian internal, akibat dari hubungan semua representasi,

Realitas, dalam konsepsi murni pemahaman, adalah apa yang menanggapi sensasi secara umum; bahwa, akibatnya, konsepsi yang menunjukkan waktu. Negasi adalah konsepsi yang mewakili suatu ketidak-keberadaan (dalam waktu). 

Skema kemungkinan adalah kesesuaian dari sintesis yang berbeda representasi dengan kondisi waktu secara umum (seperti, misalnya, berlawanan tidak bisa ada bersama pada saat yang sama dalam hal yang sama, tetapi hanya setelah satu sama lain), dan oleh karena itu penentuan perwakilan. Skema realitas adalah keberadaan dalam waktu yang ditentukan.

Skema kebutuhan adalah keberadaan suatu objek di sepanjang waktu.

 

SISTEM PRINSIP MURNI DI BAWAH

KEDUDUKAN.

Prinsip pemahaman murni adalah:

1Aksioma Intuisi

2Antisipasi Persepsi

3 Analogi Pengalaman

4 Postulat Pemikiran Empiris secara umum

 

1. AXIOMS ​​OF INTUITION.

Prinsipnya adalah: Semua Intuisi adalah Kuantitas Ekstensif.

BUKTI.

Jenis kombinasi kedua (nexus) adalah sintesis manifold, sejauh bagian-bagiannya memang menjadi milik satu sama lain. Aksioma haruslah proposisi sintetik apriori. Empiris

intuisi hanya mungkin melalui intuisi murni (ruang dan waktu). Sintesis ruang dan waktu

sebagai bentuk esensial dari semua intuisi, adalah yang memungkinkan pemahaman tentang suatu fenomena, dan karenanya setiap pengalaman eksternal, akibatnya semua kognisi objek pengalaman; dan matematika.

 

2. ANTISIPASI PERSEPSI.

Prinsip dari ini adalah: Dalam semua fenomena yang Nyata, apa adanya

sebuah objek sensasi, memiliki Kuantitas Intensif, yaitu memiliki Derajat.

BUKTI.

Persepsi adalah kesadaran empiris, artinya, kesadaran yang mengandung unsur sensasi. Fenomena sebagai objek persepsi tidak murni, yaitu, hanya intuisi formal, seperti ruang dan waktu, bagi mereka tidak dapat dirasakan dalam diri mereka sendiri.

 

3. ANALOGI PENGALAMAN.

Prinsip dari ini adalah: Pengalaman hanya mungkin melalui perwakilan

sentasi koneksi yang diperlukan dari Persepsi.

BUKTI.

Pengalaman adalah kognisi empiris; Artinya, kognisi yang menentukan objek melalui persepsi. Oleh karena itu, ini merupakan sintesis dari persepsi, sintesis yang tidak terkandung dalam persepsi itu sendiri, tetapi yang mengandung kesatuan sintetik dari ragam persepsi dalam kesadaran; dan kesatuan ini merupakan inti dari kognisi kita objek indera, yaitu pengalaman (bukan hanya intuisi atau sensasi). 

 

A. ANALOGI PERTAMA.

Prinsip Keabadian Zat.

Dalam semua perubahan fenomena, substansi bersifat permanen, dan kuantum

darinya di alam tidak bertambah atau pun berkurang.

 

B. ANALOGI KEDUA.

Prinsip Suksesi Waktu Menurut Hukum Cau-

sality. Semua perubahan terjadi sesuai dengan hukum koneksi

Sebab dan Akibat.

 

C. ANALOGI KETIGA.

Prinsip Hidup Berdampingan, Menurut Hukum Timbal Balik atau Masyarakat.

 

4. POSTULAT PIKIRAN EMPIRIS.

1. Apa yang sesuai dengan kondisi formal (intuisi dan konsep) pengalaman, adalah mungkin.

2. Apa yang sesuai dengan kondisi material dari pengalaman(sensasi), itu nyata.

3. Yang sesuai dengan yang nyata ditentukan menurut kondisi pengalaman universal diperlukan.

 

REFUTASI IDEALISME.

Idealisme material adalah teori yang menyatakan keberadaan objek di ruang angkasa tanpa kita menjadi () ragu-ragu dan mandiri. monstrable, atau (2) false dan tidak mungkin. Yang pertama adalah ide yang bermasalah, yang mengakui kepastian yang tidak diragukan dari hanya satu pernyataan empiris (assertio), tepatnya, "Saya." Yang kedua adalah dogmatis

idealisme

 

DALIL.

Kesadaran sederhana namun ditentukan secara empiris dari eksistensi saya sendiri-

ence membuktikan keberadaan benda-benda luar di ruang angkasa.

 

KETERANGAN UMUM TENTANG SISTEM PRINSIP.

Realitas adalah hubungan antara benda dengan persepsi. membuktikan proposisi sintetik melalui konsepsi belaka, misalnya: “Segala sesuatu yang ada memiliki penyebab,” tidak pernah berhasil. Keberadaan kontingen, yaitu bisa bukan apriori melalui pemahaman, menyadari keberadaan hal seperti itu; tetapi tidak berarti bahwa ini juga merupakan kondisi kemungkinan dari hal itu sendiri yang dikatakan kontingen. Segala sesuatu yang bergantung harus memiliki penyebab, ”jelas bagi setiap orang hanya dari konsepsi, bukan untuk menjadi

Oleh karena itu, ketiadaannya menjadi mungkin, dan kita menjadi sadar akan keberadaannya kontingensi dari fakta bahwa itu hanya bisa ada sebagai akibat dari suatu sebab. Oleh karena itu, jika sesuatu diasumsikan kontingen, itu adalah proposisi analitis untuk mengatakan, itu memiliki penyebab.

 

Jika, misalnya, kita mengambil konsepsi murni tentang relasi, kita temukan

bahwa (1) untuk tujuan menyajikan konsepsi substansi; (2) untuk merepresentasikan perubahan sebagai intuisi yang sesuai.

 

Refleksi transendental adalah tugas yang tidak ada seseorang dapat diabaikan.

pertanyaan mengenai penentuan pemahaman.:

1. Identitas dan Perbedaan. 

2. Persetujuan dan Oposisi. 

3. Bagian Internal dan Eksternal. 

4. Materi dan Bentuk. Kedua konsepsi ini menjadi dasar dari semuanya

refleksi lainnya, begitu tak terpisahkan mereka terhubung dengan setiap mode

melatih pemahaman. 

 

1.        MATERI DAN BENTUK

Dua konsepsi ini berada dalam fondasi dari semua refleksi lainnya, sehingga tidak terpisahkan karena terhubung dengan setiap modus pelaksanaan pemahaman. Dalam sebuah penilaian, disebut sebagai konsepsi materi logis (dalam penilaian), di mana hubungan ini satu sama lain (melalui copula) merupakan bentuk penilaian. Dalam sebuah objek, bagian-bagian kompositnya (esentialia) adalah materi, modus di mana berhubungan dengan objek, yakni bentuk. Oleh karena itu, dalam sebuah konsepsi pemahaman murni, materi mendahului bentuk, dan untuk alas an ini Leibnitz mengasumsikan adanya benda-benda (monad) dan daya internal representasi mereka, untuk menemukan hubungan eksternal serta keadaan komunitas (representasi). Menurutnya, ruang dan waktu adalah mungkin yang melalui hubungan substansi, hubungan determinasi satu sama lain, serta sebagai penyebab dan akibat. Tetapi, karena bersifat intuisi inderawi, di mana menentukan semua objek semata-mata karena sebagai fenomena, yakni bentuk intuisi (sebuah sifat subjektif dalam sensibilitas) maka ruang dan waktu harus mendahului sebuah fenomena dan semua data dari pengalaman, sehingga membuat pengalaman tersebut menjadi mungkin. Namun, karena intuisi inderawi adalah suatu kondisi yang subjektif yang khas, yang merupakan apriori semua persepsi, dan bentuknya yang primitive, bentuk tersebut harus ditentukan sendiri berdasarkan materi (benda-benda yang muncul) yang terletak dalam pengalaman, maka kemungkinan tersebut mengandaikan sebuah intuisi formal tertentu (ruang dan waktu).

 

KOMENTAR TERHADAP AMPHIBOY TENTANG KONSEPSI REFLEKSI

Topik tentang Aristotelea didasarkan, di mana para guru dan ahli retorika bisa mengambil manfaat di bawah judul pemikiran tertentu untuk mengamati apa yang terbaik sesuai dengan materi yang dibahas, dan dengan demikian memungkinkan kita untuk berdalih dan berbicara dengan kefasihan sehingga akan memunculkan kedalaman. Sebaliknya, topik transendental mengandung tidak lebih dari empat tingkatan yang berbeda kategorinya, sehingga mereka tidak merepresentasikan objek yang sesuai dengannya, yang merupakan konsepsi (kualitas, realitas) tetapi menetapkan perbandingan dalam representasi, yang mendahului konsep tentang benda. Namun, jika menggunakan konsepsi mengenai objek, refleksi transendental sangat diperlukan. Penjelasan tentang konsepsi refleksi memberi keuntungan tak terduga karena mampu menunjukkan kekhasan sistem dalam setiap bagiannya, dan mengungkap prinsip dasar modus pemikiran. Leibnitz mengintelektualkan fenomena, sama seperti Locke, di dalam sistem noogony  dengan meninderawikan konsep pemahaman, yaitu menyatakan tidak lebih dari sekedar konsepsi empiris atau konsepsi refleksi abstrak. Oleh karena itu, ia hanya membahas tentang konsepsi objek, bukan posisi mereka dalam intuisi, di mana objek itu sendiri dapat diberikan, dan pandangan lokal transendental  dalam konsepsi ini yaitu objek harus digolongan dari beberapa fenomena. Tetapi, jika fenomena dalam ruang, ia memiliki sebuah tempat bukan hanya pemahaman, tetapi juga dalam intuisi eksternal inderawi (dalam ruang). Prinsip realitas (sebagai afirmasi sederhana) tidak pernah secara logis bertentangan. Mekanika umum dapat memberi kondisi empiris dari pertentangan ini dalam sebuah aturan apriori, karena mengarahkan perhatian pada pertentangan suatu kondisi dimana konsepsi realitas transendental.

Monadologi Leibnitzian tidak memiliki dasar yang lebih baik daripada modus filsuf dalam merepresentasikan perbedaan internal dan eksternal dalam kaitannya dengan pemahaman. Substansi harus memiliki sesuatu secara batin, karena bebas dari hubungan eksternal, yang berakibat pada komposisi. Doktrin para filsuf yang terkenal mengenai ruang dan waktu, di mana mengintelektualkan bentuk-bentuk sensibilitas, yang berasal dari khayalan tentang refleksi transendental. Leibnitz menganggap ruang sebagai urutan tertentu dalam komunitas substansi, dan waktu sebagai urutan dinamik. Ruang dan waktu memiliki kebenaran dan bebas dari benda-benda, di mana sesuatu yang hanya merupakan bentuk hubungan dinamik dipercaya sebagai intuisi yang ada. Ruang dan waktu dapat dipahami sebagai bentuk hubungan dengan bena-benda. Tapi benda-benda adalah substansi yang dapat dipahami (substantiae noumena). Materi adalah substansia phaenomenon. Bahwa di dalamnya bersifat internal. Sesuatu yang benar-benar internal dalam materi, harus sesuai dengan pemahaman murni, karena materi bukan merupakan objek bagi pemahaman murni. Tetapi merupakan objek transendental, yang merupakan dasar dari fenomena yang disebut materi dan yang hanyalah merupakan nescio quid yang sifatnya tidak bisa dimengerti. Pertanyaan transendental yang melewati batas-batas alam, kita tidak bisa menjawabnya, karena tidak memiliki kekuatan untuk mengamati pikiran dengan intuisi kecuali dengan indera internal. Penerapan sebuah objek dan landasan transedental dari kesatuan subjektif dan objektif ini sangat tersembunyi, sehingga sebagai fenomena kita tidak dapat menemukan apapun di dalam eksistensi kecuali penyebab non-inderawi. Eksposisi penyebab amphiboly dari konsepsi ini, sebagai asal-usul prinsip-prinsip palsu adalah penggunaan yang besar dalam menentukan batas pemahaman. Sistem keseluruhan  intelektual Leibnitz didasarkan pada prinsip palsu ini. Prinsip Leibnitz mengenai identitas yang tidak dapat dikenal dengan jelas dapat dibedakan dengan benar didasarkan anggapan bahwa dalam konsepsi terdapat perbedaan tertentu, sehingga segala sesuatu benar-benar identik (numero eadem) yang tidak dapat dibedakan satu sama lain. Jika seseorang disini menginginkan untuk eminta dalih dan mengatakan bahwa setidaknya realitates noumena tidak bisa bertentangan satu sama lain hal itu akan menjadi syarat bagi dia untuk mengemukakan sebuah contoh tentang realitas murni  dan non-inderawi, sehingga bisa dimengerti apakah gagasan tersebut merepresentasikan sesuatu atau tidak sama sekali. Tetapi sebuah contoh tidak dapat ditemukan kecuali dalam pengalaman, yang tidak pernah menyajikan kepada  apapun kecuali fenomena, dan dengan proporsisi tersebut tidak berarti apa-apa selain hanya konsepsi yang berisi pernyataan yang tidak mengandung sesuatu yang negatif sebuah proporsisi yang tak seorang pun pernah meragukannya. Oleh karena itu, kita memikirkan sesuatu secara umum dan di satu sisi menentukannya secara inderawi, tapi di sisi lain membedakan yang umum dan in abstracto merepresentasikan objek dari modus tertentu yang mengintuisinya. Konsepsi tertinggi adalah pembagian ke dalam yang mungkin dan tidak mungkin. Kategori hanya merupakan konsepsi yang berlaku untuk objek secara umum, dengan membedakan objek apakah ia merupakan sesuatu atau bukan sesuatu yang harus bergerak maju sesuai dengan urutan dan arah dari kategori tersebut.

1.        Mengenai kategori kuantitas, yaitu konsepsi tentang semuanya, yang banyak, dan yang satu, konsepsi tersebut meniadakan semuanya, yaitu konsepsi dari yang tidak ada yang bertentangan dengannya.

2.        Realitas adalah sesuatu, penyangkalan bukan sesuatu, yaitu sebuah konsepsi mengenai tiadanya objek, sebagai sesuatu yang hampa, dan sebagai bayangan (nihil privativum).

3.        Bentuk intuisi saja tanpa substansi dalam dirinya sendiri tidak ada objek (sebagai fenomena), sebagai ruang dan waktu yang murni.

4.        Objek dari sebuah konsepsi yang berlawanan dengan dirinya sendiri adalah bukan sesuatu, karena konsepsi bukan sesuatu adalah mustahil, sebuah gambar yang disusun dari dua garis lurus (nihil negativum).

LOGIKA TRANSENDENTAL

BAGIAN KEDUA

DIALEKTIKA TRANSENDENTAL

PENGANTAR

1.        TENTANG PENAMPAKAN ILUSI TRANSENDENTAL

Kita menyebut dialetika secara umum sebagai logika penampakan. Ini bukan berarti sebagai doktrin probabilitas, karena kemungkinan adalah kebenaran, yang hanya dipikirkan dengan landasan yang kurang memadai, dan meskipun informasi ini tidak memberi kita sesuatu yang sempurna, namun informasi ini tidak menipu. Fenomena dan penampakan dapat dianggap identic. Karena kebenaran atau penampakan ilusi tidak berada dalam objek. Dalam sebuah kognisi yang sepenuhnya selaras dengan hokum pemahaman, tidak ada kesalahan yang ada. Dalam sebuah representasi terhadap Indera karena tidak mengandung penilaian apapun maka didalamnya juga tidak ada kesalahan. Tapi, karena kita tidak memiliki sumber kognisi selain keduanya, maka boleh dikatakan bahwa kesalahan disebabkan oleh pengaruh sensibilitas yang tidak diamati berdasarkan pemahaman. Sensibilitas, yang tunduk pada pemahaman sebagai objek di mana pemahaman melaksanakan fungsinya, adalah sumber nyata kognisi. Namun, sejauh ia melakukan pengaruhnya atas tindakan pemahaman dan menentukan terhadap penilaian, sensibilitas dengan sendirinya merupakan penyebab kesalahan. Transendental dan transenden adalah istilah yang tidak identik. Prinsip-prinsip pemahaman murni, di mana kita sudah membahasnya, seharusnya bersifat empiris dan bukan penggunaan transendental, yakni mereka tidak berlaku untuk setiap objek yang berada di luar lingkup pengalaman. Sebuah prinsip yang menghilangkan batas-batas ini, yang memiliki kewenangan terhadap kita untuk melangkah disebut transenden. Ilusi transendental sebaliknya tidak berhenti eksistensinya, bahkan ia ditunjukkan dan dapat dirasakan melalui kritik transendental. Misalnya, ilusi dalam proporsisi: “dunia pasti memiliki sebuah awal waktu.” Penyebab hal ini diantaranya dalam akal budi kita, yang secara subjektif dianggap sebagai kognisi manusia, ada aturan dasar dan penerapan yang merupakan penampakan dari prinsip-prinsip yang objektif. Oleh karena itu ada sebuah dialetika alami dan dialetika akal budi murni yang tidak dapat dihindari, bukan karena didalamnya ada kekurangan, tetapi merupakan sebuah pelengkap yang tak terpisahkan dari akal budi manusia.

 

 

2.        TENTANG AKAL BUDI MURNI SEBAGAI TEMPAT BAGI PENAMPAKAN ILUSI TRANSENDENTAL

A.      TENTANG AKAL BUDI SECARA UMUM

Menurut analogi konsepsi dari pemahaman, bahwa konsepsi logis memberi kunci bagi konsepsi Transendental. Transendental mendefinisikan pemahaman sebagai prinsip-prinsip. Istilah prinsip sangat ambigu. Setiap proposisi umum, dapat memiliki fungsi utama dalam silogisme, tetapi bukan dalam prinsip akal budi. Setiap silogisme adalah bentuk deduksi dari kognisi sebuah prinsip. Karena sebuah kognisi berfungsi sebagai proposisi major dalam silogisme, dan pemahaman memberikan proposisi apriori yang bersifat umum. Mempertimbangkan prinsip pemahaman murni akan menemukan sesuatu berdasarkan konsepsi. Sehingga segala sesuatu yang terjadi memiliki penyebab. Sebaliknya prinsip kaulitas mengajarkan untuk mendapatkan sesuatu sebagai sebuah konsepsi empiris yang menentukan. Pengetahuan tentang prinsip merupakan sesuatu yang sangat berbeda dari kognisi melalui pemahaman. Pemahaman tersebut merupakan sebuah kesatuan fenomena berdasarkan aturan. Alasanya adalah bahwa kesatuan aturan berada di bawah beberapa prinsip. Oleh karena itu, akal budi tidak diterapkan secara langsung ke dalam pengalaman, atau terhadap objek inderawi. Sebaliknya, objeknya adalah pemahaman, di mana sebagai kognisi memberikan suatu kesatuan apriori melalui konsepsi sebuah kesatuan yang mungkin disebut sebagai kesatuan rasional, yang merupakan sifat yang berbeda dari kesatuan yang dihasilkan oleh pemahaman.

 

B.       TENTANG PENGGUNAAN LOGIKA DALAM AKAL BUDI

Dalam setiap penggunaan akal budi atau silogisme, ada proposisi yang bersifat mendatar, ditarik dari silogisme, dan ditarik kesimpulan, yang akan menghubungan kebenaran pertama dan kedua. Jika penilaian terdapat dalam proposisi pertama dapat dapat disimpulkan tanpa  memikirkan gagasan ketiga yang disebut kesimpulan langsung (consequential immediata). Tapi jika selain kognisi yang mendasar, sebuah penilaian diperlukan untuk menghasilkan kesimpulan, maka disebut sebagai kesimpulan dari akal budi. Dalam proposisi, semua manusia fana, tidak ada manusia yang tidak fana. Dalam setiap silogisme, pertama memikirkan sebuah aturan (major) melalui pemahaman. Kemudian menggolongkan kognisi berdasarkan kondisi atauran (bersifat minor) melalui penilaian. Serta menentukan kognisi dengan predikat aturan (conclusio) sehingga bisa menentukan secara apriori melalui akal budi. Ada tiga jenis analog dalam pemahaman yaitu kategori, hipotetis, dan disjungtif. Akal budi bertujuan untuk tunduk pada berbagai macam kognisi pemahaman beberapa prinsip (kondisi umum), dan dapat menghasilkan di dalamnya kesatuan yang tertinggi.

 

C.      PENGGUNAAN AKAL BUDI MURNI

Prosedur formal dan logis bagi akal budi dalam silogisme memberi informasi mengenai landasan prinsip transendental mengenai akal budi dalam kognisi sintetis murni akan terletak di dalamnya.

1.        Akal budi, dengan tujuan agar mereka tunduk pada aturan yang merupakan wilayah pemahaman yang berdasarkan bagi konsepsi dan penilaian. Kesatuan akal budi bukan merupakan kesatuan pengalaman, tetapi kesatuan pemahaman. Bahwa segala sesuatu yang terjadi memiliki penyebab, yang bukan merupakan prinsip akal budi. Prinsip menjadikan kesatuan pengalaman menjadi mungkin, tanpa sebuah referensi dengan pengalaman yang tidak pernah bisa memberikan hasil melalui konsepsi kesatuan sintetis.

2.        Akal budi, dalam penggunaan logikanya, berusaha untuk menemukan kondisi umum penilaian (kesimpulan) dan silogisme yang merupakan penilaian melaui subsumsi kondisi berdasarkan aturan umum (major). Prinsip akal murni jelas-jelas sintetis, analitis, kondisi yang tentu berkaitan dengan beberapa hal yang dikondisikan. Tetapi bukan untuk yang tidak dikondisikan. Prinsip tersebut tidak harus berasal dari proposisi sintetis yang berbeda, karena hanya berhubungan dengan benda-benda dari pengalaman yang mungkin, kognisi dan sintetis yang dikondisikan. Prinsip tertinggi adalah akal budi murni, yang menjadi transenden dalam hubungan dengan fenomena, yaitu akan mustahil untuk membuat penggunaan empiris yang memadai prinsip. Sebagai sebuah prinsip transendental dalam akal budi murni, mendalilkan kelengkapan menyeluruh dalam serangkaian kondisi objek itu sendiri. Selain itu harus menunjukkan kesalahpaman dan ilusi yang menghalangi silogisme, proposisi major di mana akal budi murni telah memberikan sebuah proposisi yang memiliki banyak karakter dari sebuah petisi daripada sebuah postulat yang bergerak maju dari pengalaman.

 

 

 

BUKU I

TENTANG KONSEPSI AKAL BUDI MURNI

Tujuan dari konsepsi rasional adalah pemahaman, yang merupakan pemahaman terhadap persepsi. Konsepsi memiliki validitas objektif, yang disebut sebagai conceptus ratiocinati (konsepsi secara sah), jika diterima karena memikirkan penampakan dengan benar disebut conceptus ratiocinantes (konsepsi sofistis).

 

BAGIAN I

TENTANG GAGASAN SECARA UMUM

Plato menggunakan ide dalam menunjukkan apa yang dimaksud sesuatu yang diperoleh dari indera, tetapi melampaui konsepsi pemahaman, sebagaimana dalam pengalaman yang sama sekali tidak sempurna. Plato melihat bahwa kognisi memiliki perasaan lebih tinggi daripada fenomena kesatuan sintetis, karena tujuannya adalah mampu sebagai pengalaman, dan akal budi sesungguhnya mengangkat kepada kognisi yang tinggi untuk kemungkinan sebuah objek pengalaman sesuai kognisi kenyataan dan bukan hanya sebagai khayalan bagi otak. Dia tentu saja memperluasa penerapan konsepsi ke dalam kognisi spekulatif juga, asalkan mereka merupakan apriori yang benar-benar murni, bahkan terhadap matematika, meskipun ilmu ini tidak memiliki objek lain selain dari pengalaman yang mungkin. Saya tidak bisa mengikutinya dalam hal ini, dan saya dapat mengikutinya dalam deduksi mistik dalam ide-ide ini, atau dalam hypostatisupstansiion-nya. Meskipun kenyataanya bahasa yang berlebihan yang ia gunakan dalam menggambarkan masalah tersebut mampu untuk ditafsirkan sesuai dengan fakta dan sifat benda-benda.

Berikut ini adalah daftar mengenai masalah tersebut. Genus adalah representasi yang bersifat umum (representation), yang di dalamnya terdapat representasi dengan kesadaran (perceptio). Sebuah persepsi yang semata-mata berhubungan dengan subjek sebagai sebuah modifikasi terhadap keadaanya, yakni penginderaan (sentatio), sebuah persepsi objektif adalah sebuah kognisi (cognitio). Kognisi adalah intuisi atau konsepsi (intuitus vel conceptus). Pertama memiliki hubungan langsung dengan objek dan bersifat individual, serta memiliki hubungan tidak langsung, melalui tanda khusus dari beberapa benda. Sebuah konsepsi murni, memiliki asal-usul dalam pemahaman itu sendiri, dan bukan merupakan konsepsi inderawi murni, disebut notio. Sebuah konsepsi yang terbentuk dari gagasan, yang berada di luar pengalaman, adalah sebuah ide atau sebuah konsepsi bagi akal budi.

 

BAGIAN II

IDE-IDE TRANSENDENTAL

Analisis transendental menunjukkan bagaimana bentuk logis kognisi konsepsi apriori, konsepsi yang merepresentasikan objek yang mendahului semua pengalaman atau menjukkan kesatuan sintetis yang menjadikan kognisi empiris terhadap objek menjadi mungkin. Fungsi akal budi dari beberapa argument berisi universalitas kognisi berdasakan konsepsi, dan silogisme itu merupakan sebuah penilaian yang ditentukan secara apriori diseluruh tingkat kondisinya. Konsepsi transendental mengenai akal budi adalah konsepsi keseluruhan dari kondisi tertentu. Sekarang, karena sesuatu yang tak dikondisikan itu sendiri menghasilkan totalitas kondisi, dan sebaliknya, totalitas kondisi itu sendiri selalu tak dikondisikan sebuah konsepsi rasional mumi secara umum dapat didefinisikan dan dijelaskan melalui konsepsi tak dikondisikan. Ada jumlah yang persis sama dalam modus silogisme, di mana masing-masing berjalan melalui pro-silogisme terhadap sesuatu yang tidak dikondisikan-yakni terhadap subjek yang tidak dapat digu-

nakan sebagai predikat, dan anggapan yang mengandai-kan tidak ada yang lebih tinggi dari dirinya sendiri. Dengan demikian, konsepsi rasional murni dari totalitas dalam sintesis kondisi memiliki sebuah landasan yang diperlukan dalam sifat akal budi manusia. Namun demikian, karena ambiguitas yang terjadi karena penyalahgunaannya yang lama, sehingga kita tidak dapat menggunakannya dengan aman. Kata mutlak adalah salah satu kata yang signifikan bagi sebuah konsepsi. Tentang sebuah pertentangan  secara instrinsik menegaskan bahwa dalam segala hal adalah mustahil, tetapi ia mengatakan bahwa hal yang berkebailkan darinya yang benar-benar diperlukan secara instrinsik adalah mustahil, yaitu kepentingan mutlak benda-benda merupakan keperluan internal.

Ketika hilangya konsepsi tentang utilitas dalam ilmu spekulatif bukan merupakan masalah ketidakpedulian terhadap filsuf. Akal budi memiliki hubungan langsung dalam menggunakan pemahaman, di mana tidak berisi landasan bagi pengalaman yang mungkin. Penerapan secara objektif konsepsi akal budi murni selalu bersifat transenden, semantara penerapan konsepsi murni pemahaman harus selalu imanen, sebab terbatas pada pengalaman yang mungkin. Ketika kita menggunakan kata ide, kita mengatakannya dalam kaitannya dengan objek (objek pemahaman murni) yang begitu banyak, tetapi dalam kaitannya dengan subjek yang begitu sedikit, karena ide sebagai konsepsi merupakan sebuah maksimum, tidak pernah memadai ketika dikemukakan in concreto. Dalam ide tersebut, akal budi murni memiliki kausalitas dan kekuatan memproduksi yang di dalamnya terdapat konsepsi. Karena ide yang diperlukan dalam kesatuan tujuan yang mungkin, usaha yang praktis, bersifat konstitutif setidaknya bersifat limitatif. Akal budi dianggap sebagai bentuk kognisi logis yaitu penilaian tidak langsung melalui penggolongan kondisi di bawah kondisi penilaian tertentu. “Akibatnya, benda-benda dapat berubah” saya telah sampai pada sebuah kognisi (kesimpulan) melalui serangkaian kondisi (premis). Setiap rangkaian di mana eskponennya (penilaian kategoris atau hipotetis), sehingga prosedur yang sama dari akal budi melakukan polysyllogistica ratiocination, yang merupakan serangkaian silogisme, yang dapat dilanjutkan dalam kondisi (per prosyllogisme) atau dikondisikan (per episyllogisme) samapai tidak terbatas. Ketika sebuah kognisi direnungkan sebagai sesuatu yang dikondisikan, akal budi dipaksa untuk mempertimbangkan serangkaian kondisi dalam sebuah garis yang memberikan totalitas.

 

BAGIAN III

SISTEM IDE-IDE TRANSENDENTAL

Subjek kita adalah dialetika Transendental yang harus bersifat apriori, asal-usul kognisi tertentu dari akal murni dan asal-usul konsepsi tertentu, di mana objek diberikan secara empiris sehingga berada di luar lingkup pemahaman. Hubungan yang paling umum yang ada dalam pernyataan kita adalah :

1.      Hubungan dengan subjek,

2.      Hubungan dengan objek-objek atau dengan fenomena, atau sebagai objek secara umum.

Jika menghubungkan subdivisi dengan divisi utama, semua hubungan representasi dapat membentuk konsepsi atau ide memiliki tiga jenis :

1.      Hubungan dengan subjek,

2.      Hubungan dengan berbagai objek sebagai sebuah fenomena,

3.      Hubungan dengan semua benda secara umum.

Ilmu metafisika dalam objek penelitiannya yang benar hanya memiliki tiga gagasan besar, yakni TUHAN, KEBEBASAN, DAN KEABADIAN, dan ia bertujuan untuk menunjukkan bahwa konsepsi yang kedua, yang disatuan dengan yang pertama, harus menuju kepada yang ketiga, sebagai sebuah kesimpulan yang diperlukan. Semua subjek lainnya yang hanyalah merupakan sarana untuk mewujudkan gagasan ini, untuk membangun ilmu pengetahuan alam, tetapi sebaliknya, untuk tujuan memperoleh pengetahuan di luar bidang ilmu alam. Wawasan dan pemahaman yang lengkap terhadapnya akan menghasilkan Teologi, Etika dan dengan menggabungkan keduanya akan menghasilkan Agama, yang sangat tergantung pada fakultas spekulatif akal budi. Dalam sebuah representasi yang sistematis dalam ide-ide ini, susunan yang disebutkan diatas yakni susunan sistematis adalah yang paling sesuai, tetapi berdasarkan investigasi yang harus mendahuluinya, yakni analisis, yang merupakan kebalikan dari pengaturan, akan lebih baik jika disesuaikan dengan tujuan kita, karena dengannya kita akan melangkah maju dari pengalaman langsung yang menyajikan kepada kita ilmu psikologi hingga kosmologi, dan kemudian teologi.

 

BUKU II

PROSEDUR DIALEKTIS AKAL BUDI MURNI

BAB I

TENTANG PRALOGISME AKAL BUDI MURNI

Pralogisme logis berisi kepalsuan sebuah argument dalam kaitannya dengan bentuk, apa pun isinya. Tetapi paralogisme transendental memiliki landasan Transendental, dan menyimpulkan secara salah, sedangkan bentunya benar dan tidak dapat diterima. Paralogisme memiliki dasar dalam sifat akal budi manusia, dan merupakan induk ilusi mental yang tidak dapat dihindari dan tidak dapat dipecahkan.

Berdasarkan elemen-elemen yang berasal dari konsepsi psikologi murni, dengan kombinasi saja, tanpa bantuan prinsip yang lain, substansi ini yang hanya merupakan objek indera internal memberikan konsepsi imaterialitas sebagai substansi sederhana, yang tidak mengalami kerusakan, dan identitasnya sebagai substansi intelektual memberikan konsepsi tentang kepribadian.

Secara modus kesadaran dalam pikiran yang demikian merupakan konsepsi tentan objek yang merupakan fungsi logis, yang tidak hadir dalam pikiran sebuah objek yang akan dikenali,. Bukan kesadaran yang menetukan, tetapi kesadaran mengenai diri, yaitu intuisi internal adalah sebagai objek.

1.      Dalam semua penilaian, menentukan subjek sehingga hubungan tersebut merupakan penilaian.

2.      Ego berada dalam apersepsi.

3.      Ego yang berpikir adalah substansi yang sederhana yang menjadi proposisi sintetis.

4.      Proposisi tentang identitas.

5.      Membedakan eksistensi.

Eksposisi logis terhadap pikiran secara umum adalah kekeliruan dalam menentukan objek metafisik. Proposisi sintetis apriori adalah sesuatu yang mungkin dan sah. Dalam prosedur psikologi sebuah paralogisme yang berbentuk sebagai berikut: Sesuatu yang tidak dapat dipikirkan selain sebagai subjek, maka tidak ada selain sebagai subjek, dank arena itu merupakan substansi. Pikiran berlangsung dalam dua premis dalam dua pengertian yang sama sekali berbeda. Dalam premis major, hal ini dianggap memiliki hubungan dan menerapkan objek secara umum, akibatnya juga terhadap objek intuisi. Dalam premis minor, kita memahaminya hanya berkaitan dengan kesadaran diri. Dalam pengertian ini kita tidak dapat memikirkan sebuah objek, tapi hanya memikirkan hubungannya dengan kesadaran diri terhadap subjek, sebagai bentuk pikiran. Pada premis yang pertama kita berbicara tentang benda-benda yang tidak dapat dipikirkan secara sebaliknya daripada sebagai subjek. Kedua, kita tidak berbicara tentang benda-benda, tapi tentang pikiran (semua objek yang diabstraksi), di mana Ego selalu merupakan subjek kesadaran. Maka kesimpulannya tidak bisa, “Saya tidak ada kecuali sebagai subjek”; tetapi hanya “Dalam memikirkan eksistensi saya, saya bisa menggunakan Ego hanya sebagai subjek penilaian.” Tapi ini merupakan proposisi yang identik dan tidak memberikan penjelasan apa pun mengenai modus eksistensi saya.

Apersepsi adalah sesuatu yang nyata, dan kesederhanaan sifatnya ditunjukkan dalam kenyataan tentang kemungkinannya. Sekarang, di dalam ruang tidak ada yang nyata dan pada saat yang sama bersifat sederhana, karena benda-benda sederhana dalam ruang  hanyalah merupakan batas, tetapi bukan merupakan bagian dari ruang. Psikologi rasional memiliki asal-usul dalam sebuah kesalahpahaman belaka. Kesatuan kesadaran, yang terletak didasar kategori, dianggap sebagai intuisi dari subjek, dan kategori substansi tersebut diterapkan ke dalam intuisi.

Persepsi yang belum ditentukan disini hanya menunjukkan sesuatu yang nyata, namun hanya terhadap pemikiran sendiri (noumenon), melainkan hanya sebagai sesuatu yang benar-benar ada, dan ditunjukkan seperti itu dalam proposisi, “saya berpikir.” Karena harus dikatakan bahwa ketika saya menyebut proposisi, “saya berpikir” itu adalah sebuah proposisi empiris. Dengan demikian, saya tidak bermaksud menyatakan bahwa ego dalam proposisi tersebut adalah representasi empiris, tetapi sebaliknya, ia adalah intelektual murni, karena ia menjadi bagian dari pikiran secara umum. Tetapi tanpa beberapa representasi empiris, yang menyajikan bahan berpikir kepada pikiran, yakni tindakan mental “saya berpikir”, tidak akan terjadi, dan hal yang empiris hanya merupakan kondisi bagi penerapan atau aktivitas fakultas intelektual murni.

Akal budi terbatas dalam wilayah khusus dalam pengaturan tujuan dan maksud yang merupakan pengaturan alam dan sebagai sebuah fakultas mental dan praktis, tanpa membatasi dengan yang terakhir, maka untuk memperluas yang pertama dengan eksistensi yang melampui batas-batas pengalaman dan kehidupan. Bukti yang kuat dan tak terbantahkan terus meningkat sesuai untuk mencapai tujuan melaui keyakinan, kesadaran, dan keinginan. Bahkan setelah kognisi teoritis tentang diri yang telah gagal untuk menetapkan eksistensi setelah kematian.

 

KESIMPULAN TENTANG SOLUSI ATAS PARALOGISME PSIKOLOGIS

llusi dialektis dalam psikologi rasional muncul dari gagasan yang membingungkan tentang akal budi (dari kecerdasan muri) dengan konsepsi tersebut yang belum ditentukan yakni tentang berpikir secara umum. Saya memikirkan diri saya sendiri berdasarkan pengalaman yang mungkin membuat abstraksi dan semua pengalaman yang nyata, dan darinya saya menyimpulkan bahwa saya bisa menyadari diri sendiri terlepas dari pengalaman dan kondisi empiris. Akibatnya,  dikacaukan oleh abstraksi yang mungkin tentang eksistensi yang secara empiris ditentukan oleh kesadaran akan eksistensi yang terpisah yang berpikir bahwa mengenali sesuatu yang substansial sebagai subjek Transendental, ketika tak ada lagi pikiran kesadaran yang berada di dasar penentuan semua kognisi. Tugas untuk menjelaskan bukan merupakan bagian dari psikologi, karena ia mengusulkan untuk membuktikan kepribadian jiwa yang terpisah dari penyatuannya (setelah kematian), dan karena itu bersifat transenden dalam arti kata yang benar. Tapi jawaban yang tepat dapat ditemukan dalam pertanyaan tentang sistem kesulitan yang ada dalam pelaksanaan tugas seperti yang telah diketahui terletak dalam heterogenitas yang mengandaikan objek indera Internal (jiwa) dan objek-objek Indera ekstemal, sebab kondisi formal intuisi seseorang adalah waktu dan juga ruang yang lain. Tetapi jika memikirkan bahwa kedua jenis objek itu tidak berbeda secara internal, tetapi hanya sejauh yang muncul secara eksternal bagi yang lain. Akibatnya, sesuatu yang terletak di dasar fenomena, sebagai sebuah benda dalam dirinya sendiri, mungkin tidak menjadi heterogen; sehingga kesulitan akan menghilang. Kemudian tetap tidak ada kesulitan lain daripada yang ditemukan dalam pertanyaan bagaimana komunitas substansi menjadi mungkin sebuah pertanyaan yang terletak di luar wilayah psikologi, dan di mana pembaca, setelah mengetahui melalui analisis tentang kekuatan primitif dan kemampuan mental, juga akan mudah untuk menilai hal-hal di luar wilayah kognisi manusia.

 

PERNYATAAN UMUM MENGENAI KOGNISI

DARI PSIKOLOGI RASIONAL HINGGA KOSMOLOGI

Penerapan kategori terhadap ego ini sangat diperlukan jika membuat menjadi objek pengetahuan. Berkaitan dengan eksistensi tanpa bantuan indera internal, intuisi yang menyajikan objek bukan sebagai benda yang ada tetapi selalu sebagai sebuah fenomena. Sekarang dalam intuisi ini, yang berpikir harus mencari kondisi pelaksanaan fungsi logis sebagai kategori substansi, penyebab, dan sebagainya, tidak hanya untuk membedakan dalam dirinya sendiri dengan cara representasi “saya” tetapi untuk menentukan modus eksistensinya yaitu mengenali diri sendiri sebagai noumenon. Tapi mustahil bagi intuisi empiris internal inderawi, dan tidak menyajikan apa pun kecuali fenomenal yang tidak membantu objek kesadaran murni dalam mengenali diri sendiri sebagai eksistensi terpisah, tapi berguna sebagai kontribusi bagi pengalaman. Kesadaran eksistensi apriori yang berfungsi untuk menentukan eksistensi-eksistensi yang secara inderawi dapat ditentukan, namun secara relative, bagi fakultas internal tertentu yang berhubungan dengan dunia yang dapat dipahami. Dalam psikologi rasional yaitu masih menemukan intuisi inderawi, untuk memberikan makna tentang konsepsi substansi dan penyebab dapat memiliki pengetahuan, tetapi intuisi tidak pernah dapat meningkatkan di atas bidang pengalaman. Berdasarkan fungsi logis subjek dan predikat, prinsip dan konsekuensi, yang sesuai dengan semua tindakan, sehingga mampu untuk dijelaskan bersama hukum alam, yang sesuai dengan kategori substansi dan penyebab, meskipun berasal dari prinsip yang sangat berbeda.

 

BAB II

ANTINOMI BAGI AKAL BUDI MURNI

Skema logika memberikan kepada kita tiga spesies formal dalam silogisme sebagaimana kategori menemukan skema logis dalam empat fungsi dari semua penilaian. Jenis pertama dari argument sofistik berkaitan dengan kesatuan yang tidak dikondisikan dari kondisi subjektif semua representasi pada umumnya (tentang subjek atau jiwa ) kaitannya dengan silogisme kategori, premis major sebagai sebuah prinsip menyatakan hubungan sebuah predikat dengan sebuah subjek. Tapi perlu dinyatakan bahwa paralogisme transendental dihasilkan dalam pikiran merupakan sepertiga dari ilusi dan konsepsi tentang akal budi tidak memiliki landasan untuk mempertahankan proposisi yang sebaliknya. Keuntungan tersebut sepenuhnya berada di pihak Pneumatisme, yang sangat berbeda adalah kasus ketika menerapkan akal budi terhadap sintetis fenomena objektif. Akal budi menetapkan mengenai prinsip-prinsip kesatuan yang tidak dikondisikan, tapi terjebak dalam kontradiksi dalam kaitannya dengan kosmologi untuk menolak presentasinya. Oleh karena itu, karena paralogisme akal budi murni akan menyajikan kepada kita prinsip-prinsip transendental murni terhadap kosmologi (rasional), namun bukan untuk menyatakan validitas dan kesesuaiannya, tetapi merupakan istilah konflik akal budi yang menunjukkan bahwa hadir sebagai sebuah ide yang tidak dapat dipertemukan dengan fenomena dan pengalaman.

BAGIAN I

SISTEM IDE KOSMOLOGI

Kita dapat menghitung dengan presisi yang sistematis tentang ide-ide yang sesuai dengan prinsip. Kemudian ide-ide transendental tersebut bukan merupakan sesuatu selain kategori yang diangkat pada yang tidak dikondisikan. Kemudian semua kategori tidak tersedia untuk tujuan ini, tetapi hanya kategori yang bersifat sintetis yang merupakan sebuah rangkaian dari kondisi yang berada dibawahnya, yang tidak saling terkoodinasi. Sebab, dalam kondisi tertentu, berbagai kondisi diandaikan dan dianggap menyertainya. Totalitas mutlak dari serangkaian kondisi terhadap kondisi tertentu selalu tidak dikondisikan, karena di luar itu ada kondisi lain yang mungkin bergantung padanya. Tapi totalisasi mutlak dalam rangkaian tersebut hanya merupakan sebuah ide, atau lebih tepatnya konsepsi problematis, kemungkinan yang harus diselidiki terutama dalam kaitannya dengan modus di mana yang dikondisikan , sebagai ide transendental yang merupakan subjek nyata dalam penyelidikan, mungkin terkandung didalamnya. Alam sebagai kata sifat yang dapat dipahami (formaliter), menunjukkan kompleks penentuan satu benda, memiliki hubungan berdasarkan prinsip kausalitas internal. Disisi lain, kita memahami melalui alam adanya, substantiva (materialiter), jumlah total fenomena, berdasarkan prinsip internal, kausalitas, yang memiliki hubungan satu sama lain dalam keseluruhan. Dalam pengertian yang pertama, kita berbicara tentang sifat materi cair, tentang api, dan lain-lain, dan kita menggunakan kata tersebut hanya sebagai kata sifat, sementara kita berbicara tentang benda-benda alam, yang ada dalam pikiran kita adalah gagasan tentang sebuah keseluruhan yang hidup.

 

BAGIAN II

ANTITESIS TERHADAP AKAL BUDI MURNI

Mengenai antithesis pernyataan dogmatis merupakan kontradiksi diri dari kognisi yang tampaknya bersifat dogmatis (thesis cum antitesis), tidak satupun dapat di termukan dari superioritas yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, antitesis tidak membahas tentang pernyataan sepihak, tetapi membahasa tentang sifat kontradiktif mengenai kognisi umum dalam akal budi dan penyebabnya. Antitesis transendental adalah penyelidikan terhadap antinomy akal budi murni, penyebabnya dan hasilnya. Petanyaan-pertanyaan yang secara alami muncul dalam pembahasan dialektika akal budi murni adalah :

1.      Dalam proposisi apakah akal budi murni mau tidak mau tunduk pada sebuah antinomy?

2.      Apa penyebab dari antinomy ini?

3.      Apakah dan dengan cara apakah akal budi bisa membebaskan dirinya dari kontradiksi diri ini?

Sebuah proposisi dialektis atau teorema akal budi murni harus sesuai dengan apa yang telah dikatakan, yaitu dibedakan dari semua proposisi sofistik, berdasarkan fakta bahwa bukan jawaban bagi pertanyaan yang sembarangan, yang dapat diangkat hanya demi kesenangan seseorang, setiap orang, tapi bagi akal budi manusia yang harus selalu ditemui dalam setiap aktivitasnya. Pernyataan sofistik merupakan medan pertempuran dimana pihak yang memperoleh kemenangan telah diizinkan untuk membuat serangan, dan untuk menyerah bagi yang bertahan dari serangan.

Proposisi transendental mengklaim wawasannya di luar wilayah pengalaman yang mungkin, di satu sisi tidak bisa menunjukkan sintesis abstrak dalam setiap intuisi apriori. Oleh karena itu, akal budi transendental tidak menghadirkan kriteria selain upaya untuk mempertemukan pernyataan tersebut.

 

 

 

 

KONFLIK PERTAMA TENTANG IDE TRANSENDENTAL

TESIS

Dunia memiliki awal dalam kaitannya dengan waktu, dan juga terbatas dalam kaitannya dengan ruang.

BUKTI

Sesungguhnya dunia tidak memiliki awal dalam waktu. Dunia adalah keseluruhan tertentu yang tak terbatas dari benda-benda yang ada secara berdampingan. Kita dapat mempertimbangkan kuantitas yang belum ditentukan secara keseluruhan ketika ia terkungkung dalam batas, meskipun tidak bisa membangun atau memastikan totalitasnya melalui pengukuran, yaitu dengan sintesis berurutan dari bagian-bagiannya. Karena batas tersebut pada diri mereka sendiri menentukan kelengkapannya secara keseluruhan.

 

ANTITESIS

Dunia tidak memiliki awal dan tidak ada batas dalam ruang, tetapi dalam kaitannya dengan waktu dan ruang bersifat tak terbatas.

BUKTI

Ruang hanyalah bentuk intuisi eksternal (intuisi formal), dan bukan objek nyata yang dapat dirasakan secara eksternal. Ruang, sebelum segala sesuatu yang menentukan (yang mengisi atau membatasi), atau lebih tepatnya yang menyajikan intuisi empiris disebut ruang absolut, di dalamnya tidak ada sesuatu kecuali kemungkinan fenomena eksternal belaka, sejauh mereka ada dalam diri mereka sendiri atau bisa menganeksasi diri mereka sendiri terhadap intuisi tertentu. Oleh karena itu, intuisi empiris bukanlah komposisi fenomena dan ruang (persepsi dan intuisi yang kosong). Yang tidak berkorelasi dengan yang lain secara sintesis, tapi sangat berkaitan dengan intuisi empiris yang sama, seperti materi dan bentuk. Jika kita ingin dari mfenomena maka akan timbul segala macam penentuan intuisi eksternal kosong yang sangat jauh dari persepsi yang mungkin. Misalnya, gerakan atau bagian dunia lain dalam ruang kosong yang tak terbatas, atau penentuan hubungan timbal balik, yang tidak mungkin dapat dirasakan, dan karena itu hanyalah merupakan predikat bagi entitas gagasan.

 

PENGAMATAN TENTANG ANTINOMY PERTAMA BERDASARKAN TESIS

Kuantum dalam pengertian ini berisi kumpulan unit tertentu yang lebih besar dari jumlah apa pun dan ini adalah konsepsi matematika tentang yang tak terbatas.

 

TENTANG ANTITESIS

Jelaslah bahwa yang dimaksud di sini adalah bahwa ruang kosong, sejauh ini dibatasi oleh fenomena-ruang, yaitu di dalam dunia tidak bertentangan dengan prinsip transendental, dan karena itu mungkin harus diakui, meskipun kemungkinannya dalam hal ini tidak dapat di dipastikan. Karena, sehubungan dengan dalih yang digunakan oleh orang-orang yang berusaha untuk menghindari konsekuensi tersebut-sehingga jika dunia ini terbatas dalam ruang dan waktu, maka kekosongan yang tak terbatas tentu menentukan eksistensi benda-benda yang sebenarnya dalam dimensi mereka ia muncul semata-mata berdasarkan fakta bahwa bukannya dunia inderawi, yakni sebuah dunia yang tak dapat dipahami di mana tidak ada sesuatu pun yang dapat dikenal yang terkadang kita memikirkannya, bukannya awal yang sebenarnya (eksistensi yang didahului oleh suatu periode di mana tidak ada sesuatupun yang ada), sebuah eksistensi yang mengandalkan adanya kondisi selain waktu, dan bukannya batas-batas keluasan, tetapi batas-batas alam semesta. Tapi pertanyaannya dalam kaitannya dengan mundus phaenomenon dan kuantitasnya; dan dalam hal ini kita tidak dapat membuat abstraksi dari kondisi sensibilitas tanpa bersinggungan dengan realitas penting dari dunia ini sendiri. Dunia indera, jika ia bersifat terbatas, tentu terletak dalam kekosongan yang tak terbatas. Jika hal ini dan dengan ruang sebagai kondisi apriori dalam kemungkinan fenomena, yang terlepas dari pengamatan, maka seluruh dunia indera akan menghilang. Dalam masalah kita, hal ini saja dianggap sebagai masalah yang ada dengan sendirinya. Mundus intelligibilis tidak lain adalah konsepsi umum dalam sebuah dunia, di mana abstraksi yang telah dibuat dari semua kondisi intuisi, dan dalam kaitannya dengan proposisi sintetis baik positif atau negatif adalah mungkin.

 

KONFLIK KEDUA TENTANG IDE TRANSENDENTAL

TESIS

Setiap substansi komposit di dunia terdiri dari bagian-bagian yang sederhana, dan tidak ada sesuatu pun yang tidak sederhana maupun yang terdiri dari bagian-bagian yang sederhana.

 

 

BUKTI

Karena berdasarkan kenyataan bahwa substansi komposit tidak terdiri dari bagian-bagian yang sederhana, maka jika semua kombinasi atau komposisi dihilangkan dari pikiran, maka tidak ada bagian komposit dan sebagaimana anggapan, maka tidak ada bagian yang sederhana. Akibatnya, tidak ada substansi, sehingga tidak akan ada sesuatu yang ada. Kesimpulan, semua benda-benda di dunia ini tanpa terkecuali merupakan wujud yang sederhana yakni komposisi hanya merupakan kondisi eksternal yang berkaitan dengan wujud sehingga tidak pernah dapat memisahkan substansi dasar dari sifat komposisinya, akal budi sebagai subjek utama dari semua komposisi, yang merupakan substansi yang sederhana.

 

ANTITESIS

Tidak ada benda komposit di dunia ini yang terdiri dari bagian-bagian yang sederhana, dan tidak ada substansi apa pun yang sederhana.

BUKTI

Kita asumsikan bahwa sebuah benda komposit (sebagai substansi) terdiri dari bagian yang sederhana. Karena semua merupakan hubungan eksternal, akibatnya semua komposisi substansi hanya mungkin berada dalam ruang.  Ruang yang ditempati disebut komposit dari jumlah yang sama dari bagian-bagian yang terkandung dalam komposit. Oleh karena itu, setiap bagian dari komposit harus menempati ruang. Tetapi bagian yang benar-benar absout adalah komposit yang sederhana. Proposisi yang kedua dari antitesis adalah bahwa yang ada di dunia ini bukanlah sesuatu yang sederhana yang setara dengan eksistensi yang benar-benar sederhana tidak dapat ditunjukkan berdasarkan pengalaman, baik eksternal maupun internal, dan sesuatu yang benar-benar sederhana hanya merupakan ide belaka, di mana realitas objektifnya tidak dapat dibuktikan dalam pengalaman yang mungkin, sehingga akibatnya dalam eksposisi terhadap fenomena tanpa penerapan dan tanpa objek.

 

OBSERVASI TERHADAP ANTINOMI YANG KEDUA

TESIS

Ketika berbicara tentang keseluruhan, yang tentu terdiri dari bagian-bagian yang sederhana, bahwa keseluruhan substansial sebagai komposit yang benar, yaitu bahwa kesatuan kontingen dari berbagai jenis tertentu yang tampak sangat terisolasi, ditempatkan dalam hubungan timbal balik, dan merupakan satu kesatuan. Ruang seharusnya disebut sebagai Compositum, tetapi Totum, karena bagian-bagiannya mungkin dalam keseluruhan, dan bukan keseluruhan melalui bagian-bagiannya. Mungkin dapat disebut sebagai Compositum Ideale, tapi bukan Compositum Reale.

ANTITESIS

Totum substansiale phaenomenon, sebagai sebuah intuisi empiris dalam ruang ia memiliki sifat yang diperlukan yang tidak mengandung bagian yang sederhana, karena alas an itulah sehingga tidak ada bagian dari ruang yang sederhana. Dialektis kedua memiliki keistimewaan karena telah menentang proposisi dogmatis, di mana semua pernyataan sofistik hanya merupakan satu-satunya usaha untuk membuktikan kasus objek pengalaman, bahwa yang benar hanya merupakan gagasan transendental, yakni kesederhanaan mutlak dan substansi.

 

KONFLIK KETIGA TENTANG GAGASAN TRANSENDENTAL

TESIS

Kausalitas menurut hukum alam bukan satu-satunya kausalitas asal-usul fenomena di dunia. Sebuah kausalitas tentang kebebasan untuk memperhitungkan fenomena.

BUKTI

Hukum alam menentukan bahwa tidak ada yang bisa terjadi tanpa penyebab apriori yang menentukan penyebab. Dengan demikian proposisi adalah jika semua kausalitas hanya sesuai dengan hukum alam, hal itu dinyatakan dalam cara yang tak terbatas dan umum, yang bertentangan dengan dirinya. Melalui kausalitas segala sesuatu terjadi tanpa penyebab yang ditentukan berdasarkan hukum oleh beberapa penyebab sebelumnya. Artinya harus ada sebuah spontanitas penyebab yang mutlak dari serangkaian fenomena yang terjadi sesuai dengan hukum alam yang berakibat pada kebebasan transendental.

 

ANTITESIS

Tidak ada sesuatu seperti halnya kebebasan, tetapi segala sesuatu di dunia terjadi semata-mata sesuai dengan hukum alam.

BUKTI

Kita tidak memiliki hubungan apa pun, tetapi alam lah yang mencari hubungan dan keteraturan dalam peristiwa kosmik. Kebebasan, yakni kemerdekaan dalam hukum alam, tentu merupakan pembebasan dari kekangan, tetapi juga merupakan pembebasan dari bimbingan hukum dan atauran. Hukum kebebasan dapat dimasukkan ke dalam kausalitas berlangsungnya alam. Sebab, jika kebebasan ditentukan sesuai dengan undang-undang, maka tidak akan ada kebebasan lagi, tetapi yang ada hanya hukum alam. Oleh karena itu alam dan kebebasan transendental berbeda dengan kesesuaian hukum dan pelanggaran hukum.

 

OBSERVASI TERHADAP ANTINOMI

TESIS

Ide transendental tentang kebebasan tidak membentuk seluruh isi konsepsi psikologis yang sebagian bersifat empiris. Ia hanya menyajikan konsepsi tindakan spontanitas sebagai dasar yang tepat untuk menghubungan kebebasan dengan penyebab dari kelompok tertentu dalam objek.

 

ANTITESIS

Orang yang menyatakan tentang adanya yang maha mencukupi di alam dalam kaitannya dengan kausalitas (fisiokrasi transendental), bertentangan dengan doktrin kebebasan, akan mempertahankan pandangannya dari pernyataan tersebut dengan cara mengatakan untuk menjawab argument sofistik dari pihak lawan. Sebuah sistem alam hamper tidak dapat dikenali, karena hukum yang kedua akan terus tunduk pada pengaruh yang menganggu dari hukum yang pertama, fenomena tersebut tidak akan berjalan secara teratur dan seragam, sehingga akan menjadi sangat membingungkan dan tidak memiliki konektivitas.

 

KONFLIK KEEMPAT TENTANG IDE TRANSENDENTAL

TESIS

Dalam hubungannya dengan dunia baik sebagai bagian darinya atau sebagai penyebabnya ada sebuah wujud yang mutlak diperlukan.

BUKTI

Secara objektif, waktu sebagai kondisi formal dari kemungkinan perubahan mendahului semua perubahan, tetapi secara subjektif dan dalam kesadaran, representasi waktu sebagaimana setiap sesuatu yang lain hanyalah ditunjukkan oleh kesempatan dalam persepsi.

 

ANTITESIS

Sebuah wujud yang mutlak diperlukan tidak ada, baik di dunia atau yang berasal darinya sebagai penyebabnya.

BUKTI

Kata “mulai” memiliki dua pengertian. Yang pertama adalah aktif yaitu penyebab yang dianggap sebagai awal dari serangkaian kondisi sebagai efeknya (infit).  Yang kedua adalah pasif kausalitas dalam penyebab itu sendiri yang mulai beroperasi (fit).

 

BAGIAN III

PENTINGNYA AKAL BUDI TENTANG KONTRADIKSI DIRI

Proposisi dialektis berupaya untuk memecahkan empat masalah yang tidak dapat dihindari oleh akal budi. Karena tidak ada rangkaian hipotesis sintesis yang membatasi sintetis empiris secara apriori. Empiris murni bukan hanya penjelasan tentang fenomena dunia, tetapi solusi ide transendental, bahkan tentang alam semesta. Dalam penentuan ide kosmologis, kita menemukan:

1.      Sebuah kepentingan praktis.

2.      Kepentingan spekulatif.

3.      Keuntungan popularitas.

Namun dalam hal ini masih ada keraguan apakah Epicurus pernah mengemukakan prinsip-prinsip sebagai arah untuk mencapai tujuan bagi pemahaman. Jika semua itu tidak lebih dari sekadar pepatah dalam melaksanakan akal budi spekulatif, di dalamnya terdapat bukti bagi semangat filosofis yang lebih asli daripada para filsuf kuno. Sehingga dalam menjelaskan fenomena tersebut, kita harus melanjutkan penyelidikan tersebut yang tidak dibatasi oleh ruang atau permulaannya tidak dibatasi oleh waktu; sehingga kita harus puas dalam mengajarkan pengalaman yang mengacu pada materi dimana dunia diungkapkan, sehingga kita tidak harus mencari modus lain dari asal-usulnya dari peristiwa yang ditentukan oleh hukum alam yang tidak dapat diubah; dan akhirnya kita tidak menggunakan hipotesis mengenai penyebab yang berbeda dari dunia tersebut untuk menjelaskan tentang sebuah fenomena atau tentang dunia itu sendiri yang merupakan prinsip-prinsip bagi perluasan filsafat spekulatif, dan penemuan terhadap sumber yang sebenarnya dari prinsip-prinsip moral, yang bagaimanapun hanya agak sesuai dengan keadaan hari ini, yang tidak diragukan lagi kebenarannya. Pada saat yang sama, siapa pun yang berkeinginan untuk mengabaikannya dan hanya berdasarkan spekulasi belaka, maka proposisi dogmatis ini karena alasan tersebut tidak perlu dituduh telah menolaknya.

BAB IV

TENTANG PERLUNYA MENERAPKAN SOLUSI MASALAH TRANSENDENTAL ATAS AKAL BUDI MURNI

Pertanyaan, "Apakah konstitusi dari sebuah objek transendental itu?" adalah pertanyaan yang tidak bisa dijawab - kita tidak dapat mengatakan apa itu; tapi kita bisa melihat bahwa pertanyaan itu sendiri bukanlah sesuatu; karena ia tidak berhubungan dengan objek yang dapat disajikan kepada kita. Untuk alasan ini, kita harus mempertimbangkan semua pertanyaan yang muncul dalam psikologi transendental sebagai jawaban; karena mereka berhubungan dengan subjek transendental dari semua fenomena internal, yang tidak dengan sendirinya merupakan fenomena, dan akibatnya tidak disajikan sebagai objek, di mana tak satu pun dari kategori pertanyaan tersebut diarahkan dengan benar dan menemukan kondisi penerapannya. Oleh karena itu, di sini terdapat kasus di mana tidak ada jawaban sebagai satu-satunya jawaban yang tepat. Karena pertanyaan mengenai konstitusi dari sesuatu yang tidak dapat dipikirkan oleh predikat apa pun yang ditentukan, yang benar-benar berada di luar lingkup objek dan pengalaman, yang benar-benar nol dan kosong.

 

BAGIAN V. PEMAPARAN SKEPTIS TENTANG MASALAH KOSMOLOGIS YANG DISAJIKAN DALAM EMPAT IDE TRANSENDENTAL

Pertama, bahwa dunia tidak memiliki awal, karena konsepsi berada dalam urutan mundur, sehingga tidak bisa melampaui seluruh keabadian. Kedua, jika setiap fenomena (materi) di dalam ruang terdiri dari jumlah yang tak terbatas, maka regresi pembagian selalu terlalu besar bagi konsepsi. Ketiga, anggap lah bahwa setiap peristiwa di dunia terjadi sesuai dengan hukum alam. Keempat, jika kita menganggap eksistensi dari sebuah wujud absolut  maka harus menempatkannya dalam sebuah waktu pada jarak yang tak terbatas.

 

BAGIAN VI. IDEALISME TRANSENDENTAL SEBAGAI KUNCI BAGI SOLUSI DIALEKTIKA KOSMOLOGI MURNI

Di tempat lain menyebut teori ini sebagai idealisme formal, untuk membedakannya dari idealisme material, yang meragukan atau menolak eksistensi benda-benda eksternal.

 

BAGIAN VII

SOLUSI KRITIS TERHADAP MASALAH KOSMOLOGIS

Dialektika transendental tidak mendukung skeptisisme meskipun menyajikan penjelasan mengenai keuntungan metode skeptic, utilitas besar yang terlihat dalam antinomy, di mana argumen dari akal budi diizinkan untuk saling berhadapan satu sama lain dalam kekuatan yang tidak pernah berkurang.

 

BAB VIII

PRINSIP REGULATIF AKAL BUDI MURNI DALAM KAITANNYA DENGAN GAGASAN KOSMOLOGIS

Prinsip totalitas kosmologis tidak memberi pengetahuan tertentu dengan sifat maksimal dalam serangkaian kondisi indera. Regresi aktual dalam rangkaian ini adalah satu-satunya cara untuk mendekati sifat maksimum. Prinsip tentang akal budi murni masih dianggap valid bukan sebagai aksioma, tetapi sebagai sebuah masalah pemahaman, yang mengharuskan untuk melanjutkan sesuai dengan ide totalitas dalam pikiran. Karena, dalam dunia indera, yaitu dalam ruang dan waktu setiap kondisi yang ditermukan bukan merupakan benda dalam diri sendiri tetapi hanya merupakan representasi empiris.

 

I.         SOLUSI ATAS IDE KOSMOLOGIS DALAM TOTALITAS KOMPOSISI FENOMENA DI ALAM SEMESTA

Rangkaian kosmik ini tidak dapat lebih besar atau lebih kecil dan kemungkinan regresi empiris, di mana konsepsi tersebut didasarkan Dan karena regresi terbatas tertentu (benar-benar terbatas), jelaslah bahwa kita tidak bisa menjadi sebuah regresi yang tak terbatas bukan merupakan yang anggap dunia terbatas atau tak terbatas, karena regresi tersebut yang memberi kita representasi tentang dunia, tidak terbatas juga bukan tidak terbatas Dengan demikian dari apa yang telah kita katakan di atas, bahwa kita tidak dibenarkan untuk menyatakan bahwa dunia tak terbatas dalam ruang, atau dalam kaitannya dengan waktu masa lalu. Karena konsepsi tentang kuantitas yang tak terbatas ini bersifat empins, tapi kita tidak bisa menerapkan konsepsi kuantitas terbatas terhadap dunia sebagai objek indera Saya tidak bisa mengatakan, "Regresi dari persepsi tertentu bagi segala sesuatu bersifat terbatas, baik dalam ruang atau waktu, yang berlangsung secara in infinitum, "Karena ia mengandaikan kuantitas kosmik yang tak terbatas, sehingga tidak bisa saya katakan, "la adalah terbatas, karena sebuah batas mutlak juga tidak mungkin dalam pengalaman Oleh karena hu saya tidak berhak untuk membuat pernyataan sama sekali mengenai setiap objek pengalaman yakni dunia indera. Saya harus membatasi pemyataan saya mengenai aturan yang sesuai dengan pengalaman atau pengetahuan empiris yang harus dicapai Dengan demikian, terhadap pertanyaan mengenai setiap kuantitas kosmik, jawaban negatif yang pertama adalah 'Dunia tidak memiliki awal dalam waktu, dan tidak memiliki batas mutlak dalam ruang. Sebab, dalam kasus yang sebaliknya, ia akan dibatasi oleh waktu yang kosong di satu sisi, dan oleh ruang kosong dalamnya. Tapi aturan ini hanya mengu terbatas dalam dirinya sendiri bagi sebuah fenomena yang bukan sebuah benda dalam dirinya sendiri; ia menjadi mungkin bagi kita untuk memiliki persepsi tentang keterbatasan ini dengan waktu kosong dan ruang kosong. Tapi persepsi seperti itu sebuah pengalaman yang tidak mungkin; karena ia tidak memiliki isi. Akibatnya, batas kosmik absolut secara empiris benar-benar tidak mungkin Pembaca akan berkomentar bahwa bukti yang diketengahkan di atas sangat berbeda dari demonstrasi dogmatis yang ditentukan dalam antitesis dari antinomy pertama. Dalam demonstrasi itu dianggap begitu saja bahwa dunia adalah benda yang ada dalam dirinya sendiri yang ditentukan dalam totalitasnya sebelum semua regresi, dan posisi yang ditentukan dalam ruang dan waktu ditolak darinya, jika ia tidak dianggap menempati semua waktu dan semua ruang.

 

II.      SOLUSI BAGI IDE KOSMOLOGIS DARI TOTALITAS DIVISI DARI SEBUAH KESELURUHAN YANG DIBERIKAN DALAM INTUISI

Benda-benda yang dapat bersandar pada ruang merupakan kondisi kemungkinan dari suatu keseluruhan yang diperluas.

 

KOMENTAR PENUTUP MENGENAI SOLUSI TERHADAP IDE MATEMATIKA TRANSENDENTAL DAN PENGANTAR ATAS SOLUSI IDE DINAMIS

Pemahaman tidak dapat mengakui di antara fenomena sebuah kondisi yang dalam dirinya sendiri tidak dikondisikan secara empiris. Tetapi jika memungkinkan untuk memikirkan sebuah kondisi yang dapat dipahami yakni kondisi yang bukan merupakan anggota dari serangkaian fenomena karena sebuah fenomena yang dikondisikan tanpa memutus rangkaian kondisi empiris, maka kondisi seperti itu dapat diakui secara empiris sebagai yang tak dikondisikan, dan regresi empiris terus berlanjut, tidak berhenti, dan tetap utuh.

KEMUNGKINAN KEBEBASAN DALAM KESELARASAN DENGAN HUKUM UNIVERSAL KEBUTUHAN ALAM

Fenomena abadi harus mampu memperngaruhi dan tindakannya sesuai dengan hukum-hukum alam yaitu hukum kausalitas, untuk dikenali melalui pengalaman.

 

PENJELASAN IDE KOSMOLOGIS TENTANG KEBEBASAN DALAM HARMONI DENGAN HUKUM UNIVERSAL KEBUTUHAN ALAM

Moralitas nyata dari tindakan, yakni kelebihannya atau kekurangannya, dan bahkan yang merupakan perilaku kita sendiri, benar-benar tidak kita ketahui. Perkiraan kita hanya dapat berhubungan dengan karakter empiris. Berapa banyak hasil dari tindakan kehendak bebas, berapa banyak yang berasal dari alam dan dengan kesalahan yang tak dapat disalahkan, atau yang berhubungan dengan merito Fortunae, tidak ada seorang pun yang bisa menemukannya, atau untuk alasan ini yang dapat menentukannya dengan keadilan yang sempurna.

 

III.   SOLUSI BAGI IDE KOSMOLOGIS MENGENAI TOTALITAS KETERGANTUNGAN EKSISTENSI FENOMENAL

Eksistensi dari wujud yang mutlak diperlukan, tapi hal itu tidak pernah dapat dibuktikan berdasarkan kontigensi universal dan ketergantungan terhadap fenomena inderawi, atau berdasarkan prinsip untuk menghentikan rangkaian anggotanya, untuk mencari penyebab bidang eksistensi di luar dunia.

 

BAB III

CITA-CITA AKAL BUDI MURNI

BAGIAN I. CITA-CITA SECARA UMUM

Konsepsi murni tidak menghadirkan objek ke dalam pikiran, kecuali dalam kondisi inderawi, karena kondisi realitas objektif tidak ada dalam konsep. Cita-cita dalam filsafat Plato adalah ide tentang pikiran ilahi objek individu yang hadir dalam intuisi murni, yang paling sempurna dan merupakan pola dasar dari semua eksistensi fenomenal. Menurut Stoa, cita-cita yaitu seorang manusia yang ada dalam pikiran dan dengan gagasan kebijaksanaan. Cita-cita berfungsi sebagai pola dasar untuk menentukan secara sempurna dan lengkap mengenai tiruan.

Cita-cita bersifat imajinasi, yang artinya monogram yang ditarik sesuai dengan aturan pasti. Dalam cita-cita, akal budi bertujuan untuk melengkapi dan menyempurnakan penentuan yang sesuai dengan aturan apriori, karena sebuah objek harus benar-benar ditentukan sesuai beberapa prinsip dan konsepsi terhadap objek yang bersifat trasenden.

 

BAGIAN II. TENTANG CITA-CITA TRANSENDENTAL (PROTOTYPON TRANCENDENTAL)

Konsepsi dan prinsip saling terkait. Prinsip adalah setiap dua predikat yang berkontradiksi hanya satu yang menjadi milik konsepsi. Prinsip yang menjadi milik konsepsi adalah prinsip yang benar-benar logis. Karena membuat abstraksi lengkap dan isi tersebut logis dan kognisi. Prinsip tentang penentuan lengkap yang berkaitan dengan isi dan bukan logis. Ia adalah prinsip sintesis dari semua predikat untuk membentuk konsepsi lengkap dari sebuah benda, dan bukan hanya merupakan prinsip representasi analitis yang menyatakan bahwa salah satu dari dua predikat kontradiktif tersebut merupakan bagian dari sebuah konsepsi. Oleh karena itu, dia menjadi konsepsi bagi sebuah objek individu yang sepenuhnya ditentukan oleh dan melalui ide belaka, dan karenanya harus disebut sebagai cita-cita akal budi murni. Ketika kita mempertimbangkan semua predikat yang mungkin, bukan hanya secara logis, namun secara transcendental, yaitu dengan mengacu pada isi yang mungkin kadang kita pikirkan sebagai yang ada di dalamnya secara apriori, kita akan menemukan bahwa sebagian menunjukkan sebuah wujud, dan yang lain hanyalah non wujud. Ungkapan ketidakabadian tidak menunjukkan bahwa non-wujud yang kadang kita pikirkan dalam objek tidak menyangkut isi sama sekali. Sebaiknya sebuah negasi transcendental yang menunjukkan non-wujud itu sendiri dan menentang penegasan transcendental, konsepsi tersebut dari dirinya sendiri mungungkapkan sebuah wujud. Dengan demikian, akal budi dalam meletakkan cita cita transendentalnya berdasarkan analogi yang tepat, yang dengannya ia mengejar silogisme disjungtif, sebuah proporsi yang membentuk dasar pembagian sistematis semua ide transcendental.

 

 

 

BAB III. TENTANG ARGUMEN YANG DIGUNAKAN OLEH AKAL BUDI SPEKULATIF MENGENAI BUKTI EKSISTENSI YANG MAHATINGGI.

Proses alami  bagi akal budi manusia. Ia memulai dengan membujuk diri sendiri dari eksistensi beberapa wujud yang diperlukan. Dalam wujud ini ia diakui sebagai karakteristik eksistensi yang tidak dikondisikan. Kemudian ia mencari konsepsinya dari sesuatu yang tidak terikat dengan semua kondisi, dan menemukan bahwa ia sendiri merupakan kondisi yang memadai bagi semua benda-benda lainnya, dengan kata lain; di dalam sesuatu, di dalamnya berisi semua realitas. Tapi semuanya yang tak terbatas adalah kesatuan mutlak dan dipahami oleh pikiran sebagai sebuah wujud yang satu dan mahatinggi; dan dengan demikian akal budi menyimpulkan bahwa yang mahatinggi adalah dasar primal dari segala sesuatu, yang memiliki eksistensi yang benar-benar diperlukan.

BAB IV. KEMUSTAHILAN BUKTI ONTOLOGIS TENTANG EKSISTENSI TUHAN.

Sudah terbukti dari apa yang telah dikatakan bahwa konsepsi tentang wujud yang mutlak   diperlukan adalah ide belaka realitas objektif yang jauh dari yang ditetapkan and1 fakta bahwa ia adalah kebutuhan bagi akal budi. Para filsuf selalu berbicara tentang sebuah wujud yang mutlak diperlukan namun demikian tetap menolak untuk menghadapi kesulitan dalam memikirkan apakah dan bagaimanakah wujud dari alam ini dapat dipahami belum lagi bahwa eksistensinya yang sebenarnya dapat dibuktikan untuk mengasumsikan eksistensi segitiga dan bukan eksistensi tiga sudut adalah saling berkontradiksi;  tapi  untuk menganggap non eksistensi dari kedua segitiga dan sudut-sudut tersebut, hal ini sepenuhnya dibolehkan.  Begitu juga dengan konsepsi tentang sebuah wujud yang benar-benar diperlukan.  Dengan menghilangkan eksistensinya dalam pikiran,  dan anda menghilangkan benda itu sendiri dengan segala predikat tersebut; bagaimana  kemudian bisa ada ruang bagi kontradiksi? 

Tuhan maha kuasa yang penilaiannya diperlukan.  Kemahakuasaannya tidak bisa dipungkiri jika eksistensi sebuah ketuhanan dikemukakan,  dimana eksistensi tersebut yang merupakan wujud yang tak terbatas,  maka kedua konsepsi tersebut identik.  Tetapi ketika anda mengatakan bahwa tuhan tidak ada,  maka kemahakuasaannya maupun predikat lainnya tidak dapat dinyatakan;  semuanya pasti menghilang bersama dengan subjek tersebut,  dan dalam penilaian ini tidak ada yang bisa ada kecuali  kontradiksi diri. Dengan demikian anda telah melihat bahwa ketika predikat bagi sebuah penilaian sedang dihilangkan dalam pikiran bersama dengan subjek,  maka tidak ada kontradiksi internal yang dapat muncul,  apapun predikat tersebut.  Tidak ada kemungkinan untuk menghindari kesimpulan tersebut.  Anda menemukan diri anda dipaksa untuk menyatakan:  ada subjek tertentu yang tidak dapat dihilangkan dalam pikiran.  Tapi hal ini tidak lebih daripada mengatakan:  kan ada subjek yang benar-benar diperlukan,   yakni  hipotesis di mana anda dikehendaki untuk menetapkannya.  Sebuah predikat yang logis mungkin dapat anda gunakan sesuka anda,  bahkan subjek tersebut dapat didasarkan dari dirinya sendiri;  karena logika tidak mempedulikan isi sebuah penilaian.  Namun,  penentuan terhadap sebuah konsepsi adalah sebuah predikat yang melakukan penambahan untuk memperbesar konsepsi tersebut.  Dengan demikian ia harus terkandung dalam konsepsi.  Wujud itu jelas-jelas bukan merupakan predikat yang nyata,  yaitu konsepsi tentang sesuatu yang ditambahkan kepada konsepsi tentang beberapa benda lainnya.  Ini hanyalah menyatakan sebagai fakta tentang suatu benda,  atau penentuan tertentu di dalamnya nya. Logikanya,  ia  hanyalah merupakan kata kerja penghubung dari sebuah penilaian.  Proposisi tersebut,  yakni tuhan maha kuasa,  berisi dua konsepsi yang memiliki objek tertentu atau isi;  dan kata tersebut tidak memiliki predikat tambahan- ia hanyalah menunjukkan hubungan predikat dengan subjek. Sekarang,  yang jika saya menggunakan subjek tuhan dengan semua predikatnya ( wujud yang maha kuasa adalah satu), dan berkata;  tuhan  ada atau ada tuhan,  maka saya tidak menambahkan predikat baru terhadap konsepsi tentang tuhan, saya hanya mengandaikan atau menegaskan  adanya subjek tersebut dengan semua predikat dimana saya hanya mengandaikan objek dalam kaitannya dengan konsepsi saya.  Isi dari keduanya sama   dan dan disini ini tidak ada penambahan yang dilakukan dalam konsepsi tersebut yang menyatakan bahwa hal itu hanyalah merupakan kemungkinan tentang objek tersebut melalui pemikiran saya tentang objek tersebut dalam ekspresi   bahwa ia benar-benar telah ditentukan atau sudah ada. 

BAB V. KEMUSTAHILAN BUKTI KOSMOLOGIS MENGENAI EKSISTENSI TUHAN.

Bukti kosmologis yang akan kita kaji mempertahankan hubungan antara kebutuhan mutlak dan realitas tertinggi;  tapi bukan penggunaan akal budi dari realitas tertinggi untuk memahami eksistensi yang diperlukan, seperti  argumen sebelumnya,  yang disimpulkan dari keharusan yang tidak dikondisikan yang ditentukan dari beberapa wujud yang realitas nya terbatas.  Objek semua pengalaman yang mungkin itu disebut dunia,  dan ia disebut sebagai bukti kosmologis.  Ia tidak memiliki hubungan dengan sifat-sifat objek inderawi,  yang dengannya dunia Indera dapat dibedakan dengan Dunia Lain yang mungkin;  dan dalam hal ini berbeda dengan pembuktian fisio-teologis  yang didasarkan pada pertimbangan konstitusi dunia inderawi kita.  Tujuan dari kosmologis adalah untuk menghindari perlunya membuktikan eksistensi sebuah wujud yang diperlukan yang mendahului konsepsi sebuah bukti yang bersifat ontologis,  dan terhadapnya kita merasa bahwa diri kita cukup mampu.  Dalam kasus ini tidak perlu untuk menunjukkan kemungkinannya.  Karena setelah terbukti bahwa ia ada,  maka pertanyaan mengenai kemungkinannya sungguh berlebihan. 

Sekarang hal ini benar-benar dapat diterima dalam setiap jenis penggunaan akal budi, dari konsekuensi kepada prinsip;  tetapi dalam kasus ini sayangnya bahwa kondisi kebutuhan mutlak tidak dapat ditemukan kecuali dalam sebuah wujud tunggal,  dimana akibatnya konsepsi mengandung segala sesuatu yang diperlukan untuk menunjukkan kehadiran kebutuhan mutlak,  dan dengan demikian menyebabkan saya untuk menyimpulkannya sebagai kebutuhan mutlak apriori. 

TINJAUAN PENJELASAN ATAS ILUSI DIALEKTIS DALAM SEMUA ARGUMEN TRANSENDENTAL MENGENAI EKSISTENSI WUJUD YANG WAJIB.

Kedua argumen di atas bersifat transcendental.  dengan kata lain,  mereka tidak melangkah berdasarkan prinsip-prinsip empiris.  Sebab,  argumen kosmologis meletakkan dasar pengalamannya dalam bangunan akal-budi,  ia  tidak berlandaskan pada prosedur nya dalam konstitusi pengalaman,  tapi berdasarkan prinsip-prinsip akal budi murni dalam kaitannya dengan sebuah eksistensi yang diberikan oleh kesadaran empiris;  yang benar-benar mengabaikan bimbingan dengan tujuan untuk mendukung pernyataan yang sepenuhnya berdasarkan konsepsi murni. kesimpulan yang  terelakkan adalah bahwa kebutuhan dan kontingensi bukanlah merupakan sifat dari benda itu sendiri;  jika tidak tentu akan berakibat pada kontradiksi internal;  yang akibatnya tak satu pun dari prinsip-prinsip ini yang bersifat objektif,  tetapi hanya merupakan prinsip-prinsip subjektif dari akal budi- yang mengharuskan kita untuk mencari landasan yang diperlukan untuk segala sesuatu yang ada,  yang harus dipenuhi tanpa penjelasan lain yang benar-benar apriori,  sedangkan yang lain melarang kita untuk mencapai perlengkapan ini,  yaitu  untuk menganggap bahwa tidak ada anggota dari dunia empiris yang tidak dikondisikan. Tapi,  karena setiap penentuan materi membentuk sesuatu yang nyata di dalamnya- dan akibatnya sifat tidak dapat ditempuh tersebut adalah sebuah efek yang harus memiliki sebuah penyebab,  dan karena alasan ini maka selalu diperoleh gagasan materi yang tidak bisa diselaraskan dengan gagasan sebuah wujud yang diperlukan,  dalam karakter yang sesuai dengan prinsip di mana semua kesatuan itu berasal.  karena setiap orang memiliki sifat yang diturunkan,  maka tentu hanya ada yang diperlukan secara kondisional,  dan karena itu dapat dimusnahkan dalam pikiran;  dan dengan demikian seluruh eksistensi materi bisa dimusnahkan atau ditekan.

BAB VI. TENTANG KEMUSTAHILAN BUKSTI PSIKO-TEOLOGIS

Saya berpendapat bahwa argumen fisiko teologis tidak memadai bagi dirinya sendiri untuk membuktikan eksistensi wujud yang Maha Tinggi, sehingga ia harus mempercayakan masalah ini kepada argumen ontologis yang hanya berfungsi sebagai penghantar, akibatnya argumen ini hanya berisi satu-satunya landasan yang mungkin bagi bukti tersebut (yang dimiliki oleh akal budi spekulatif) bagi eksistensi wujud ini.  Momentum utama dalam argumen fisiko teologis ini sebagai berikut:

1.      Kita mengamati dalam tanda-tanda yang tampak jelas di dunia tentang sebuah pengaturan yang sarat dengan tujuan,  yang dilaksanakan dengan kebijaksanaan  yang besar,   dan argumen  dalam seluruh isi yang keberagamannya tak terlukiskan,  dan luas tanpa batas.

2.       Penataan dalam sarana dan tujuan yang benar-benar asing bagi benda-benda yang ada di dunia ia hanya menjadi milik mereka sebagai sebuah sifat kontingen.

3.      Oleh karena itu ada penyebab mulia dan bijaksana yang sangat kuat yang menghasilkan wujud dan peristiwa yang mengisi dunia dalam kemakmuran yang tidak disadari,  tapi merupakan sebuah penyebab dunia yang bebas dan cerdas.

4.      Kesatuan dari penyebab ini dapat disimpulkan dari kesatuan hubungan timbal balik yang ada antara bagian-bagian di dunia,  sebagai bagian dari sebuah bangunan artistik- sebuah kesimpulan di mana semua pengamatan kita menyetujuinya,  dan semua prinsip-prinsip analog yang mendukungnya 

Menurut argumen fisiko teologis,  hubungan dan harmoni yang ada di dunia merupakan bukti bagi kontingensi dalam bentuknya saja,  tetapi bukan materinya yaitu tentang substansi dunia. Fisiko teknologi mampu menyajikan konsepsi yang pasti tentang penyebab tertinggi dunia,  dan karena itu tidak cukup sebagai prinsip teologi,  sebuah teologi yang dengan sendirinya menjadi dasar bagi Agama. Pencapaian totalitas mutlak benar-benar mustahil dengan jalan empirisme.  Namun ini adalah jalan yang ditempuh dalam argumen fisiko teologis.  Kita membiarkan argumen tersebut atas dasar empiris,  dan melanjutkannya untuk menyimpulkan kontingensi dunia berdasarkan tatanan dan kesesuaian dengan tujuan yang diamati di dalamnya.  Dengan demikian risiko teologis didasarkan pada kosmologi,  dan berdasarkan bukti ontologis mengenai eksistensi Wujud yang Maha Tinggi;  dan karena selain ketiga hal tersebut tidak ada jalan lain yang terbuka bagi akal-budi spekulatif,  maka bukti ontologis yang berdasarkan konsepsi akal budi hanyalah satu-satunya yang mungkin,  jika ada bukti tentang posisi yang melampaui penerapan empiris dalam pemahaman ini yang bersifat mungkin

BAB VII. KRITIK ATAS SEMUA TEOLOGI YANG BERDASARKAN PADA PRINSIP AKAL BUDI SPEKULATIF

Pada istilah teologi memahami kognisi tentang sebuah wujud primal,  kondisi tersebut didasarkan pada akal budi saja atau berdasarkan wahyu.  orang yang hanya percaya pada teologi transendental disebut orang deis; Dan orang yang mengakui kemungkinan teologi alami disebut orang teis;. Yang pertama mengakui bahwa ketika dengan menggunakan akal budi murni dapat memikirkan eksistensi wujud yang Maha Tinggi, Tetapi pada saat yang sama menyatakan bahwa konsepsi kita tentang wujud ini bersifat transendental murni.  yang kedua menegaskan bahwa akal budi berdasarkan analogi dengan alam mampu menyajikan kepada kita konsepsi yang lebih pasti tentang wujud ini,  dan pelaksanaannya adalah hasil dari kecerdasan dan kehendak bebas. Teologi transendental bertujuan untuk menyimpulkan adanya sebuah wujud yang Maha Tinggi berdasarkan sebuah pengalaman umum,  tanpa memiliki rujukan yang lebih dekat dengan dunia yang dimiliki oleh pengalaman dan dalam hal ini disebut Kosmo teologi;  artinya ia berupaya untuk mengenali sepenuhnya eksistensi wujud tersebut melalui konsepsi belaka tanpa bantuan pengalaman(ontoteologi).  teologi alam menyimpulkan sifat dan eksistensi pencipta dunia berdasarkan konstitusi aturan dan kesatuan yang dapat diamati dunia,  dimana 2 modus kausalitas itu harus diakui ada yakni alam dan kebebasan.  dalam kasus yang pertama ia disebut sebagai fisiko teologi,  dalam kasus yang kedua ia disebut teologi etika atau moral. 

Mustahil untuk memperoleh hasil dari spekulasi murni dari penjelasan akal budi bahwa ada tidak ada wujud yang Maha Tinggi sebagai dasar dari segala sesuatu yang ada atau bahwa wujud ini tidak memiliki sifat-sifat yang kita anggap sebagai sesuatu yang analogis dengan kualitas dinamis dari wujud yang berpikir.  dengan demikian sebuah wujud yang Maha Tinggi,  bagi akal budi speculative hanyalah merupakan ide belaka meskipun ia memiliki kesempurnaan sebuah konsepsi yang menyempurnakan sistem kognisi manusia tetapi realitas objektifnya tidak dapat dibuktikan atau dibantah dengan akal budi murni. Sifat-sifat tak terbatas,  kesatuan, eksistensi yang terlepas dari dunia (dan bukan sebagai jiwa dunia),  keabadian (yang bebas dari kondisi waktu),  mahahadir (bebas dari kondisi ruang),  kemahakuasaan,   dan lain-lain,  adalah predikat transcendental murni;  dengan demikian merupakan konsepsi akurat tentang wujud yang Maha Tinggi yang mengharuskan setiap teologi untuk dijelaskan oleh teologi transcendental saja. 

TENTANG TUJUAN AKHIR DIALEKTIKA ALAM DALAM AKAL BUDI MANUSIA

Ide-ide akal budi murni,  dalam diri mereka sendiri dan di alam mereka sendiri tidak bersifat dialektis; Iya merupakan kesalahan penerapan mereka sendiri sehingga muncul kekeliruan dan ilusi/  karena mereka berasal dari sifat akal budi itu sendiri dan tidak mungkin bahwa pengadilan tertinggi dari semua hak dan klaim spekulasi  ini tidak layak untuk memiliki rasa percaya diri dan kesalahan.  Dengan demikian diharapkan bahwa ide-ide ini memiliki tujuan asli dan sah.

Akal budi murni tidak ada yang tersisa kecuali sifatnya secara umum,  dan lengkapnya kondisi dalam sifat tersebut sesuai dengan beberapa prinsip.  Totalitas absolut dari serangkaian kondisi ini adalah sebuah ide yang tidak pernah sepenuhnya dapat diwujudkan dalam penerapan empiris akal budi,  sementara itu ia berguna sebagai aturan bagi prosedur akal budi dalam kaitanya dengan totalitas tersebut.

Tujuan akal budi dalam prosedur ini adalah terbentuknya aturan formal untuk memperluas wilayahnya dalam dunia pengalaman;  sehingga ia tidak bertujuan untuk memperluas kognisi yang melampaui batas-batas pengalaman;  sehingga akibatnya Ide ini tidak mengandung prinsip konstitutif 

II. DOKTRIN METODE TRANSENDENTAL

Jika kita menganggap jumlah kondisi akal budi speculatif murni sebagai bangunan,  gagasan yang setidaknya ada dalam pikiran manusia,  maka dapat dikatakan bahwa dalam doktrin unsur-unsur transendental kita telah meneliti bahan-bahan tersebut untuk menentukan dimiliki oleh siapa bangunan tersebut dan seberapakah tingginya dan stabilitasnya. Sesungguhnya kita telah menemukan bahwa meskipun kita bertujuan untuk membangun untuk diri kita sendiri menara yang harus mencapai langit, pasokan bahan yang mencukupi hanyalah untuk tempat tinggal yang cukup luas untuk semua tujuan teresterial,  dan cukup tinggi untuk memungkinkan kita melakukan survei terhadap dataran di tingkat pengalaman. Tugas kita saat ini berhubungan dengan materi,  tapi dengan rencana sebuah bangunan;  dan sebagaimana kita telah memperoleh peringatan yang cukup agar tidak membabi buta dalam melakukan rancangan yang dapat ditemukan untuk mengatasi kekuatan alam kita,  sementara pada saat yang sama, kita tidak bisa bagi pikiran,  sehingga hingga kita harus menyesuaikan rancangan kita dengan bahan yang diberikan kepada kita, dan pada saat yang sama,  cukup untuk memenuhi semua keinginan kita

BAB I. DISIPLIN AKAL BUDI MURNI

Akal budi,  ketika digunakan di bidang pengalaman,  tidak membutuhkan kritik,  karen prinsip-prinsipnya tunduk pada uji terus-menerus dalam pengamatan empiris.  juga tidak diperlukan kritik di bidang matematika,  di mana konsepsi akal budi harus selalu ditampilkan dalam intuisi murni,  dan pernyataan yang tidak berdasar atau sembarangan ditemukan tanpa kesulitan.  Tapi ketika akal budi tidak digunakan di jalan yang benar melalui pengaruh empiris atau intuisi murni,  yaitu ketika digunakan di bidang transendental dalam konsepsi murni,  ia sangat membutuhkan disiplin, dan menahan kecenderungannya untuk melangkahi batas pengalaman yang bersifat mungkin dan untuk menjaga agar tidak terjebak ke dalam kesalahan. 

BAGIAN I. DISIPLIN AKAL BUDI MURNI DALAM DOGMATISME

Ilmu matematika menyajikan contoh yang paling cemerlang mengenai perluasan bidang akal budi murni tanpa bantuan pengalaman.  Contohnya semakin banyak;  dan mereka memberikan pengaruh penting dalam fakultas yang sama,  yang sesungguhnya mendukung dirinya sendiri bahwa ia akan memiliki keberuntungan yang sama dalam kasus lain ketika ia berada dalam contoh yang menguntungkan.  Oleh karena itu akal budi murni diharapkan dapat memperluas wilayahnya nya  dalam lingkup transendental dengan keberhasilan dan keamanan yang sama,  terutama ketika ia menerapkan metode yang sama dengan hasil yang cemerlang seperti dalam ilmu matematika.  Oleh karena itu,  penting bagi kita untuk mengetahui apakah metode untuk sampai pada Kepastian Yang demonstratif,  yang disebut matematika identik dengan kepastian di mana kita berusaha untuk mencapai tingkat yang sama dalam kepastian filsafat,  yang disebut sebagai ilmu dogmatis. Kognisi filosofis adalah akal budi melalui konsepsi;   kognisi matematika adalah kognisi melalui pembangunan konsepsi. Pembangunan konsepsi adalah presentasi apriori dari intuisi yang sesuai dengan konsepsi.  jadi saya membangun sebuah segitiga dengan presentasi objek yang sesuai dengan konsepsi ini Baik hanya melalui imajinasi intuisi murni atau di atas kertas dalam intuisi empiris.  dalam kedua kasus tersebut benar-benar bersifat apriori tanpa meminjam gambar dari bentuk pengalaman.  Oleh karena itu kondisi filosofis menganggap sesuatu yang khusus berada dalam sesuatu yang umum; matematika umum berada dalam matematika khusus yakni dalam individu.  Namun demikian hal ini sepenuhnya bersifat apriori dan melalui akal budi murni,  sehingga figur individu ini ditentukan berdasarkan syarat konstruksi universal tertentu,  yakni objek konsepsi,  dimana figur individual ini sesuai dengan skema yang kadang harus kita pikirkan sebagai sesuatu yang telah ditentukan secara universal. Konsepsi matematika tentang sebuah segitiga harus saya bangun,  yakni secara apriori dalam intuisi saat ini,  ini dan dengan cara ini telah mencapai kognisi rasional sintetis.  tapi ketika konsep transcendental tentang realitas,  atau substansi,  atau daya ditampilkan ke dalam pikiran saya, Maka saya merasa bahwa ia tidak berhubungan atau menunjukkan intuisi empiris atau intuisi murni,  tetapi ia hanya menunjukkan sintetis intuisi empiris,  yang tentu saja tidak dapat ditentukan secara apriori. 

1.      TENTANG DEFINISI

Definisi adalah,  sebagaimana yang ditunjukkan oleh istilah itu sendiri, merupakan representasi berdasarkan landasan utama, dari konsepsi lengkap tentang benda dalam batasannya sendiri.  dengan demikian,  konsepsi empiris tidak dapat didefinisikan,  ia hanya bisa dijelaskan. Karena,  sebagaimana dalam konsepsi tersebut hanya ada sejumlah tanda atau tanda-tanda,  yang menunjukkan objek inderawi.  kita tidak pernah bisa yakin bahwa kita tidak memikirkannya berdasarkan perkataan yang menunjukkan objek yang sama pada satu waktu di mana keadaannya lebih besar,  dan di lain waktu dengan sejumlah kecil tanda-tanda. contohnya,   seseorang mungkin memikirkan dalam konsepsinya tentang emas,   selain sifat-sifatnya yang berat,  warnanya,  kelenturannya,  sifatnya yang tidak bisa berkarat,  sementara orang lain mungkin tidak memperhatikan kualitas ini.  contoh tersebut kita hanya menggunakan tanda-tanda tertentu selama kita membutuhkannya untuk membedakan dalam pengamatan baru yang digunakan untuk  mengabstraksi  beberapa hal dan menambahkan hal yang baru,  sehingga konsepsi empiris tidak pernah dalam batas-batas yang permanen. Hal ini pada kenyataannya tidak berguna untuk menentukan konsepsi semacam ini.  contoh lain ketika kita berbicara tentang air dan sifat-sifatnya,  kita tidak berhenti pada apa yang sebenarnya kita pikirkan tentang perkataan air, tetapi untuk melanjutkan pengamatan dan eksperimen;  dan kata tersebut dengan beberapa tanda-tanda yang melekat padanya, nya  lebih tepat untuk menyebutkan konsepsi tentang benda. Oleh karena itu,  karena konsepsi tersebut tidak bersifat empiris atau bersifat apriori yang dapat didefinisikan,  kita  harus melihat apakah  ada satu-satunya jenis lain dari konsepsi tersebut- yakni konsepsi yang sembarangan- yang tunduk pada operasi mental.

Akibatnya,  hanya ilmu matematika saja yang memiliki definisi.  karena objek yang dipikirkan disini disajikan secara apriori dalam intuisi;  dan dengan demikian tidak pernah dapat berisi lebih atau kurang dari konsepsi tersebut,  karena konsepsi tentang objek telah dilaksanakan melalui definisi dan bukan merupakan definisi yang berasal dari sumber lain.

Dengan demikian:

a.       Bahwa dalam filsafat kita tidak harus meniru penggunaan matematika yang dimulai dengan definisi kecuali dengan cara hipotesis atau percobaan.  pendek kata,  definisi yang lengkap dan jelas dalam filsafat,  seharusnya bukan untuk membentuk kesimpulan dan dimulainya jerih payah kita ( filsafat sangat berlimpah dengan definisi yang salah,  terutama yang mengandung beberapa unsur yang diperlukan untuk membentuk definisi yang lengkap).   Sebaliknya dalam matematika, kita tidak bisa memiliki konsepsi sebelum adanya definisi; karena definisi adalah yang memberi kita konsepsi, dan karena alasan ini ia membentuk permulaan setiap rantai penggunaan akal budi dalam matematika

b.      Definisi matematika tidak salah.  Karena  konsepsinya hanya ditentukan di dalam dan melalui definisi, dan dengan demikian hanya berisi apa yang kadang telah kita pikirkan dalam definisi.  tapi meskipun definisi tersebut tidak mesti benar,  namun dalam hal isinya,  kesalahan kadang-kadang terjadi meskipun jarang,  yang menjurus kepada bentuk.  kesalahan ini terletak dalam presisinya yang kurang.  dengan demikian,   definisi umum dari sebuah lingkaran an- yakni ia adalah garis melengkung,  setiap titik di mana sama-sama jauh dari titik lain yang disebut Pusat- adalah sebuah kesalahan,  berdasarkan fakta bahwa penentuan tersebut ditunjukkan oleh kata melengkung yang berlebihan.  karena harus ada suatu teorema tertentu yang mudah dapat dibuktikan dari definisi,  yang menyatakan bahwa setiap garis memiliki semua titik pada jarak yang sama dari titik lain,  harus merupakan garis melengkung yaitu,  yang bahkan bukan merupakan bagian terkecil dari nya yang lurus. dalam kasus terakhir, definisi ini tentu salah,  karena kita tidak pernah dapat sepenuhnya menentukan kelengkapan analisis kita.  karena alasan ini,  metode definisi yang digunakan dalam matematika tidak dapat ditiru dalam filsafat. 

 

2.      TENTANG AKSIOMA

Sejauh ini,  aksioma adalah prinsip sintesis apriori.  Sekarang satu konsepsi tidak dapat dihubungkan secara sintetis dan secara langsung dengan yang lain;  karena jika kita ingin melanjutkan dari dan diluar sebuah konsepsi,  maka diperlukan sebuah kognisi mediasi ketiga.  Dan karena filsafat adalah kognisi akal budi dengan bantuan konsepsi saja,  maka tidak dapat ditemukan di dalamnya prinsip yang pantas disebut sebagai aksioma.  Matematika di sisi lain mungkin memiliki aksioma,  karena selalu dapat menghubungkan predikat dengan suatu objek apriori, dan tanpa hubungan perantara,  dengan cara membangun konsepsi intuisi.  Memang benar bahwa dalam analitis yang saya perkenalkan ke daftar prinsip-prinsip pemahaman murni,  yakni aksioma tertentu dalam intuisi,  tetapi prinsip yang dibahas tersebut tidak dengan sendirinya merupakan sebuah aksioma,  tetapi disajikan semata-mata untuk menjelaskan prinsip kemungkinan aksioma secara umum,  sementara itu ia benar-benar tidak lebih dari sebuah prinsip yang berdasarkan pada konsepsi.  Maka filsafat tidak memiliki aksioma dan tidak memiliki hak untuk memaksakan prinsipnya secara apriori berdasarkan pemikiran,  sampai ia menetapkan kewenangan dan keabsahannya melalui deduksi yang menyeluruh. 

 

3.      TENTANG DEMONSTRASI

Hanya bukti apodeistis yang berdasarkan pada intuisi yang dapat disebut demonstrasi.  Pengalaman mengajarkan kita tentang apa yang sesungguhnya,  tetapi tidak dapat meyakinkan kita bahwa tidak mungkin terjadi yang sebaliknya.  Oleh karena itu bukti atas landasan empiris tidak bersifat apodeistis.  Dengan demikian matematika mengandung demonstrasi, karena  ia tidak menyimpulkan kondisinya dari konsepsi,  tapi dari pembangunan konsepsi,  yaitu dari intuisi,  yang dapat diberikan  secara apriori sesuai dengan konsepsi.  Metode aljabar,  persamaan, dimana jawaban yang benar disimpulkan melalui reduksi,  adalah semacam konstruksi yang bukan geometris,  tetapi melalui simbol-simbol di mana semua konsepsi,  terutama yang berdasarkan hubungan kuantitas,  direpresentasikan dalam intuisi oleh tanda-tanda.  Dengan demikian,  dari semua pertimbangan ini yang tidak sejalan dengan filsafat,  khususnya di bidang akal budi murni,  dalam menggunakan metode dogmatis untuk menghiasi dirinya dengan judul dan lencana ilmu matematika.  Upayanya untuk menunjukkan bukti matematika adalah pretensi yang sia-sia,  yang hanya menyebabkan kemunduran dari tujuan yang sebenarnya, yaitu  untuk mendeteksi prosedur ilusi akal budi ketika melampaui batas yang tepat dan dengan sepenuhnya menjelaskan dan menganalisis konsepsi kita untuk menunjukkan kepada kita wilayah spekulasi yang samar-samar kepada wilayah yang jelas dalam pengetahuan yang sederhana.  Dengan demikian akal budi murni dalam lingkup spekulasi tidak berisi penilaian sintetis tunggal berdasarkan konsepsi.  Konsepsi yang diberikan dari penyebab dan peristiwa tidak akan cukup untuk menunjukkan proposisi;  setiap peristiwa memiliki sebab.  Karena alasan ini ia merupakan dogma; meskipun dari sudut pandang yang lain,  berdasarkan pengalaman,  ia mampu untuk dibuktikan melalui demonstrasi. Pembuktiannya sendiri yaitu pengalaman, dan membentuk sebuah pengandaian yang diperlukan dalam semua pengamatan empiris.

 

BAGIAN II. DISIPLIN AKAL BUDI MURNI DALAM POLEMIK

 

Dalam semua operasinya, akal budi murni harus tunduk pada kritik,  yang harus selalu diizinkan untuk melaksanakan fungsi-fungsinya tanpa menahan diri;  jika kepentingannya yang terancam dan pengaruhnya mengundang kecurigaan. Akal budi murni,  ketika terlibat dalam lingkup dogmatisme,  tidak begitu sepenuhnya sadar akan ketaatan hukum tertinggi,  untuk tampil di hadapan pengadilan akal budi yang lebih tinggi dengan keyakinan yang sempurna.  Sebaliknya ia harus meninggalkan pretensi dogmatis nya yang megah dalam filsafat.  Akal budi tidak memegang miliknya berdasarkan kesabaran dalam menanggung penderitaan nya;  karena meskipun ia tidak menunjukkan judul yang sangat memuaskan kepada mereka,  namun tidak ada yang bisa membuktikan bahwa dia bukan pemilik yang sah. 

Tapi ada kasus di mana kesalahpahaman serupa tidak dapat diberikan dan sengketa tersebut tetap tidak dapat dihentikan.   Taruhlah  misalnya proposisi tentang teistik: wujud yang mahatinggi;  dan di sisi lain, kontra pernyataan yang ateistik: tidak ada wujud yang mahatinggi;  atau dalam psikologi;  segala sesuatu yang berpikir memiliki atribut kesatuan mutlak dan permanen,  yang sama sekali berbeda dengan kesatuan sementara dalam fenomena material; dan kontra proposisi:  jiwa bukanlah kesatuan immaterial, dan sifatnya sementara,  seperti pada fenomena. Dari sudut pandang ini benar-benar tidak ada antitesis sebagai akal budi murni karena satu-satunya arena dalam perjuangan tersebut akan menjadi bidang teologi murni dan psikologi; tapi berdasarkan landasan ini dapat muncul penantang yang tidak  perlu kita takuti. Biarkan lawan untuk mengatakan apa yang dianggap sebagai hal yang wajar,  dan lawan lah dia hanya dengan senjata akal budi. Jangan merasa cemas karena adanya kepentingan praktis pada umat manusia, semua ini tidak pernah membahayakan dalam sengketa spekulatif murni. Akal budi memperoleh manfaat dari penyelidikan terhadap sebuah subjek dari kedua sisi dan penilaiannya dikoreksi melalui keterbatasannya. Apa yang harus dilakukan untuk mengatasi bahaya yang tampaknya dalam kasus ini mengancam kepentingan umat manusia? Tentu saja yang akan ditempuh dalam referensi terhadap subjek ini adalah salah satu cara yang sempurna dan alami. Biarkan setiap pemikir menempuh jalannya sendiri; jika ia menunjukkan bakat, jika ia memberikan bukti pemikiran yang mendalam. Pendek kata, jika ia menunjukkan bahwa ia memiliki kekuatan akal budi untuk dapat meraihnya. Jika anda memiliki jalan lain dan sarana lain, jika anda mencoba untuk memaksa akal budi, jika anda meneriakkan penghianatan kepada umat manusia, yang tidak dapat memahami atau bersimpati dengan spekulasi hal seperti itu, anda hanya akan membuat diri anda konyol.

 

Sengketa seperti itu hanya berfungsi untuk mengungkapkan antinomi akal budi, yang karena bersumber pada sifat akal budi, maka harus diselidiki secara tuntas. Akal budi memperoleh manfaat dari penyelidikan terhadap sebuah subjek dari kedua sisi, dan penilaiannya dikoreksi melalui keterbatasannya.  Bukan bahan yang dapat memberikan kesempatan bagi munculnya perselisihan,  tapi cara. Karena diperbolehkan untuk menerapkan dihadapan akal budi, bahasa keyakinan yang berakar kuat bahkan setelah kita diharuskan untuk meninggalkan semua pretensi bagi pengetahuan. 

Sungguh tidak masuk akal untuk mengharapkan pencerahan dari akal budi, dan pada saat yang sama untuk menunjukkan kepadanya tentang sisi pertanyaan yang harus ia terapkan.selain itu, akal budi cukup ditopang oleh kekuatannya sendiri, batas-batas yang dikenakan padanya oleh kodratnya sendiri sudah mencukupi; tidak perlu bagi anda untuk menempatkan lebih banyak penjaga tambahan, seakan kekuatannya sangat berbahaya bagi keadaan intelektual. Dalam dialektika tentang akal budi tidak ada kemenangan yang diperoleh yang mengganggu ketenangan anda. Perselisihan dalam dialektika diperlukan oleh akal budi dan kita tidak bisa berharap bahwa ia dilakukan dengan kebebasan yang sempurna yang seharusnya menjadi kondisi esensial. Dalam kodrat manusia ada suatu kecenderungan yang tidak memiliki nilai, yakni kecenderungan dari segala sesuatu yang muncul dari alam, yang tujuan akhirnya bermanfaat bagi kebaikan umat manusia untuk menyembunyikan sentimen kita, dan memberikan ekspresi hanya terhadap pendapat tertentu yang dapat diterima,  yang dianggap aman dan memajukan kepentingan umum karena apakah yang bisa lebih merugikan kepentingan kecerdasan daripada pemasukan sentimen kita, untuk menyembunyikan keraguan yang kita rasakan dalam pernyataan kita, atau untuk mempertahankan keabsahan akal budi berdasarkan bukti yang baik yang kita tahu tidak memadai. Tapi kita harus berpikir bahwa tidak ada sesuatu di dunia ini yang lebih fatal bagi terpeliharanya tujuan baik daripada penipuan, kekeliruan, dan kepalsuan. Bahwa hukum kejujuran yang paling tegas harus diamati dalam pembahasan subjek spekulatif murni adalah persyaratan minimal yang dapat dibuat 

Kritik akal budi murni dapat dianggap sebagai pengadilan tertinggi bagi semua sengketa spekulatif; karena ia tidak terlibat dalam sengketa ini, yang memiliki hubungan langsung dengan benda-benda tertentu dan bukan dengan hukum pikiran, tetapi dilembagakan untuk tujuan menentukan hak dan membatasi akal budi. Tanpa kontrol kritik, akal budi dalam keadaan alami, dan hanya dapat menyatakan kliennya. Sebaliknya, kritik memutuskan semua pertanyaan sesuai dengan hukum dasar dari lembaga sendiri yang menjamin bagi kita kedamaian dan ketertiban hukum, dan memungkinkan kita untuk mendiskusikan semua perbedaan dengan cara yang lebih tenang dalam proses hukum. Sengketa tak berujung dalam akal budi dogmatis memaksa kita untuk mencari beberapa modus dalam memperoleh keputusan yang pasti dengan penyelidikan kritis terhadap akal budi itu sendiri; seperti yang dinyatakan hobbes bahwa keadaan alam adalah keadaan ketidakadilan dan kekerasan, dan bahwa kita harus meninggalkannya dan menyerahkan diri kita kepada paksaan hukum yang sesungguhnya membatasi kebebasan individu tetapi memungkinkan adanya kebebasan orang lain dan demi kebaikan bagi semuanya. Kebebasan ini antara lain akan memungkinkan kita secara terbuka untuk menyatakan kesulitan dan keraguan yang kita sendiri tidak mampu memecahkannya, tanpa menimbulkan keadaan yang bergolak dan berbahaya bagi warga. 

Untuk membangkitkan akal budi terhadap dirinya sendiri, untuk menempatkan senjata di tangan satu pihak di satu sisi serta dipihak lain dan untuk tetap menjadi penonton yang yang tidak terganggu dan sarkastik dari perjuangan sengit yang terjadi, tampaknya dari sudut pandang dogmatis, menjadi bagian yang pas hanya jika memiliki disposisi yang jahat. 

SKEPTISISME BUKAN SEBUAH KEADAAN TETAP BAGI AKAL BUDI MANUSIA

Kesadaran terhadap ketidaktahuan mutlak diperlukan bukannya untuk membentuk kesimpulan dari pertanyaan saya tetapi menjadi motif terkuat untuk mengejarnya. Semua ketidaktahuan adalah ketidaktahuan tentang benda-benda atau batas pengetahuan. Jika ketidaktahuan disengaja dan tidak perlu maka ia harus mendorong saya dalam kasus pertama untuk melakukan penyelidikan dogmatis mengenai objek yang saya ketahui; kedua untuk penyelidikan kritis dalam batas-batas semua pengetahuan yang bersifat mungkin. Oleh karena itu penentuan batas-batas akal budi dapat dilakukan hanya berdasarkan landasan apriori; sedangkan pembatasan empiris terhadap akal budi yang hanya merupakan kondisi yang tidak pasti dari kebodohan tidak pernah bisa benar-benar dihilangkan, bisa terjadi hanya secara aposteriori dengan kata lain, pengetahuan empiris kita dibatasi oleh apa yang belum tetap bagi kita untuk diketahui. Kognisi yang pertama dari ketidaktahuan kita, yang mungkin hanya atas dasar rasional adalah ilmu; dan yang terakhir hanyalah merupakan persepsi, dan kita tidak bisa mengatakan seberapa jauh kesimpulan yang diambil darinya dapat diperluas. Jumlah semua benda yang mungkin bagi kognisi kita tampaknya bagi kita merupakan permukaan yang rata, dengan cakrawala yang jelas yang membentuk batas luasnya, dan yang telah disebut oleh kita sebagai ide totalitas yang dikondisikan. Untuk mencapai batas ini dengan cara empiris tentu tidak mungkin, dan semua upaya untuk menentukan hal ini secara apriori berdasarkan prinsip juga sia-sia. Tapi semua pertanyaan yang diajukan dengan akal budi murni berhubungan dengan sesuatu yang terletak diluar cakrawala ini, atau setidaknya dalam garis batasnya. 

Perhatiannya terutama diarahkan pada prinsip kausalitas; dan dia mengatakan dengan keadilan yang sempurna tentang kebenaran prinsip ini, dan bahkan tentang keabsahan tujuan konsepsi penyebabnya, yang tidak didasarkan pada pemahaman yang jelas, yaitu berdasarkan sebuah kognisi apriori. Oleh karena itu ia menyimpulkan bahwa hukum ini tidak memperoleh kewenangannya dan kebutuhannya, tetapi hanya dari penerapan umum melalui pengalaman, dan merupakan semacam keharusan subjektif yang timbul yang disebut sebagai kebiasaan. Karena ketidakmampuan akal budi untuk membangun prinsip ini sebagai hukum yang diperlukan untuk mengakuisisi seluruh pengalaman, ia menyimpulkan nulitas dari semua upaya akal-budi untuk melewati wilayah empiris.  Kita menunjukkan berdasarkan prinsip-prinsip yang bisa dilakukan, bukan hanya tentang ketidaktahuan kita dalam kaitanya dengan subjek ini atau subjek itu, tetapi dalam kaitannya dengan semua pertanyaan yang bersifat mungkin dari kelompok tertentu. Dengan demikian, skeptisisme adalah tempat peristirahatan bagi akal budi, di mana ia mungkin berpikir atas dasar pengembaraan dogmatis dan mendapatkan beberapa pengetahuan tentang wilayah di mana ia terjadi, sehingga mungkin menempuh sebuah jalan dengan kepastian yang lebih besar; tetapi tidak bisa secara permanen menjadi tempat kediaman. Ia harus mengambil tempat tinggalnya yang berada di wilayah kepastian yang lengkap, apakah hal ini berkaitan dengan kognisi dari objek itu sendiri atau batas-batas yang terikat dengan semua kognisi kita. 

 

 Akal budi tidak bisa dianggap sebagai sebuah bidang tanpa batas waktu yang luas, dari batas-batas di mana kita hanya memiliki pengetahuan yang umum; yang seharusnya dibandingkan dengan sebuah bidang, radius yang dapat ditemukan dari permukaan yang lengkung, yaitu sifat dari proposisi sintetis apriori- dan dengan demikian merupakan lingkarannya dan luasnya. Di luar lingkup pengalaman tidak ada objek yang dapat disadari sepenuhnya; bahan pertanyaan tentang objek-objek tiruan yang hanya berhubungan dengan prinsip-prinsip subjektif dari penentuan lengkap tentang hubungan yang ada ada antara konsepsi pemahaman yang berada dalam bidang ini. Kami benar-benar memiliki sebuah kognisi sintetis apriori, sebagaimana dapat dibuktikan dengan adanya prinsip-prinsip pemahaman yang mengantisipasi pengalaman. Jika seseorang tidak dapat memahami kemungkinan tentang prinsip-prinsip ini ia mungkin memiliki beberapa alasan untuk melakukan apakah mereka benar-benar bersifat apriori; tapi dia tidak bisa menyatakan mereka sebagai sesuatu yang tidak mungkin, dan menegaskan nulitas dari langkah-langkah dimana akal-budi mungkin telah digunakan sebagai bimbingan mereka. Dia hanya bisa mengatakan: jika kita melihat asal-usul mereka dan keaslian mereka, kita harus dapat menentukan luas dan batas-batas akal budi; tapi sampai kita bisa melakukan hal ini, semua proposisi mengenai keduanya hanyalah merupakan pernyataan acak belaka. Berdasarkan pandangan ini keraguan terhadap semua filsafat dogmatis yang berlangsung tanpa bimbingan kritik memiliki alasan yang kuat; tapi kita tidak bisa menyangkal bahwa akal budi memiliki kemampuan untuk membangun sebuah filsafat yang masuk akal ketika jalan sudah disiapkan oleh penyelidikan kritis yang menyeluruh.

 

BAGIAN III. DISIPLIN AKAL BUDI MURNI DALAM HIPOTESIS

Kritik atas akal budi ini sekarang telah mengajarkan kita bahwa semua upaya untuk memperpanjang batas-batas pengetahuan melalui spekulasi murni benar-benar sia-sia. Begitu banyak bidang yang lebih luas yang mungkin muncul, yang terbuka bagi hipotesis; karena ketika kita tidak bisa mengetahui dengan pasti, kita bebas untuk melakukan dugaan dan membentuk anggapan. Imajinasi mungkin diperbolehkan di bawah pengawasan ketat dari akal budi untuk menciptakan anggapan; tapi ia harus didasarkan pada sesuatu yang sangat jelas dan itu adalah objek kemungkinan. Jika kita juga yakin terhadap poin ini, maka diizinkan untuk meminta bantuan kepada pengandaian dalam kaitannya dengan realitas objek; tapi pengandaian ini harus benar-benar beralasan dan memiliki hubungan, sebagai landasan bagi penjelasan dengan apa yang benar-benar ditentukan dan benar-benar diyakini. Pengandaian seperti itu disebut hipotesis. Di luar kekuasaan kita untuk setidaknya membentuk konsepsi apriori dari kemungkinan hubungan dinamis dalam fenomena; dan kategori pemahaman murni tidak akan memungkinkan kita untuk menciptakan hubungan tersebut tetapi hanya membantu kita untuk memahaminya. Untuk alasan ini, berdasarkan kategori tersebut kita tidak bisa membayangkan atau menemukan objek atau sifat apapun dari suatu objek yang tidak ditentukan.jika tidak, kita harus mendasarkan rantai kita dalam penggunaan akal budi berdasarkan khayalan yang tidak masuk akal dan bukan pada konsepsi tentang benda-benda. Dengan demikian, kita tidak punya hak untuk mengasumsikan eksistensi kekuatan yang baru, yang tidak ada di alam misalnya pemahaman tentang intuisi non inderawi, kekuatan atraksi tanpa hubungan, atau beberapa jenis baru substansi yang menempati ruang namun tidak memiliki sifat dapat ditembus, dan akibatnya kita tidak bisa berasumsi bahwa ada komunitas jenis lain diantara beberapa substansi selain yang dapat diamati dalam pengalaman, setiap jenis kehadiran selain yang hadir dalam ruang, atau segala jenis durasi darinya dalam waktu.

 

Konsepsi tentang akal budi, seperti yang telah kita tunjukkan, hanyalah merupakan ide-ide belaka dan dan tidak berhubungan dengan objek apapun dalam setiap jenis pengalaman. Pada saat yang sama, mereka tidak menunjukkan objek imajiner atau objek yang mungkin. Jika kita meninggalkan landasan pengalaman ini objek-objek tersebut akan menjadi fiksi pemikiran belaka, yang kemungkinan nya tidak dapat dibuktikan; dan akibatnya mereka tidak bisa diterapkan sebagai hipotesis dalam penjelasan fenomena yang nyata. Akal budi tidak memberikan landasan yang baik untuk mengakui eksistensi wujud yang dapat dipahami, atau sifat yang dapat dipahami dari benda-benda inderawi meskipun karena kita tidak memiliki konsepsi tentang kemungkinan mereka atau ketidakmungkinan mereka, ia akan selalu berada di dalam kekuatan kita untuk menegaskan secara dogmatis bahwa mereka tidak ada. 

 

 Sebuah hipotesis transcendental, dimana hanya ide tentang akal budi yang digunakan untuk menjelaskan fenomena alam, tidak akan memberi kita wawasan yang lebih baik mengenai sebuah fenomena, karena kita harus mencoba untuk menjelaskan sesuatu dimana kita tidak cukup memahaminya dari prinsip-prinsip empiris yang diketahui melalui sesuatu yang kita tidak memahaminya sama sekali. Prinsip-prinsip hipotesis tersebut mungkin menimbulkan kepuasan bagi akal budi, tapi hal itu tidak akan membantu pemahaman dalam penerapannya terhadap berbagai objek. Oleh karena itu, hipotesis transcendental tidak dapat diterima; dan kita tidak bisa menggunakan kebebasan untuk menerapkannya tanpa kehadiran fisik, yakni landasan hiper fisik bagi penjelasan.  Terdapat dua alasan yang menjadi penyebab hal ini yaitu yang pertama, karena hipotesis tersebut tidak mengajukan alasan, melainkan berhenti dalam kemajuannya; kedua , karena lisensi ini tidak akan membuahkan hasil dari semua kerja keras dalam lingkup yang tepat, yaitu lingkup pengalaman. 

 

Syarat agar diterimanya hipotesis adalah kecukupannya. Artinya, ia harus menentukan secara apriori  konsekuensi yang diberikan dalam pengalaman dan yang seharusnya muncul dari hipotesis itu sendiri. Jika kita perlu menggunakan hipotesis tambahan kecurigaan akan muncul sehingga mereka hanyalah merupakan fiksi belaka; karena kebutuhan bagi masing-masing memerlukan justifikasi yang sama seperti dalam kasus hipotesis asli dan dengan demikian kesaksian mereka tidak valid. 

BAGIAN IV. DISIPLIN AKAL BUDI MURNI DALAM KAITANNYA DENGAN BUKTI.

Ini adalah sebuah keganjilan yang membedakan bukti proposisi sintetis transcendental dengan bukti-bukti lainnya dari kognisi sintetis apriori lainnya yakni akal budi. Ini bukan hanya merupakan aturan kehati-hatian yang penting bagi kemungkinan bukti proposisi transcendental. Dalam matematika, intuisi apriori adalah yang memandu sintesis saya; dan dalam kasus ini semua kesimpulan kita dapat ditarik secara langsung dari intuisi murni. Dalam kognisi transcendental, selama kita hanya berurusan dengan konsepsi pemahaman kita dibantu oleh pengalaman yang bersifat mungkin. Artinya bukti dalam lingkup kognisi transcendental tidak menunjukkan bahwa konsepsi yang diberikan (yakni suatu peristiwa, misalnya) mengarah langsung kepada konsepsi yang lain (dari sebuah sebab)- karena hal ini akan menjadi sebuah saltus yang tidak ada ada yang dapat membenarkannya; tapi ia menunjukkan pengalaman itu sendiri, dan akibatnya menunjukkan objek pengalaman yang mustahil tanpa adanya hubungan yang ditunjukkan oleh konsepsi ini. Oleh karena itu bukti tersebut harus menunjukkan kemungkinan sintetis dan apriori yang sampai pada pengetahuan tertentu tentang benda-benda, yang tidak terkandung dalam konsepsi kita mengenai benda-benda ini. Kecuali kita memberi perhatian khusus terhadap persyaratan ini dan bukti kita, bukannya menempuh jalan yang lurus yang ditunjukkan oleh akal budi, yang mengikuti jalan berliku-liku dari hubungan subjektif belaka.

 Karena alasan ini, semua upaya yang telah dilakukan untuk membuktikan prinsip akal-budi yang memadai, menurut pengakuan universal para filsuf, setelah mengalami kegagalan; dan sebelum munculnya kritik transendental, baik karena prinsip ini tidak bisa ditinggalkan untuk menyatakan dengan berani tentang akal sehat manusia , daripada mencoba untuk menemukan bukti dogmatis yang baru. Tapi, jika proposisi yang harus dibuktikan itu adalah proposisi akal budi murni dan jika saya bertujuan untuk melangkah diluar konsepsi empiris saya dengan bantuan ide belaka, maka sangat penting bahwa bukti yang pertama harus menunjukkan bahwa langkah dalam sintesis tersebut adalah mungkin sebelum melanjutkan untuk membuktikan kebenaran dari proposisi itu sendiri apa yang disebut sebagai bukti tentang sifat sederhana jiwa dari kesatuan apersepsi adalah salah satu bukti yang sangat masuk akal.

 

BAB II. NORMA BAGI AKAL BUDI MURNI

 

Sungguh merupakan pertimbangan yang memalukan bagi akal budi manusia yang tidak mampu untuk menemukan kebenaran melalui spekulasi murni, tetapi sebaliknya, ia sangat membutuhkan disiplin untuk memeriksa penyimpangannya dari jalan yang lurus dan untuk menyingkapkan ilusi yang berasal darinya.  Tapi di sisi lain, pertimbangan ini harus meningkatkan dan memberikan kepercayaan diri karena disiplin ini dilaksanakan oleh dirinya saja, dan ia tunduk pada kecaman dari kekuatan lainnya. Apalagi batasnya yang dipaksa untuk diterapkan oleh penerapan spekulatif juga melakukan sebuah pemeriksaan atas pretensi lawan yang keliru; dan dengan demikian apa yang tersisa dari yang dimilikinya, setelah klaim yang berlebihan ini telah dianulir, aman dari serangan atau perampasan. Dengan demikian, yang terbesar dan mungkin satu-satunya dalam penggunaan semua filsafat akal budi murni memiliki karakter negatif murni. Pada saat yang sama,  harus ada beberapa sumber kognisi positif yang termasuk ke dalam wilayah akal budi murni dan yang menjadi penyebab kesalahan hanya karena kita menganggapnya sebagai karakter mereka yang sebenarnya, sementara mereka membentuk tujuan ke suatu arah dimana akal budi terus mengupayakannya. 

 

BAGIAN I. TENTANG TUJUAN AKHIR PENGGUNAAN AKAL BUDI MURNI

 

Di dalam akal budi terdapat hasrat kodrati untuk melakukan usaha di luar bidang pengalaman untuk mencoba mencapai batas maksimal dari semua kognisi melalui bantuan ide belaka dan tidak untuk berpuas diri jika telah mencapai kognisi keseluruhan dalam subsistensi diri secara sistematis . Apakah motif dalam usaha ini dapat ditemukan pada kepentingan spekulatif nya atau kepentingan praktis nya saja? Dengan mengabaikan hasil usaha akal budi murni dalam penerapan spekulatif nya pada saat ini, saya hanya akan menanyakan mengenai masalah solusi yang membentuk tujuan akhirnya, apakah tercapai atau tidak, dalam kaitannya dengan semua tujuan lain yang bersifat parsial dan tujuan perantara. Tujuan tertinggi ini berdasarkan sifat akal budi harus memiliki kesatuan yang lengkap.  Spekulasi transendental dalam akal budi berkaitan dengan tiga hal titik2 kebebasan kehendak, keabadian jiwa dan eksistensi tuhan. Kita mungkin akan menemukan bahwa kehendak itu memiliki kebebasan tetapi pengetahuan ini hanya berkaitan dengan penyebab yang dapat dimengerti dari kemauan kita. Mengenai fenomena atau ekspresi dari kehendak kehendak ini, yaitu tindakan kita terikat untuk menaati pepatah yang tidak dapat diganggu gugat yang tanpanya akal budi tidak dapat digunakan dalam bidang pengalaman. Untuk menjelaskan hal ini dengan cara yang sama seperti yang kita jelaskan mengenai semua fenomena alam lainnya, yaitu berdasarkan hukum-hukumnya yang tidak dapat berubah. Kita mungkin telah menemukan l spiritualitas dan keabadian jiwa, tetapi kita tidak bisa menggunakan pengetahuan ini untuk menjelaskan fenomena tentang kehidupan ini, atau keadaan khusus di masa depan karena konsepsi kita yang bersifat incorporeal benar-benar negatif dan tidak menambahkan sesuatu kepada pengetahuan kita dan satu-satunya kesimpulan yang bisa ditarik dari nya benar-benar bersifat fiktif. Jika sekali lagi kita membuktikan adanya sebuah kecerdasan yang tertinggi, darinya kita harus bisa membuat kesesuaian dengan tujuan yang ada dalam susunan dunia yang dapat dipahami; tapi kita tidak  dibenarkan untuk menyimpulkan darinya setiap pengaturan atau disposisi tertentu, atau menyimpulkan apapun yang tidak dapat dipersepsikan. Karena ia merupakan aturan yang diperlukan dalam penggunaan spekulatif akal budi sehingga kita tidak harus mengabaikan sebab-sebab alamiah atau menolak untuk mendengarkan pelajaran dari pengalaman, demi menyimpulkan apa yang kita tahu dan memahami dari sesuatu yang berada diluar semua pengetahuan kita. Pendek kata 3 proposisi ini, karena akal budi spekulatif selalu bersifat transenden dan tidak dapat digunakan sebagai prinsip-prinsip imanen dalam kaitannya dengan objek pengalaman; akibatnya mereka tidak ada gunanya bagi kita dalam bidang ini sehingga menjadi tidak berharga bagi upaya kita, dan tidak menguntungkan bagi akal budi. Oleh karena itu dalam bidang ini akal budi tidak bisa menghadirkan kepada kita selain hukum pragmatis dari tindakan bebas, karena bimbingan kita terhadap tujuan yang ditetapkan oleh indera tidak mampu untuk memberikan hukum murni dan pasti secara apriori semua kekuatan akal budi dalam bidang yang dapat disebut sebagai filsafat murni pada kenyataannya ditunjukkan kepada tiga masalah yang disebutkan di atas saja. Sekarang, karena masalah ini berkaitan dengan tujuan tertinggi umat manusia jelaslah bahwa tujuan utama alam, dalam menciptakan akal budi kita telah diarahkan kepada masalah moral saja. 

 

Pengalaman menunjukkan kepada kita adanya kebebasan praktis sebagai salah satu penyebab yang ada di alam yaitu ia menunjukkan kekuatan kausal bagi akal budi dalam penentuan kehendak titik sebaliknya, ide kebebasan transcendental membutuhkan akal budi tersebut dalam kaitannya dengan kekuatan kausal nya yang dimulai dengan serangkaian fenomena yang harus bebas dari semua penyebab inderawi yang menentukan; dan dengan demikian tampaknya ia bertentangan dengan hukum alam dan dengan semua pengalaman yang bersifat mungkin.

 

BAGIAN II. TENTANG CITA-CITA SUMMUM BONUM SEBAGAI LANDASAN PENENTUAN BAGI TUJUAN AKAL BUDI MURNI.

 

Akal budi menjelaskan kepada kita dalam penggunaan speculative nya melalui bidang pengalaman, dan karena ia tidak pernah dapat menemukan kepuasan yang lengkap di bidang tersebut dari sini ke pada ide-ide spekulatif, namun demikian pada akhirnya membawa kita kembali lagi kepada pengalaman, dan dengan demikian memenuhi tujuan akal budi dengan cara yang meskipun berguna namun sama sekali tidak sesuai dengan harapan kita. Dengan demikian, kita harus memastikan apakah dari sudut pandang kepentingan praktis, akal budi tidak dapat memberikan kepada kita sisi spekulatif yang sepenuhnya mengajukan bantahan kepada kita. Seluruh kepentingan akal budi baik yang spekulatif maupun yang praktis, berpusat pada tiga pertanyaan berikut:

1.       Apa yang bisa saya ketahui?

2.       Apa yang harus saya lakukan?

3.       Apa yang dapat saya harapkan?

 

 Pertanyaan pertama benar-benar bersifat spekulatif. Kita telah menggunakan semua jawaban yang bersifat rentan, dan pada akhirnya telah menemukan jawaban yang dengan jawaban itu akal budi harus berpuas diri, dan yang dengannya ia merupakan isi, asalkan ia tidak menaruh perhatian kepada yang praktis. Sejauh ini sepanjang yang bersangkutan dengan pengetahuan tersebut setidaknya pengetahuan yang telah ditegakkan dalam kaitannya dengan kedua masalah tersebut ia terletak di luar jangkauan kita.

 Pertanyaan kedua benar-benar bersifat praktis. Karena ia mungkin berada dalam wilayah akal budi murni, tapi tetap saja tidak bersifat transcendental, tapi bersifat moral, dan akibatnya tidak bisa dengan sendirinya membentuk subjek bagi kritik kita.

 Pertanyaan ketiga, ika saya bertindak sebagai mana saya harus melakukannya, apakah kemudian yang bisa saya harapkan? Masalah tersebut sekaligus bersifat praktis dan teoritis. Karena semuanya berharap untuk memiliki kebahagiaan bagi obyeknya dan ia berada dalam hubungan yang sama dengan hukum praktis dalam hukum moralitas ketika mengetahui tentang kondisi teoritis tentang benda-benda dan hukum alam. 

Yang pertama pada akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa ada sesuatu yang menentukan tujuan akhir, karena sesuatu harus terjadi; dan yang terakhir, bahwa sesuatu adalah yang beroperasi sebagai penyebab tertinggi, karena sesuatu tidak terjadi.  Kebahagiaan adalah kepuasan atas semua keinginan kita yang bersifat luas dalam kaitannya dengan keanekaragaman mereka; yang bersifat intensif dalam kaitannya dengan tingkatan mereka; dan bersifat potensi dalam kaitannya dengan keberlangsungan mereka. Yang pertama didasarkan pada prinsip-prinsip empiris; karena hanya dengan pengalaman sehingga saya dapat belajar kecenderungan yang ada yang menginginkan kepuasan, atau cara apa saja yang bersifat alami untuk memuaskan mereka.

 Yang kedua tidak memperhitungkan keinginan kita atau sarana untuk memuaskan mereka,  dan hanya menganggap kebebasan dari sebuah wujud rasional dan  kondisi yang diperlukan di mana saja kebebasan ini dapat menyelaraskan dengan tersebarnya kebahagiaan berdasarkan prinsip-prinsip. Hukum kedua ini dengan demikian bersandar pada ide belaka pada akal budi murni dan mungkin dipikirkan secara apriori. Oleh karena itu, akal budi murni sesungguhnya tidak mengandung prinsip spekulatif, tetapi dalam arti yang lebih tepat dalam penerapan moralnya menggunakan prinsip-prinsip kemungkinan pengalaman, di mana tindakan tersebut yang sesuai dengan ajaran etika, mungkin dapat ditemukan dalam sejarah manusia. Sebab, akal budi memerintahkan agar tindakan tersebut harus dilakukan, ia harus dimungkinkan bagi mereka untuk dilaksanakan titik, dan karenanya merupakan jenis tertentu dari kesatuan yang sistematis, yakni moral yang bersifat mungkin. Hal ini kemudian digunakan terutama dalam penggunaan moral, sehingga prinsip-prinsip akal budi murni memiliki realitas objektif. Tapi dunia ini harus dipahami hanya sebagai dunia yang dapat dimengerti, karena abstraksi di dalamnya berasal dari semua kondisi atau tujuan, dan pakan dalam semua hambatan moralitas (kelemahan atau kekurangan sifat manusia).

 Sekarang dalam dunia moral yang dapat dimengerti, dalam konsepsi dimana kita dapat membuat abstraksi dari semua hambatan bagi moralitas (hasrat inderawi), maka sistem kebahagiaan seperti itu berhubungan secara proporsional dengan moralitas yang dapat dipahami sebagai sesuatu yang diperlukan, karena kebebasan dalam kemauan sebagian memicu dan sebagian menahan hukum-hukum moral dengan sendirinya merupakan penyebab bagi kebahagiaan umum; dan dengan demikian wujud rasional di bawah bimbingan prinsip-prinsip tersebut akan menjadi pencipta bagi diri mereka sendiri baik dalam kesejahteraan abadi mereka sendiri maupun bagi orang lain. Dengan demikian cita-cita kebaikan hakiki tertinggi, yaitu akal budi murni, dapat menemukan landasan nya dalam hubungan praktis dari unsur kebaikan dari fatih tertinggi, yaitu dunia moral. Oleh karena itu hukum moral secara universal dianggap sebagai perintah, di mana mereka tidak bisa menghubungkan konsekuensi tersebut secara apriori dengan perintah mereka, dan dengan demikian membawa bersama mereka janji-janji sekaligus ancaman. 

Seluruh proses kehidupan kita harus tunduk pada prinsip-prinsip moral; tapi hal ini tidak mungkin kecuali dengan hukum moral, yang hanya merupakan ide belaka titik akal budi menghubungkan penyebab yang mentasbihkan semua perilaku yang sesuai dengan hukum moral sebagai isu, baik dalam kehidupan ini atau dalam kehidupan yang akan datang, yang sesuai dengan tujuan tertinggi kita titik dengan demikian, tanpa tuhan dan tanpa dunia, tidak ada yang tidak terlihat oleh kita sekarang kecuali harapannya dan ide-ide yang mulia tentang moralitas. Sesungguhnya semua itu merupakan objek-objek persetujuan dan kekaguman tetapi tidak bisa menjadi sumber dari tujuan dan tindakan. Karena mereka tidak memenuhi semua tujuan yang bersifat alami bagi setiap wujud rasional, dan yang ditentukan secara apriori oleh akal budi murni itu sendiri, dan sangat diperlukan.

 

BAGIAN III. TENTANG OPINI. PENGETAHUAN. DAN KEYAKINAN.

Adanya sebuah benda sesungguhnya merupakan fenomena dalam pemahaman kita yang mungkin berada dalam landasan yang objektif, tetapi juga membutuhkan penyebab subjektif dalam pikiran orang yang menilainya. Jika sebuah penilaian berlaku bagi setiap wujud rasional, maka landasannya secara objektif telah mencukupi, dan ia disebut sebagai sebuah keyakinan. Jika di sisi lain ia memiliki landasan dalam karakter tertentu dari subjek tersebut ia disebut sebuah persuasi. Persuasi adalah ilusi belaka, landasan dalam penilaian, yang hanya berada di dalam subjek yang dianggap objektif. Oleh karena itu, penilaian semacam ini hanya memiliki validitas pribadi yang hanya berlaku bagi individu yang menilai, dan adanya suatu benda  hanya berlaku dengan cara ini yang tidak dapat dikomunikasikan.

 Dengan demikian keyakinan dari sudut pandang eksternal mungkin harus dibedakan dengan persuasi, melalui kemungkinan untuk mengomunikasikannya dengan menunjukkan validitasnya bagi akal budi dari setiap manusia; karena dalam hal ini anggapan tersebut setidaknya muncul sehingga kesesuaian satu sama lain, terlepas dari karakternya yang berbeda pada setiap individu bersandar pada kesamaan kesesuaian masing-masing dengan objek nya, dan dengan demikian kebenaran terhadap penilaian tersebut telah ditegakkan. 

Dalam penilaian akal budi murni, opini tidak memiliki tempat titik karena mereka tidak berada dalam landasan empiris dan karena lingkup akal budi murni merupakan kebenaran yang diperlukan dan merupakan kognisi apriori prinsip hubungan didalamnya membutuhkan universalitas dan kebutuhan,  dan akibatnya memerlukan kepastian yang sempurna titik oleh karena itu sungguh tidak masuk akal untuk memiliki pendapat berdasarkan matematika murni; kita harus tahu atau menjauhkan diri sama sekali dari membentuk penilaian. Kasus ini sama dengan prinsip prinsip moralitas.  Karena kita tidak harus mengambil resiko sebuah tindakan berdasarkan opini belaka, tapi kita harus tahu bahwa hal itu terjadi titik di sisi lain dalam bidang akal budi transcendental, istilah opini terlalu lemah sedangkan istilah pengetahuan terlalu kuat. Oleh karena itu, dari sudut pandang spekulatif saja, kita tidak bisa membentuk sebuah penilaian sama sekali. 

Kita menemukan di dalam penilaian teoritis murni terdapat analogi dalam penilaian praktis, di mana istilah keyakinan dapat diterapkan dengan benar, dan mungkin kita bisa menyebutnya sebagai keyakinan doktrinal. Saya tidak perlu ragu untuk menyatakan kebenaran proposisi saya jika ada kemungkinan untuk membawanya kepada tes atas pengalaman yang setidaknya pada beberapa planet yang dihuni yang kita lihat. Oleh karena itu saya katakan bahwa saya tidak saja memiliki opini, tetapi juga memiliki keyakinan yang kuat, yang dengan kebenarannya saya bahkan mempertaruhkan banyak keuntungan dalam kehidupan sehingga di dunia yang lain ada penduduknya. Sekarang kita harus mengakui bahwa doktrin eksistensi tentang tuhan merupakan bagian dari keyakinan doktrinal. Dalam kebijaksanaan wujud yang maha tinggi dan dalam kehidupan yang singkat, sangat tidak memadai bagi pengembangan kekuatan mulia sifat manusia sehingga kita dapat menemukan landasan yang cukup bagi keyakinan doktrinal dalam kehidupan masa depan jiwa manusia. Istilah keyakinan hanya mengacu pada bimbingan yang diberikan oleh ide kepada saya, dan terhadap pengaruh subjektifnya terhadap perilaku akal budi saya, yang memaksa saya untuk memegangnya dengan erat, meskipun saya mungkin tidak berada dalam posisi untuk memberikan penjelasan spekulatif tersebut. Namun keyakinan doktrinal saja sampai batas tertentu membutuhkan stabilitas. Kita seringkali melepaskan pegangan kita sebagai akibat dari kesulitan yang terjadi dalam spekulasi, meskipun pada akhirnya kita pasti kembali ke sana lagi.

 

BAB III. ARSITEKTONIS AKAL BUDI MURNI

Yang saya maksud dengan istilah arsitektonis adalah seni membangun sebuah sistem titik tanpa kesatuan sistematis pengetahuan kita tidak bisa menjadi ilmu; ia akan menjadi sebuah agregat dan bukan sistem. Jadi arsitektonis adalah doktrin ilmiah dalam kognisi, dan karena itu tentu merupakan bagian dari metodologi kita. Akal budi tidak dapat mengizinkan pengetahuan kita untuk tetap berada dalam keadaan yang tidak terhubung, tetapi menghendaki agar jumlah komisi kita menjadi suatu sistem titik dengan demikian mereka dapat melangkah maju untuk mencapai tujuan akal budi. Yang saya maksud dengan sebuah sistem adalah kesatuan berbagai komunitas dibawah satu ide. Ide adalah konsepsi yang diberikan oleh akal budi dari bentuk keseluruhan, sejauh konsepsi menentukan secara apriori bukan saja batas isinya, tetapi yang ditempati oleh masing-masing bagiannya. Dengan demikian gagasan ilmiah itu berisi tujuan dan bentuk keseluruhan yang sesuai dengan tujuan tersebut.  Untuk mewujudkan ide dari sebuah sistem, kita membutuhkan skema, yaitu isi dan susunan bagian yang ditentukan secara apriori dengan prinsip yang bertujuan untuk mengaturnya. Sebuah skema yang tidak bisa diproyeksikan sesuai dengan sebuah ide, yaitu dari sudut pandang tujuan tertinggi akal budi, tetapi hanya secara empiris, yakni sesuai dengan tujuan yang tidak disengaja dan tujuan yang tidak dapat memberikan apa-apa selain kesatuan teknis. Namun skema tersebut yang berasal dari sebuah ide (di mana akal budi menyajikan kepada kita dengan tujuan apriori, dan tidak terlihat bagi mereka untuk mengalaminya),  yang membentuk dasar bagi kesatuan arsitektonis. 

Tujuan kita saat ini adalah semata-mata untuk membuat sketsa rencana arsitektonis dari semua kognisi yang diberikan oleh akal budi murni; dan kita memulainya dari titik di mana akar utama pengetahuan manusia terbagi menjadi dua salah satunya adalah akal budi. Dengan akal budi saya dapat memahami seluruh fakultas yang lebih tinggi pada kondisi, wujud rasional yang ditempatkan secara berseberangan dengan wujud empiris. Semua kognisi rasional sekali lagi berdasarkan pada konsepsi atau pada pembangunan konsepsi.  Yang pertama disebut filosofis dan yang kedua disebut matematis.  Sebuah kognisi mungkin secara objektif bersifat  filosofis  dan secara subjektif bersifat historis.  Dengan demikian dari semua ilmu pengetahuan apriori tentang akal budi, matematika saja yang bisa dipelajari titik filsafat kecuali yang bersifat historis tidak dapat dipelajari; kita paling-paling hanya bisa belajar untuk berfilsafat. Filsafat adalah sistem dari semua kognisi filosofis. Kita harus menggunakan istilah ini dalam arti kata objektif, jika kita memahami dengannya pola dasar dari semua upaya untuk berfilsafat,  dan standar yang dengannya semua filsafat subjektif harus dinilai titik dalam hal ini tirta fat hanyalah merupakan gagasan ilmu yang mungkin yang tidak ada, tapi yang dengannya kita berusaha dengan berbagai cara untuk mendekatinya, sampai kita telah menemukan jalan yang benar untuk memperolehnya sebuah jalan yang ditumbuhi oleh kesalahan dan ilusi indera dan gambar di mana kita sampai sekarang telah mencoba namun hasilnya sia-sia.  Sampai saat itu, kita tidak bisa mempelajari filsafat karena ia tidak ada; jika tidak, dimanakah iya yang memilikinya, dan bagaimanakah kita mengetahuinya? Kita hanya bisa belajar berfilsafat; dengan kata lain, kita hanya dapat menggunakan kekuatan akal budi kita sesuai dengan prinsip-prinsip umum, pada saat yang sama mempertahankan hak untuk menyelidiki sumber prinsip-prinsip ini mengujinya dan bahkan menolaknya.

Ide dasar dari filsafat akal budi murni mengharuskan pembagian ini; oleh karena itu ia bersifat arsitektonis yang sesuai dengan tujuan tertinggi akal budi, dan bukan hanya bersifat teknis atau sesuai dengan kesamaan yang dengan tidak sengaja telah diamati di antara bagian yang berbeda dari seluruh ilmu tersebut. Kita telah belajar dari pengalaman bahwa tidak ada yang lebih diperlukan untuk menyajikan kepada kita sebuah objek pada umumnya dari indera eksternal atau dari indera internal. Dalam kasus yang pertama, melalui konsepsi tentang materi belaka (ekstensi yang tidak dapat ditembus dan tidak bernyawa), dan pada yang terakhir berdasarkan konsepsi tentang makhluk berpikir, yang diberikan dalam representasi empiris internal. Karena pokok persoalannya adalah unsur-unsur dan prinsip-prinsip tertinggi dalam akal budi, yang membentuk dasar dari kemungkinan beberapa ilmu dan penggunaan semuanya. Sehingga sebagai ilmu spekulatif murni,  ia lebih berguna dalam mencegah kesalahan daripada memperluas pengetahuan, yang tidak mengurangi nilainya. Sebaliknya, kedudukan tertinggi bagi sensor yang ia lakukan adalah untuk menjamin otoritasnya yang tertinggi dan kepentingannya. Kedudukan ini adalah untuk mengamankan ketertiban, ketidakharmonisan,  dan kesejahteraan ilmu pengetahuan dan mengarahkan usaha yang mulia dan bermanfaat tersebut untuk mencapai tujuan yang tertinggi yaitu kebahagiaan bagi seluruh umat manusia 

 

BAB IV. SEJARAH AKAL BUDI MURNI

1.      Dalam kaitannya dengan objek kognitif akal budi, filsuf dapat dibagi menjadi penganut inderawi dan penganut intelektual. Dapat dianggap sebagai pelopor bagi yang pertama, dan plato sebagai pelopor yang terakhir. Perbedaan tersebut disini menunjukkan tanggal permulaannya dan telah lama di pertahankan titik yang pertama menegaskan bahwa realitas berada dalam objek indrawi saja, dan bahwa segala sesuatu yang lain hanyalah khayalan; dan yang kedua menyatakan bahwa indera adalah induk dari ilusi dan kebenaran yang dapat ditemukan dalam pemahaman saja. Yang pertama tidak menyangkal konsepsi tentang pemahaman, tapi bagi mereka hal itu hanyalah bersifat logis,dan bagi orang lain bersifat mistis. Yang pertama mengakui adanya konsepsi intelektual, tetapi menyatakan bahwa objek indrawi hanya dimiliki oleh eksistensi yang nyata. Yang terakhir menyatakan bahwa semua objek-objek yang nyata dapat dipahami dan percaya bahwa pemahaman murni memiliki sebuah fakultas intuisi selain indra,  yang menurut pendapat mereka hanya berfungsi untuk membingungkan ide-ide dari pemahaman

2.      Dalam kaitanya dengan asal-usul kognisi murni akal budi, aristoteles dapat dianggap sebagai tokoh empiris, dan plato adalah tokoh noologis. Locke, pengikut aristoteles di zaman modern, dan leibnitz sebagai pengikut plato (meskipun ia tidak dapat dikatakan telah meniru dia dalam mistisismenya), belum mampi membawa pertanyaan ini kepada kesimpulan yang pasti. Prosedur epicurus dalam sitem inderawinya, di mana ia selalu membatasi kesimpulannya pada bidang pengalaman, jauh lebih konsekuen daripada aristoteles dan locke. 

3.      Dalam hubungannya dengan metode. Metode adalah prosedur berdasarkan prinsip-prinsip.  Kita saat ini dapat membagi metode penerapan dibidang penyelidikan menjadi naturalistik dan ilmiah. Penganut naturalisme akal budi murni meletakkannya sebagai prinsip akal budi umum, tanpa bantuan ilmu pengetahuan yang disebutnya sebagai akal budi yang masuk akal, atau akal sehat yang dapat memberikan jawaban yang lebih memuaskan atas pertanyaan metafisika yang paling penting dari spekulasi yang mampu untuk dilakukan. Ikuti akal sehat tanpa menunjukkan ketidaktahuan mereka sebagai sebuah metode yang mengajarkan kita rahasia yang luar biasa, bagaimana kita dapat menemukan kebenaran yang berada di dasar pemikiran Democritus. Mengenai orang-orang yang ingin menerapkan metode ilmiah, mereka sekarang memiliki pilihan dogmatis atau skeptis, sementara mereka terikat untuk tidak pernah meninggalkan modus prosedur sistematis. Ketika saya menyebutkan dalam kaitannya dengan yang pertama, Wolf  yang terkenal dan dalam hubungannya dengan yang terakhir, David Hume, sesuai dengan maksud saya ini, saya dapat meninggalkan orang-orang lain yang tidak disebutkan namanya.

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENERAPAN FISAFAT DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA SEKOLAH DASAR

Sebuah pengantar, Refleksi Perkuliahan Filsafat Ilmu Pertemuan Pertama oleh Dosen Pengampu Prof. Dr. Marsigit, M.A.