Refleksi Buku The Critique Of Pure Reason
THE
CRITIQUE OF PURE REASON
by
Immanuel Kant
Kata Pengantar Edisi Pertama, 1781
Perlunya pertimbangan
pada bidang kognisi untuk pernyataan alam yang tidak bisa ditolak karena
merupakan fenomena yang melampaui batas pikiran manusia. Manusia jatuh ke dalam
kebingungan dan kontradiks, karena tidak dapat menjawab dengan prinsip-prinsip,
yang digunakan telah melampaui batas-batas pengalaman. Konteks tanpa akhir
disebut Metafisik.
Waktu adalah ratu semua
ilmu. Fisiologi pemahaman manusia yang terkenal yaitu Locke, tidak bisa merujuk
ke sumber yang lebih tinggi dari pengalaman umum. Mengakibatkan macetnya sains,
jatuh kedalam kebingungan dan ketidakjelasan. Penalaran merupakan solusi untuk
menjawab pertanyaan tentang kemungkinan atau ketidakmungkinan metafisika,
penentuan asal, dan batas ilmu. Semua dilakukan atas dasar prinsip. Tidak ada
satu masalah metafisik yang tidak menemukan solusi atau setidaknya kunci
solusi. Akal murni adalah kesatuan yang sempurna. Terdapat batasan pada
metafisik yaitu hanya pemeriksaan akal dan pikiran murni serta tidak jauh dari
kognisi. Penalaran sederhana memiliki tugas untuk menjawab pertanyaan dengan
alasan, tanpa materi dan dilengkapi pengalaman.
Dua kondisi yang
diperlukan adalah kepastian dan kejelasan. Mengenai kepastian disasarkan pada
apriori. Kejelasan diskursif atau logis merupakan konsepsi dan intuisi atau
estetis oleh ilustrasi. Alasan spekulatif murni diperkenalkan dengan Metafisik
Murni.
Kata Pengantar Edisi Pertama, 1787
Ketidakpastian menjadi
ciri kemajuan ilmu pengetahuan. Zaman modern memperkenalkan kemampuan mental,
seperti imajinasi, kecerdasan, metafisik, diskusi asal mula pengetahuan,
perbedaan jenis kepastian, perbedaan objek (idealisme, skeptisisme, dan
sebagainya), diskusi antropologis, penyebab dan perbaikan. Keberhasilan awal
logika dikaitkan secara eksklusif. Matematika dan fisika adalah ilmu teoretis
dengan objek murni apriori dan Sebagian dari sumber kognisi lain. Pengalaman
mmode kognisi membutuhkan pemahaman yaitu apriori. Prinsip kebenaran dalam Critique
of Pure Reason bersifat spekulatif dan praktis. Sistem filosofis tidak bisa
maju dengan risalah matematika sedangkan struktur dianggap satu kesatuan.
PENGANTAR
Pengalaman
adalah pengetahuan tentang objek. Pengetahuan yang terlepas dari pengalaman
disebut a priori, sedangkan pengetahuan yang didasarkan pengalaman disebut a
posteriori. Pengetahuan murni a priori adalah sesuatu yang tidak memiliki
elemen empiris yang tercampur.
Apriori
murni tidak diturunkan dari proposisi lain. Pengetahuan empiris diasumsikan dan
induksi. Tidak seorangpun dapat mengakui keabsahan penggunaan aturan dalam
kognisi apriori murni, Konsepsi substansi memiliki kedudukan didalam kognisi a
priori murni. Semua ilmu teoritis tentang nalar, penilaian sintetis “a priori”
terkandung sebagai prinsip :
1. Penialaian
matematis selalu sintetis. Proposisi matematika yang tepat adalah selalu
menilai secara apriori, dan tidak empiris karena mereka menjalankannya dengan
konsepsi sesuai kebutuhan yang tidak dapat diberikan melalui pengalaman.
Analisis memerlukan konsepsi sedangkan sintesis memerlukan konsepsi.
2. Ilmu
filsafat alam (fisika) mengandung penilaian sintetik a priori.
3. Metafisik
menurut tujuan ilmu yang tepat mengandung proposisi sintetik apriori.
Masalah universal dari Pure
Reason
Penilaian sintetik diposisikan secara a
priori. Ketidakmungkinan sintetik a priori tergantung keberadaan metafisik.
Davide Huem mengungkapkan bahwa metafisika hanyalah khayalan biasa. Matafisik
harus dianggap benar-benar ada. Jika bukan sebagai ilmu namun sebagai watak
alami manusia. Ketidakmampuan metafisik dalam penilaian dibatasi ketat oleh
alasan murni. Untuk penalaran manusia diperlukan suatu ilmu yang darinya setiap
cabang dapat ditanggungnya atau dipotong, tetapi akarnya tetap tidak bisa
dihancurkan.
Bagian
I. Ruang
SS.2
. Metafisik eksposisi dari konsep
Indera eksternal (pikiran) artinya
mewakili diri sebagai diri sebagai objek. Indera internal artinya tidak memberi
intuisi jiwa sebagai objek.
1. Ruang
bukanlah konsepsi yang diturunkan dari pengalaman luar, melainkan melalui
antiseden.
2. Ruang
merupakan representasi a priori dari intuisi eksternal.
3. Ruang
bukanlah diskrutif tapi intuisi murni atau intuisi a priori yang tidak empiris
dengan kepastian apodeiktik.
4. Ruang
direpresentasikan sebagai kuantitas tertentu yang tidak terbatas. Representasi
ruang adalah intuisi a priori dan bukan konsepsi.
SS.
4. Keseimpulan dari konsepsi sebelumnya
1. Ruang
tidak merepresentasikan objek dan tidak mewakili hubungan antar objek.
2. Ruang
adalah wujud dari fenomena eksternal yaitu subyektif dan sensibilitas.
Sensibilitas adalah suatu kondisi
yang diperlukan dari semua hubungan dimana objek dapat diintuisi sebagai yang
ada tanpa kita dan ketika abstraksi benda-benda ini dibuat disebut intuisi
murni yang diberi nama ruang. Ruang berisi semua yang didapat secara eksternal
Jika kita menggabungkan batasan penilaian konsepsi subjek, maka penialaian akan
memiliki validitas tanpa syarat. Tetapi jika menggabungkan kondisi konsepsi
maka aturan tersebut berlaku secara universal dan tanpa batasan apapun. Ruang
yang tidak ada representasi subjektif dan mengacu pada sesuatu diluar pikiran
disebut objektif a priori.
Bagian
II. Waktu
SS.5.
Metafisik eksposisi dari konsep
1. Waktu
bukanlah konsepsi empiris
2. Waktu
adalah representasi yang didasarkan intuisi
3. Waktu
sebagai a priori dan apodeiktik prinsip hubungan waktu atau aksioma waktu
4. Waktu
bukanlah diskursif atau konsepsi umum tetapi murni bentuk intuisi
5. Ketidakterbatasan
waktu sebagai penanda tidak lebih dari yang ditentukan kuantitas waktu.
SS.7. Keseimpulan dari konsepsi sebelumnya
1. Waktu
bukanlah sesuatu yang ada dengan sendirinya atau penentuan objektif dan tetap,
ketika abstraksi dibuat dari kondisi subjektif dari intuisi
2. Waktu
adalah bentuk dari indera internal yaitu intuisi, karena semua hubungannya dapat
di ekspresikan dalam intuisi eksternal
3. Waktu
adalah kondisi formal dari semua fenomena apapun. Ruang bentuk murni intuisi
eksternal.
Waktu
adalah kondisi a priori dari semua fenomena apapun, kondisi langsung dari semua
internal dan kondisi perantara dari semua fenimena eksternal. Waktu adalah
kondisi subjektif dari intuisi. Realitas empiris waktu artinya validitas
objeknya mengacu pada semua objek yang ada pada indera.
II.
Identitas eksternal dan internal dari semua objek dianggap fenomena belaka.
Pengertian
eksternal tidak ada tetapi hanya representasi dari hubungan yang
diberikan. Pengertian eksternal tersebut
dalam representasi hanya dapat berisi relasi objek ke subjek tetap, bukan sifat
esensial dari objek sebagai bend aitu sendiri.
III.
Intuisi objek eksternal dan intuisi subjek dalam ruang dan waktu
IV.
Teologi murni tidak menjadi objek intuisi karena mengandung batasan. Manusia
berpikir terbatas karena disimpulkan dan bukan yang asli, akibatnya bukan
intuisi intelektual.
SS.10.
Kesimpulan dari trasendental estetika
Ruang
dan waktu merupakan intuisi a priori murni. Intuisi murni tidak menjangkau hal
diluar objek indera, hanya berlalu untuk objek yang memungkinkan pengalaman
Bagian
II. Trasedental Logis
Perkenalan.
Ide dari trasendental logis
I.
Logis secara umum
Sumber utama pengetahuan dalam
pikiran yaitu menerima representasi.
Pikiran tanpa isi itu adalah hampa, intuisi tanpa konsepsi itu buta. Oleh
karena itu, pikiran perlu membuat konsepsi sensual untuk membuat intuisinya
dipahami. Kekuatan mengenali representasi, keduanya murni dan empiris. Logika
ada dua macam logika umum dan logika khusus, unsur atau murni atau terapan atau
empiris atau subjektif atau ilmu tertentu. Ahli logika hanya memenuhi dua
aturan:
1. Sebagai
logika umum abstraksi dari bentuk pikiran
2. Sebagai
logika murni tidak memiliki prinsip murni.
II.
Transedental Logis
Logika
umum memperlakukan bentuk pemahaman yang diterapkan pada representasi.
Representasi (intuisi dan konsepsi) diterapkan hanya a priori dari kognisinya
dan penggunaan a priori itu trasendental. Perbedaan yang trasendental dan
empiris hanya milik kognisi dan tidak menyangkut hubungan dengan objek mereka.
Konsepsi menghubungkan a priori dengan objek bukan intuisi murni tetapi
empiris.
III.
Pembagian logis umum antara analitik dan dealitik
Definisi dari kata kebenaran adalah yang sesuai dari kognisi dengan
objeknya. Sebuah pertanyaan yang ditolak masuk akal dan tidak dapat dikenali
dari jawaban rasional itu berbahaya. Jika kebenaran terdiri dari kesesuaian antara
kognisi dan objeknya. Kognisi palsu jika tidak sesuai dengan objek yang
terkait. Kebenaran benar jika apa yang berlaku untuk semua kognisi.
Kriteria kebenaran logis yaitu kesesuaian antara kognisi dengan yang
universal dan hukum formal pemahaman dan nalar. Logika umum dalam karakter
asumsinya organon (instrumen) disebut dialektika. Logika umum sebagai organon
menjadi logika ilusi yaitu dialektika.
IV.
Pembagian transendental logis dari transedental analitik dan dialektik.
Logika
trasendental yang tidak ada objek yang dipikirkan bersifat analitik
trasendental. Logika yang menilai
menggunakan empiris dari pemahaman bersifat sintetik yang kemudian disebut
dialektis.
Transedental
Logis. Pembagian Pertama
SS
1. Transedental analitik
Analisis
transedental adalah pembedahan dari seluruh pengetahuan a priori menjadi
kognisi murni dari pemahaman.
Tujuan
transedental analitik adalah : (1) agar konsepsi menjadi murni dan tidak
empiris, (2) bukan intuisi dan sensibilitas tetapi berpikir untuk memahami, (3)
konsepsi dasar berbeda dari kesimpulan majemuk presepsi, (4) konsepsinya
memenuhi seluruh lingkup pemahaman murni.
SS
2. Analitik konsepsi
Analitik
konsepsi adalah pembedahan pemahaman untuk menyelidiki kemungkinan konsep
apriori dengan menganalisis penggunaan pikiran murni. Tugas filosofis
transedental adalah pembenaran logis pada konsepsi dalam filsafat secara umum.
Bagian
I. Petunjuk transedental dalam penemuan pemahaman konsepsi murni
SS
3. Pengenalan
Keunggulan
mencari konsepsi menurut prinsip, konsepsi murni dan tidak bercampur dengan
pemahaman mutlak, dan saling terhubung antar satu konsepsi atau ide.
SS
4. Bagian 1. Definisi dari penggunaan pemahaman secara umum
Pemahaman
adalah kognisi melalui konsep bukan intuitif tetapi diskursif . Intuisi
bergantung pada konsepsi bergantung pada spontanitas,
SS
5. Logika pemahaman dalam penilaian
|
1 |
|
|
Kuantitas penilaian |
|
|
Universal |
|
|
Partikular |
|
|
Singular |
|
|
|
|
2 |
|
3 |
Kualitas |
|
Relasi |
Afirmatif |
|
Kategori |
Negatif |
|
Hipotesis |
Infinite |
|
Disjungsi |
|
4 |
|
|
Modaliti |
|
|
Problem |
|
|
Assertorical |
|
|
Apodeictical |
|
|
|
|
Penjelasan:
1. Ahli
logika mengatakan dengan keadilan, penggunaan penilaian dalam silogisme,
penilaian tunggal dapat diperlakukan penilaian universal.
2. Logika
transendental memiliki keterbatasan yang dibedakan dari penilaian afirmatif
meskipun secara logika umum benar.
Pemikiran
dalam penilaian adalah (a) dari predikat untuk subjek; (b) dari prinsip untuk konsekuensinya;
(c) dari yang terbagi kognisi dan semua anggota divisi satu sama lain
Modalitas penilaian adalah karaktersitik pembeda, yaitu tidak memberikan
kontribusi apa pun pada konten penilaian (karena
selain kuantitas, kualitas, dan hubungan, tidak ada apa-apa
lebih dari yang merupakan isi keputusan), tetapi menyangkut dirinya sendiridalam
hubungannya dengan pemikiran secara umum.
Logika umum membuat abstraksi dari
semua konten
kognisi, dan mengharapkan untuk
menerima representasi dari beberapa kuartal lainnya,
agar, melalui analisis, untuk
mengubahnya menjadi konsepsi.
Tetapi spontanitas pemikiran
mengharuskan keragaman ini diuji- di dalam dengan cara tertentu, diterima ke
dalam pikiran, dan terhubung membentuk kognisi darinya. Proses ini saya
sebut sintesis.
Tugas logika transendental adalah
mereduksi menjadi konsepsi, bukan representasi, tetapi sintesis murni
representasi.
Konsepsi primitif dari pemahaman murni,
juga memiliki konsepsi yang direduksi dalam sistem lengkap ilmu pengetahuan
transendental,
Representasi yang bisa diberikan
sebelumnya untuk semua pikiran disebut intuisi. Murni persepsi, untuk
membedakannya dari empiris; atau ap- primitive persepsi, karena itu adalah
kesadaran diri yang, ketika melahirkan ke representasi .
Kesatuan dari apersepsi sebut sebagai
kesatuan transendental kesadaran diri, untuk menunjukkan kemungkinan apriori
kognisi yang timbul darinya Prinsip fundamental dari kesatuan apersepsi yang
diperlukan adalah memang proposisi yang identik, dan karena itu
analitis; tapi tidak pernah- kurang menjelaskan perlunya sintesis
Prinsip tertinggi kemungkinan semua
intuisi dalam hubungannya dengan sensibilitas, menurut estetika transendental
bahwa semua manusia dalam intuisi tunduk pada kondisi formal ruang dan waktu.
Semua penyatuan representasi
membutuhkan kesatuan kesadaran dalam sintesis. Akibatnya, itu adalah
kesatuan kesadaran sendiri yang merupakan kemungkinan representasi yang
berkaitan dengan suatu objek,
Sebuah penilaian, yaitu, suatu hubungan
yang memiliki validitas objektif, dan sangat berbeda
dari hubungan representasi yang sama
yang hanya memiliki validitas suatu hubungan, dengan kecerdasan, yang
diproduksi menurut hukum asosiasi.
Intuisi sensual adalah intuisi murni
(ruang dan waktu) atau empiris intuisi
yang langsung diwakili dalam ruang dan waktu sarana sensasi yang
nyata. Melalui penentuan intuisi murni
kita memperoleh kognisi apriori objek,
seperti dalam matematika, tetapi hanya sebagai menganggap bentuk mereka sebagai
fenomena;
Akibatnya konsepsi pemahaman murni,
bahkan ketika diterapkan pada intuisi a
priori (seperti dalam matematika), menghasilkan kognisi hanya sejauh ini (dan
karena itu konsepsi pemahaman melalui mereka) dapat diterapkan pada intuisi
empiris kategori hanya berfungsi untuk membuat empiris kognisi
Konsepsi murni pemahaman berlaku untuk
objek intuisi secara umum, melalui pemahaman
Realitas objektif, yaitu aplikasi pada objek yang diberikan intuisi,
tetapi itu hanya sebagai fenomena, karena itu hanya fenomena mampu melakukan
intuisi apriori.
Sintesis imajinasi adalah Tindakan
spontanitas, yang determinatif, dan bukan, seperti indra.
Internal yaitu bagaimana indra ini
mewakili kita pada kesadaran kita sendiri,
hanya ketika kita muncul pada diri kita
sendiri, bukan seperti kita dalam diri kita sendiri, karena, untuk kecerdasan,
kita intuisi diri kita sendiri hanya karena kita dipengaruhi secara batiniah.
Yang menentukan indera internal adalah pemahaman, dan pengertiannya
kekuatan asli menggabungkan berbagai intuisi,
SS 22. Pengurangan Transendental dari
kemungkinan pengalaman
Dalam deduksi metafisik, asal mula
kategori dibuktikan dengan kesesuaianya dengan logika pemikiran; dalam
deduksi transendental menunjukkan kemungkinan kategori sebagai kognisi apriori
objek intuisi.
kategori sintesis yang homogen dalam
sebuah intuisi; yaitu kategori kuantitas,
yang mana sintesis pemahaman tersebut
di atas, yaitu, persepsi harus benar-benar sesuai.
Kategori adalah konsepsi yang
menetapkan hukum apriori untuk fenomena. Kognisi empiris pengalaman; akibatnya
tidak ada kognisi apriori yang mungkin bagi kita, kecuali objek dari
pengalaman.
BUKU II.
Logika umum dibangun di atas
rencana kognisi Logika transendental,
terbatas pada konten penentu, yaitu kognisi apriori murni, tepatnya, tidak
dapat meniru logika umum.
Logika umum tidak mengandung arahan
penilaian, juga tidak dapat berisi apa pun. pemahaman mampu diinstruksikan oleh
aturan.
DOKTRIN TRANSSENDENTAL
PENILAIAN ATAU ANALITIK PRINSIP.
BAB I. Skema di Konsepsi Murni
Konsepsi harus mengandung apa yang
direpresentasikan dalam objek yang akan dituju
dimasukkan di bawahnya. Representasi
mediasi ini harus murni (tanpa empiris apapun
konten), namun di satu sisi harus
menjadi intelektual, Representasi
seperti itu adalah skema transendental.
Konsepsi pemahaman mengandung kesatuan
sintetik murni manifold pada umumnya. Waktu, sebagai kondisi formal
bermacam-macam pengertian internal, akibat dari hubungan semua representasi,
Realitas, dalam konsepsi murni
pemahaman, adalah apa yang menanggapi sensasi secara umum; bahwa,
akibatnya, konsepsi yang menunjukkan waktu. Negasi adalah konsepsi yang
mewakili suatu ketidak-keberadaan (dalam waktu).
Skema kemungkinan adalah kesesuaian
dari sintesis yang berbeda representasi dengan kondisi waktu secara umum
(seperti, misalnya, berlawanan tidak bisa ada bersama pada saat yang sama dalam
hal yang sama, tetapi hanya setelah satu sama lain), dan oleh karena itu
penentuan perwakilan. Skema realitas adalah keberadaan dalam waktu yang
ditentukan.
Skema kebutuhan adalah keberadaan suatu
objek di sepanjang waktu.
SISTEM PRINSIP MURNI DI BAWAH
KEDUDUKAN.
Prinsip pemahaman murni adalah:
1Aksioma Intuisi
2Antisipasi Persepsi
3 Analogi Pengalaman
4 Postulat Pemikiran Empiris secara
umum
1. AXIOMS OF INTUITION.
Prinsipnya adalah: Semua Intuisi adalah
Kuantitas Ekstensif.
BUKTI.
Jenis kombinasi kedua (nexus) adalah
sintesis manifold, sejauh bagian-bagiannya memang menjadi milik satu sama lain.
Aksioma haruslah proposisi sintetik apriori. Empiris
intuisi hanya mungkin melalui intuisi
murni (ruang dan waktu). Sintesis ruang dan waktu
sebagai bentuk esensial dari semua
intuisi, adalah yang memungkinkan pemahaman tentang suatu fenomena, dan
karenanya setiap pengalaman eksternal, akibatnya semua kognisi objek
pengalaman; dan matematika.
2. ANTISIPASI PERSEPSI.
Prinsip dari ini adalah: Dalam semua
fenomena yang Nyata, apa adanya
sebuah objek sensasi, memiliki
Kuantitas Intensif, yaitu memiliki Derajat.
BUKTI.
Persepsi adalah kesadaran empiris,
artinya, kesadaran yang mengandung unsur sensasi. Fenomena sebagai objek
persepsi tidak murni, yaitu, hanya intuisi formal, seperti ruang dan waktu,
bagi mereka tidak dapat dirasakan dalam diri mereka sendiri.
3. ANALOGI PENGALAMAN.
Prinsip dari ini adalah: Pengalaman
hanya mungkin melalui perwakilan
sentasi koneksi yang diperlukan dari
Persepsi.
BUKTI.
Pengalaman adalah kognisi
empiris; Artinya, kognisi yang menentukan objek melalui
persepsi. Oleh karena itu, ini merupakan sintesis dari persepsi, sintesis
yang tidak terkandung dalam persepsi itu sendiri, tetapi yang mengandung
kesatuan sintetik dari ragam persepsi dalam kesadaran; dan kesatuan ini
merupakan inti dari kognisi kita objek indera, yaitu pengalaman (bukan hanya
intuisi atau sensasi).
A. ANALOGI PERTAMA.
Prinsip Keabadian Zat.
Dalam semua perubahan fenomena,
substansi bersifat permanen, dan kuantum
darinya di alam tidak bertambah atau
pun berkurang.
B. ANALOGI KEDUA.
Prinsip Suksesi Waktu Menurut Hukum
Cau-
sality. Semua perubahan terjadi
sesuai dengan hukum koneksi
Sebab dan Akibat.
C. ANALOGI KETIGA.
Prinsip Hidup Berdampingan, Menurut
Hukum Timbal Balik atau Masyarakat.
4. POSTULAT PIKIRAN EMPIRIS.
1. Apa yang sesuai dengan kondisi
formal (intuisi dan konsep) pengalaman, adalah mungkin.
2. Apa yang sesuai dengan kondisi
material dari pengalaman(sensasi), itu nyata.
3. Yang sesuai dengan yang nyata
ditentukan menurut kondisi pengalaman universal diperlukan.
REFUTASI IDEALISME.
Idealisme material adalah teori yang
menyatakan keberadaan objek di ruang angkasa tanpa kita menjadi () ragu-ragu
dan mandiri. monstrable, atau (2) false dan tidak mungkin. Yang pertama
adalah ide yang bermasalah, yang mengakui kepastian yang tidak diragukan dari
hanya satu pernyataan empiris (assertio), tepatnya, "Saya." Yang
kedua adalah dogmatis
idealisme
DALIL.
Kesadaran sederhana namun ditentukan
secara empiris dari eksistensi saya sendiri-
ence membuktikan keberadaan benda-benda
luar di ruang angkasa.
KETERANGAN UMUM TENTANG SISTEM PRINSIP.
Realitas adalah hubungan antara benda
dengan persepsi. membuktikan proposisi sintetik melalui konsepsi belaka,
misalnya: “Segala sesuatu yang ada memiliki penyebab,” tidak pernah berhasil.
Keberadaan kontingen, yaitu bisa bukan apriori melalui pemahaman, menyadari
keberadaan hal seperti itu; tetapi tidak berarti bahwa ini juga merupakan
kondisi kemungkinan dari hal itu sendiri yang dikatakan kontingen. Segala
sesuatu yang bergantung harus memiliki penyebab, ”jelas bagi setiap orang hanya
dari konsepsi, bukan untuk menjadi
Oleh karena itu, ketiadaannya menjadi
mungkin, dan kita menjadi sadar akan keberadaannya kontingensi dari fakta bahwa
itu hanya bisa ada sebagai akibat dari suatu sebab. Oleh karena itu, jika
sesuatu diasumsikan kontingen, itu adalah proposisi analitis untuk mengatakan,
itu memiliki penyebab.
Jika, misalnya, kita mengambil konsepsi
murni tentang relasi, kita temukan
bahwa (1) untuk tujuan menyajikan
konsepsi substansi; (2) untuk merepresentasikan perubahan sebagai intuisi
yang sesuai.
Refleksi transendental adalah tugas
yang tidak ada seseorang dapat diabaikan.
pertanyaan mengenai penentuan
pemahaman.:
1. Identitas dan Perbedaan.
2. Persetujuan dan Oposisi.
3. Bagian Internal dan Eksternal.
4. Materi dan Bentuk. Kedua
konsepsi ini menjadi dasar dari semuanya
refleksi lainnya, begitu tak
terpisahkan mereka terhubung dengan setiap mode
melatih pemahaman.
1.
MATERI
DAN BENTUK
Dua konsepsi ini berada
dalam fondasi dari semua refleksi lainnya, sehingga tidak terpisahkan karena
terhubung dengan setiap modus pelaksanaan pemahaman. Dalam sebuah penilaian,
disebut sebagai konsepsi materi logis (dalam penilaian), di mana hubungan ini
satu sama lain (melalui copula) merupakan bentuk penilaian. Dalam sebuah objek,
bagian-bagian kompositnya (esentialia) adalah materi, modus di mana berhubungan
dengan objek, yakni bentuk. Oleh karena itu, dalam sebuah konsepsi pemahaman
murni, materi mendahului bentuk, dan untuk alas an ini Leibnitz mengasumsikan
adanya benda-benda (monad) dan daya internal representasi mereka, untuk menemukan
hubungan eksternal serta keadaan komunitas (representasi). Menurutnya, ruang
dan waktu adalah mungkin yang melalui hubungan substansi, hubungan determinasi
satu sama lain, serta sebagai penyebab dan akibat. Tetapi, karena bersifat
intuisi inderawi, di mana menentukan semua objek semata-mata karena sebagai
fenomena, yakni bentuk intuisi (sebuah sifat subjektif dalam sensibilitas) maka
ruang dan waktu harus mendahului sebuah fenomena dan semua data dari
pengalaman, sehingga membuat pengalaman tersebut menjadi mungkin. Namun, karena
intuisi inderawi adalah suatu kondisi yang subjektif yang khas, yang merupakan
apriori semua persepsi, dan bentuknya yang primitive, bentuk tersebut harus
ditentukan sendiri berdasarkan materi (benda-benda yang muncul) yang terletak
dalam pengalaman, maka kemungkinan tersebut mengandaikan sebuah intuisi formal
tertentu (ruang dan waktu).
KOMENTAR
TERHADAP AMPHIBOY TENTANG KONSEPSI REFLEKSI
Topik tentang
Aristotelea didasarkan, di mana para guru dan ahli retorika bisa mengambil
manfaat di bawah judul pemikiran tertentu untuk mengamati apa yang terbaik
sesuai dengan materi yang dibahas, dan dengan demikian memungkinkan kita untuk
berdalih dan berbicara dengan kefasihan sehingga akan memunculkan kedalaman.
Sebaliknya, topik transendental mengandung tidak lebih dari empat tingkatan
yang berbeda kategorinya, sehingga mereka tidak merepresentasikan objek yang
sesuai dengannya, yang merupakan konsepsi (kualitas, realitas) tetapi
menetapkan perbandingan dalam representasi, yang mendahului konsep tentang
benda. Namun, jika menggunakan konsepsi mengenai objek, refleksi transendental
sangat diperlukan. Penjelasan tentang konsepsi refleksi memberi keuntungan tak
terduga karena mampu menunjukkan kekhasan sistem dalam setiap bagiannya, dan
mengungkap prinsip dasar modus pemikiran. Leibnitz mengintelektualkan fenomena,
sama seperti Locke, di dalam sistem noogony
dengan meninderawikan konsep pemahaman,
yaitu menyatakan tidak lebih dari sekedar konsepsi empiris atau konsepsi
refleksi abstrak. Oleh karena itu, ia hanya membahas tentang konsepsi objek,
bukan posisi mereka dalam intuisi, di mana objek itu sendiri dapat diberikan,
dan pandangan lokal transendental dalam
konsepsi ini yaitu objek harus digolongan dari beberapa fenomena. Tetapi, jika
fenomena dalam ruang, ia memiliki sebuah tempat bukan hanya pemahaman, tetapi
juga dalam intuisi eksternal inderawi (dalam ruang). Prinsip realitas (sebagai
afirmasi sederhana) tidak pernah secara logis bertentangan. Mekanika umum dapat
memberi kondisi empiris dari pertentangan ini dalam sebuah aturan apriori,
karena mengarahkan perhatian pada pertentangan suatu kondisi dimana konsepsi
realitas transendental.
Monadologi Leibnitzian
tidak memiliki dasar yang lebih baik daripada modus filsuf dalam
merepresentasikan perbedaan internal dan eksternal dalam kaitannya dengan
pemahaman. Substansi harus memiliki sesuatu secara batin, karena bebas dari
hubungan eksternal, yang berakibat pada komposisi. Doktrin para filsuf yang
terkenal mengenai ruang dan waktu, di mana mengintelektualkan bentuk-bentuk
sensibilitas, yang berasal dari khayalan tentang refleksi transendental.
Leibnitz menganggap ruang sebagai urutan tertentu dalam komunitas substansi,
dan waktu sebagai urutan dinamik. Ruang dan waktu memiliki kebenaran dan bebas
dari benda-benda, di mana sesuatu yang hanya merupakan bentuk hubungan dinamik
dipercaya sebagai intuisi yang ada. Ruang dan waktu dapat dipahami sebagai
bentuk hubungan dengan bena-benda. Tapi benda-benda adalah substansi yang dapat
dipahami (substantiae noumena). Materi adalah substansia phaenomenon. Bahwa di dalamnya bersifat internal.
Sesuatu yang benar-benar internal dalam materi, harus sesuai dengan pemahaman
murni, karena materi bukan merupakan objek bagi pemahaman murni. Tetapi
merupakan objek transendental, yang merupakan dasar dari fenomena yang disebut
materi dan yang hanyalah merupakan nescio
quid yang sifatnya tidak bisa dimengerti. Pertanyaan transendental yang
melewati batas-batas alam, kita tidak bisa menjawabnya, karena tidak memiliki
kekuatan untuk mengamati pikiran dengan intuisi kecuali dengan indera internal.
Penerapan sebuah objek dan landasan transedental dari kesatuan subjektif dan
objektif ini sangat tersembunyi, sehingga sebagai fenomena kita tidak dapat
menemukan apapun di dalam eksistensi kecuali penyebab non-inderawi. Eksposisi
penyebab amphiboly dari konsepsi ini, sebagai asal-usul prinsip-prinsip palsu
adalah penggunaan yang besar dalam menentukan batas pemahaman. Sistem
keseluruhan intelektual Leibnitz
didasarkan pada prinsip palsu ini. Prinsip Leibnitz mengenai identitas yang
tidak dapat dikenal dengan jelas dapat dibedakan dengan benar didasarkan
anggapan bahwa dalam konsepsi terdapat perbedaan tertentu, sehingga segala
sesuatu benar-benar identik (numero eadem)
yang tidak dapat dibedakan satu sama lain. Jika seseorang disini menginginkan
untuk eminta dalih dan mengatakan bahwa setidaknya realitates noumena tidak
bisa bertentangan satu sama lain hal itu akan menjadi syarat bagi dia untuk
mengemukakan sebuah contoh tentang realitas murni dan non-inderawi, sehingga bisa dimengerti
apakah gagasan tersebut merepresentasikan sesuatu atau tidak sama sekali.
Tetapi sebuah contoh tidak dapat ditemukan kecuali dalam pengalaman, yang tidak
pernah menyajikan kepada apapun kecuali
fenomena, dan dengan proporsisi tersebut tidak berarti apa-apa selain hanya
konsepsi yang berisi pernyataan yang tidak mengandung sesuatu yang negatif
sebuah proporsisi yang tak seorang pun pernah meragukannya. Oleh karena itu,
kita memikirkan sesuatu secara umum dan di satu sisi menentukannya secara
inderawi, tapi di sisi lain membedakan yang umum dan in abstracto merepresentasikan objek dari modus tertentu yang
mengintuisinya. Konsepsi tertinggi adalah pembagian ke dalam yang mungkin dan
tidak mungkin. Kategori hanya merupakan konsepsi yang berlaku untuk objek
secara umum, dengan membedakan objek apakah ia merupakan sesuatu atau bukan
sesuatu yang harus bergerak maju sesuai dengan urutan dan arah dari kategori
tersebut.
1.
Mengenai kategori kuantitas, yaitu
konsepsi tentang semuanya, yang banyak, dan yang satu, konsepsi tersebut
meniadakan semuanya, yaitu konsepsi dari yang tidak ada yang bertentangan
dengannya.
2.
Realitas adalah sesuatu, penyangkalan
bukan sesuatu, yaitu sebuah konsepsi mengenai tiadanya objek, sebagai sesuatu
yang hampa, dan sebagai bayangan (nihil privativum).
3.
Bentuk intuisi saja tanpa substansi
dalam dirinya sendiri tidak ada objek (sebagai fenomena), sebagai ruang dan
waktu yang murni.
4.
Objek dari sebuah konsepsi yang
berlawanan dengan dirinya sendiri adalah bukan sesuatu, karena konsepsi bukan
sesuatu adalah mustahil, sebuah gambar yang disusun dari dua garis lurus (nihil
negativum).
LOGIKA
TRANSENDENTAL
BAGIAN
KEDUA
DIALEKTIKA
TRANSENDENTAL
PENGANTAR
1.
TENTANG
PENAMPAKAN ILUSI TRANSENDENTAL
Kita menyebut dialetika
secara umum sebagai logika penampakan. Ini bukan berarti sebagai doktrin
probabilitas, karena kemungkinan adalah kebenaran, yang hanya dipikirkan dengan
landasan yang kurang memadai, dan meskipun informasi ini tidak memberi kita
sesuatu yang sempurna, namun informasi ini tidak menipu. Fenomena dan
penampakan dapat dianggap identic. Karena kebenaran atau penampakan ilusi tidak
berada dalam objek. Dalam sebuah kognisi yang sepenuhnya selaras dengan hokum
pemahaman, tidak ada kesalahan yang ada. Dalam sebuah representasi terhadap
Indera karena tidak mengandung penilaian apapun maka didalamnya juga tidak ada
kesalahan. Tapi, karena kita tidak memiliki sumber kognisi selain keduanya,
maka boleh dikatakan bahwa kesalahan disebabkan oleh pengaruh sensibilitas yang
tidak diamati berdasarkan pemahaman. Sensibilitas, yang tunduk pada pemahaman
sebagai objek di mana pemahaman melaksanakan fungsinya, adalah sumber nyata
kognisi. Namun, sejauh ia melakukan pengaruhnya atas tindakan pemahaman dan
menentukan terhadap penilaian, sensibilitas dengan sendirinya merupakan
penyebab kesalahan. Transendental dan transenden adalah istilah yang tidak
identik. Prinsip-prinsip pemahaman murni, di mana kita sudah membahasnya,
seharusnya bersifat empiris dan bukan penggunaan transendental, yakni mereka
tidak berlaku untuk setiap objek yang berada di luar lingkup pengalaman. Sebuah
prinsip yang menghilangkan batas-batas ini, yang memiliki kewenangan terhadap
kita untuk melangkah disebut transenden. Ilusi transendental sebaliknya tidak
berhenti eksistensinya, bahkan ia ditunjukkan dan dapat dirasakan melalui
kritik transendental. Misalnya, ilusi dalam proporsisi: “dunia pasti memiliki
sebuah awal waktu.” Penyebab hal ini diantaranya dalam akal budi kita, yang
secara subjektif dianggap sebagai kognisi manusia, ada aturan dasar dan
penerapan yang merupakan penampakan dari prinsip-prinsip yang objektif. Oleh
karena itu ada sebuah dialetika alami dan dialetika akal budi murni yang tidak
dapat dihindari, bukan karena didalamnya ada kekurangan, tetapi merupakan
sebuah pelengkap yang tak terpisahkan dari akal budi manusia.
2.
TENTANG
AKAL BUDI MURNI SEBAGAI TEMPAT BAGI PENAMPAKAN ILUSI TRANSENDENTAL
A.
TENTANG
AKAL BUDI SECARA UMUM
Menurut analogi konsepsi dari pemahaman,
bahwa konsepsi logis memberi kunci bagi konsepsi Transendental. Transendental
mendefinisikan pemahaman sebagai prinsip-prinsip. Istilah prinsip sangat
ambigu. Setiap proposisi umum, dapat memiliki fungsi utama dalam silogisme,
tetapi bukan dalam prinsip akal budi. Setiap silogisme adalah bentuk deduksi
dari kognisi sebuah prinsip. Karena sebuah kognisi berfungsi sebagai proposisi
major dalam silogisme, dan pemahaman memberikan proposisi apriori yang bersifat
umum. Mempertimbangkan prinsip pemahaman murni akan menemukan sesuatu
berdasarkan konsepsi. Sehingga segala sesuatu yang terjadi memiliki penyebab.
Sebaliknya prinsip kaulitas mengajarkan untuk mendapatkan sesuatu sebagai
sebuah konsepsi empiris yang menentukan. Pengetahuan tentang prinsip merupakan
sesuatu yang sangat berbeda dari kognisi melalui pemahaman. Pemahaman tersebut
merupakan sebuah kesatuan fenomena berdasarkan aturan. Alasanya adalah bahwa
kesatuan aturan berada di bawah beberapa prinsip. Oleh karena itu, akal budi
tidak diterapkan secara langsung ke dalam pengalaman, atau terhadap objek
inderawi. Sebaliknya, objeknya adalah pemahaman, di mana sebagai kognisi
memberikan suatu kesatuan apriori melalui konsepsi sebuah kesatuan yang mungkin
disebut sebagai kesatuan rasional, yang merupakan sifat yang berbeda dari
kesatuan yang dihasilkan oleh pemahaman.
B.
TENTANG
PENGGUNAAN LOGIKA DALAM AKAL BUDI
Dalam setiap penggunaan
akal budi atau silogisme, ada proposisi yang bersifat mendatar, ditarik dari
silogisme, dan ditarik kesimpulan, yang akan menghubungan kebenaran pertama dan
kedua. Jika penilaian terdapat dalam proposisi pertama dapat dapat disimpulkan
tanpa memikirkan gagasan ketiga yang
disebut kesimpulan langsung (consequential
immediata). Tapi jika selain kognisi yang mendasar, sebuah penilaian
diperlukan untuk menghasilkan kesimpulan, maka disebut sebagai kesimpulan dari
akal budi. Dalam proposisi, semua manusia fana, tidak ada manusia yang tidak
fana. Dalam setiap silogisme, pertama memikirkan sebuah aturan (major) melalui
pemahaman. Kemudian menggolongkan kognisi berdasarkan kondisi atauran (bersifat
minor) melalui penilaian. Serta menentukan kognisi dengan predikat aturan (conclusio) sehingga bisa menentukan
secara apriori melalui akal budi. Ada tiga jenis analog dalam pemahaman yaitu
kategori, hipotetis, dan disjungtif. Akal budi bertujuan untuk tunduk pada
berbagai macam kognisi pemahaman beberapa prinsip (kondisi umum), dan dapat
menghasilkan di dalamnya kesatuan yang tertinggi.
C.
PENGGUNAAN
AKAL BUDI MURNI
Prosedur formal dan
logis bagi akal budi dalam silogisme memberi informasi mengenai landasan
prinsip transendental mengenai akal budi dalam kognisi sintetis murni akan
terletak di dalamnya.
1.
Akal budi, dengan tujuan agar mereka
tunduk pada aturan yang merupakan wilayah pemahaman yang berdasarkan bagi
konsepsi dan penilaian. Kesatuan akal budi bukan merupakan kesatuan pengalaman,
tetapi kesatuan pemahaman. Bahwa segala sesuatu yang terjadi memiliki penyebab,
yang bukan merupakan prinsip akal budi. Prinsip menjadikan kesatuan pengalaman
menjadi mungkin, tanpa sebuah referensi dengan pengalaman yang tidak pernah
bisa memberikan hasil melalui konsepsi kesatuan sintetis.
2.
Akal budi, dalam penggunaan logikanya,
berusaha untuk menemukan kondisi umum penilaian (kesimpulan) dan silogisme yang
merupakan penilaian melaui subsumsi kondisi berdasarkan aturan umum (major).
Prinsip akal murni jelas-jelas sintetis, analitis, kondisi yang tentu berkaitan
dengan beberapa hal yang dikondisikan. Tetapi bukan untuk yang tidak
dikondisikan. Prinsip tersebut tidak harus berasal dari proposisi sintetis yang
berbeda, karena hanya berhubungan dengan benda-benda dari pengalaman yang
mungkin, kognisi dan sintetis yang dikondisikan. Prinsip tertinggi adalah akal
budi murni, yang menjadi transenden dalam hubungan dengan fenomena, yaitu akan
mustahil untuk membuat penggunaan empiris yang memadai prinsip. Sebagai sebuah
prinsip transendental dalam akal budi murni, mendalilkan kelengkapan menyeluruh
dalam serangkaian kondisi objek itu sendiri. Selain itu harus menunjukkan
kesalahpaman dan ilusi yang menghalangi silogisme, proposisi major di mana akal
budi murni telah memberikan sebuah proposisi yang memiliki banyak karakter dari
sebuah petisi daripada sebuah postulat yang bergerak maju dari pengalaman.
BUKU
I
TENTANG
KONSEPSI AKAL BUDI MURNI
Tujuan dari konsepsi
rasional adalah pemahaman, yang merupakan pemahaman terhadap persepsi. Konsepsi
memiliki validitas objektif, yang disebut sebagai conceptus ratiocinati (konsepsi secara sah), jika diterima karena
memikirkan penampakan dengan benar disebut conceptus
ratiocinantes (konsepsi sofistis).
BAGIAN
I
TENTANG
GAGASAN SECARA UMUM
Plato menggunakan ide
dalam menunjukkan apa yang dimaksud sesuatu yang diperoleh dari indera, tetapi
melampaui konsepsi pemahaman, sebagaimana dalam pengalaman yang sama sekali
tidak sempurna. Plato melihat bahwa kognisi memiliki perasaan lebih tinggi daripada
fenomena kesatuan sintetis, karena tujuannya adalah mampu sebagai pengalaman,
dan akal budi sesungguhnya mengangkat kepada kognisi yang tinggi untuk
kemungkinan sebuah objek pengalaman sesuai kognisi kenyataan dan bukan hanya
sebagai khayalan bagi otak. Dia tentu saja memperluasa penerapan konsepsi ke
dalam kognisi spekulatif juga, asalkan mereka merupakan apriori yang
benar-benar murni, bahkan terhadap matematika, meskipun ilmu ini tidak memiliki
objek lain selain dari pengalaman yang mungkin. Saya tidak bisa mengikutinya
dalam hal ini, dan saya dapat mengikutinya dalam deduksi mistik dalam ide-ide
ini, atau dalam hypostatisupstansiion-nya.
Meskipun kenyataanya bahasa yang berlebihan yang ia gunakan dalam menggambarkan
masalah tersebut mampu untuk ditafsirkan sesuai dengan fakta dan sifat
benda-benda.
Berikut ini adalah
daftar mengenai masalah tersebut. Genus adalah representasi yang bersifat umum
(representation), yang di dalamnya
terdapat representasi dengan kesadaran (perceptio).
Sebuah persepsi yang semata-mata berhubungan dengan subjek sebagai sebuah
modifikasi terhadap keadaanya, yakni penginderaan (sentatio), sebuah persepsi objektif adalah sebuah kognisi (cognitio). Kognisi adalah intuisi atau
konsepsi (intuitus vel conceptus).
Pertama memiliki hubungan langsung dengan objek dan bersifat individual, serta
memiliki hubungan tidak langsung, melalui tanda khusus dari beberapa benda.
Sebuah konsepsi murni, memiliki asal-usul dalam pemahaman itu sendiri, dan
bukan merupakan konsepsi inderawi murni, disebut notio. Sebuah konsepsi yang terbentuk dari gagasan, yang berada di
luar pengalaman, adalah sebuah ide atau sebuah konsepsi bagi akal budi.
BAGIAN
II
IDE-IDE
TRANSENDENTAL
Analisis transendental
menunjukkan bagaimana bentuk logis kognisi konsepsi apriori, konsepsi yang
merepresentasikan objek yang mendahului semua pengalaman atau menjukkan
kesatuan sintetis yang menjadikan kognisi empiris terhadap objek menjadi
mungkin. Fungsi akal budi dari beberapa argument berisi universalitas kognisi
berdasakan konsepsi, dan silogisme itu merupakan sebuah penilaian yang
ditentukan secara apriori diseluruh tingkat kondisinya. Konsepsi transendental
mengenai akal budi adalah konsepsi keseluruhan dari kondisi tertentu. Sekarang,
karena sesuatu yang tak dikondisikan itu sendiri menghasilkan totalitas
kondisi, dan sebaliknya, totalitas kondisi itu sendiri selalu tak dikondisikan
sebuah konsepsi rasional mumi secara umum dapat didefinisikan dan dijelaskan
melalui konsepsi tak dikondisikan. Ada jumlah yang persis sama dalam modus
silogisme, di mana masing-masing berjalan melalui pro-silogisme terhadap
sesuatu yang tidak dikondisikan-yakni terhadap subjek yang tidak dapat digu-
nakan sebagai predikat, dan anggapan
yang mengandai-kan tidak ada yang lebih tinggi dari dirinya sendiri. Dengan
demikian, konsepsi rasional murni dari totalitas dalam sintesis kondisi
memiliki sebuah landasan yang diperlukan dalam sifat akal budi manusia. Namun
demikian, karena ambiguitas yang terjadi karena penyalahgunaannya yang lama,
sehingga kita tidak dapat menggunakannya dengan aman. Kata mutlak adalah salah
satu kata yang signifikan bagi sebuah konsepsi. Tentang sebuah
pertentangan secara instrinsik
menegaskan bahwa dalam segala hal adalah mustahil, tetapi ia mengatakan bahwa
hal yang berkebailkan darinya yang benar-benar diperlukan secara instrinsik
adalah mustahil, yaitu kepentingan mutlak benda-benda merupakan keperluan
internal.
Ketika hilangya
konsepsi tentang utilitas dalam ilmu spekulatif bukan merupakan masalah
ketidakpedulian terhadap filsuf. Akal budi memiliki hubungan langsung dalam
menggunakan pemahaman, di mana tidak berisi landasan bagi pengalaman yang
mungkin. Penerapan secara objektif konsepsi akal budi murni selalu bersifat
transenden, semantara penerapan konsepsi murni pemahaman harus selalu imanen,
sebab terbatas pada pengalaman yang mungkin. Ketika kita menggunakan kata ide,
kita mengatakannya dalam kaitannya dengan objek (objek pemahaman murni) yang
begitu banyak, tetapi dalam kaitannya dengan subjek yang begitu sedikit, karena
ide sebagai konsepsi merupakan sebuah maksimum, tidak pernah memadai ketika
dikemukakan in concreto. Dalam ide
tersebut, akal budi murni memiliki kausalitas dan kekuatan memproduksi yang di
dalamnya terdapat konsepsi. Karena ide yang diperlukan dalam kesatuan tujuan
yang mungkin, usaha yang praktis, bersifat konstitutif setidaknya bersifat
limitatif. Akal budi dianggap sebagai bentuk kognisi logis yaitu penilaian
tidak langsung melalui penggolongan kondisi di bawah kondisi penilaian
tertentu. “Akibatnya, benda-benda dapat berubah” saya telah sampai pada sebuah
kognisi (kesimpulan) melalui serangkaian kondisi (premis). Setiap rangkaian di
mana eskponennya (penilaian kategoris atau hipotetis), sehingga prosedur yang
sama dari akal budi melakukan polysyllogistica
ratiocination, yang merupakan serangkaian silogisme, yang dapat dilanjutkan
dalam kondisi (per prosyllogisme)
atau dikondisikan (per episyllogisme)
samapai tidak terbatas. Ketika sebuah kognisi direnungkan sebagai sesuatu yang
dikondisikan, akal budi dipaksa untuk mempertimbangkan serangkaian kondisi
dalam sebuah garis yang memberikan totalitas.
BAGIAN
III
SISTEM
IDE-IDE TRANSENDENTAL
Subjek kita adalah
dialetika Transendental yang harus bersifat apriori, asal-usul kognisi tertentu
dari akal murni dan asal-usul konsepsi tertentu, di mana objek diberikan secara
empiris sehingga berada di luar lingkup pemahaman. Hubungan yang paling umum
yang ada dalam pernyataan kita adalah :
1. Hubungan
dengan subjek,
2. Hubungan
dengan objek-objek atau dengan fenomena, atau sebagai objek secara umum.
Jika menghubungkan subdivisi dengan
divisi utama, semua hubungan representasi dapat membentuk konsepsi atau ide
memiliki tiga jenis :
1.
Hubungan dengan subjek,
2.
Hubungan dengan berbagai objek sebagai
sebuah fenomena,
3.
Hubungan dengan semua benda secara umum.
Ilmu metafisika dalam objek
penelitiannya yang benar hanya memiliki tiga gagasan besar, yakni TUHAN,
KEBEBASAN, DAN KEABADIAN, dan ia bertujuan untuk menunjukkan bahwa konsepsi
yang kedua, yang disatuan dengan yang pertama, harus menuju kepada yang ketiga,
sebagai sebuah kesimpulan yang diperlukan. Semua subjek lainnya yang hanyalah
merupakan sarana untuk mewujudkan gagasan ini, untuk membangun ilmu pengetahuan
alam, tetapi sebaliknya, untuk tujuan memperoleh pengetahuan di luar bidang
ilmu alam. Wawasan dan pemahaman yang lengkap terhadapnya akan menghasilkan
Teologi, Etika dan dengan menggabungkan keduanya akan menghasilkan Agama, yang
sangat tergantung pada fakultas spekulatif akal budi. Dalam sebuah representasi
yang sistematis dalam ide-ide ini, susunan yang disebutkan diatas yakni susunan
sistematis adalah yang paling sesuai, tetapi berdasarkan investigasi yang harus
mendahuluinya, yakni analisis, yang merupakan kebalikan dari pengaturan, akan
lebih baik jika disesuaikan dengan tujuan kita, karena dengannya kita akan
melangkah maju dari pengalaman langsung yang menyajikan kepada kita ilmu
psikologi hingga kosmologi, dan kemudian teologi.
BUKU
II
PROSEDUR
DIALEKTIS AKAL BUDI MURNI
BAB
I
TENTANG
PRALOGISME AKAL BUDI MURNI
Pralogisme logis berisi
kepalsuan sebuah argument dalam kaitannya dengan bentuk, apa pun isinya. Tetapi
paralogisme transendental memiliki landasan Transendental, dan menyimpulkan
secara salah, sedangkan bentunya benar dan tidak dapat diterima. Paralogisme
memiliki dasar dalam sifat akal budi manusia, dan merupakan induk ilusi mental
yang tidak dapat dihindari dan tidak dapat dipecahkan.
Berdasarkan
elemen-elemen yang berasal dari konsepsi psikologi murni, dengan kombinasi
saja, tanpa bantuan prinsip yang lain, substansi ini yang hanya merupakan objek
indera internal memberikan konsepsi imaterialitas sebagai substansi sederhana,
yang tidak mengalami kerusakan, dan identitasnya sebagai substansi intelektual
memberikan konsepsi tentang kepribadian.
Secara modus kesadaran
dalam pikiran yang demikian merupakan konsepsi tentan objek yang merupakan
fungsi logis, yang tidak hadir dalam pikiran sebuah objek yang akan dikenali,.
Bukan kesadaran yang menetukan, tetapi kesadaran mengenai diri, yaitu intuisi
internal adalah sebagai objek.
1. Dalam
semua penilaian, menentukan subjek sehingga hubungan tersebut merupakan
penilaian.
2. Ego
berada dalam apersepsi.
3. Ego
yang berpikir adalah substansi yang sederhana yang menjadi proposisi sintetis.
4. Proposisi
tentang identitas.
5. Membedakan
eksistensi.
Eksposisi logis
terhadap pikiran secara umum adalah kekeliruan dalam menentukan objek
metafisik. Proposisi sintetis apriori adalah sesuatu yang mungkin dan sah.
Dalam prosedur psikologi sebuah paralogisme yang berbentuk sebagai berikut:
Sesuatu yang tidak dapat dipikirkan selain sebagai subjek, maka tidak ada
selain sebagai subjek, dank arena itu merupakan substansi. Pikiran berlangsung
dalam dua premis dalam dua pengertian yang sama sekali berbeda. Dalam premis
major, hal ini dianggap memiliki hubungan dan menerapkan objek secara umum,
akibatnya juga terhadap objek intuisi. Dalam premis minor, kita memahaminya
hanya berkaitan dengan kesadaran diri. Dalam pengertian ini kita tidak dapat
memikirkan sebuah objek, tapi hanya memikirkan hubungannya dengan kesadaran
diri terhadap subjek, sebagai bentuk pikiran. Pada premis yang pertama kita
berbicara tentang benda-benda yang tidak dapat dipikirkan secara sebaliknya
daripada sebagai subjek. Kedua, kita tidak berbicara tentang benda-benda, tapi
tentang pikiran (semua objek yang diabstraksi), di mana Ego selalu merupakan
subjek kesadaran. Maka kesimpulannya tidak bisa, “Saya tidak ada kecuali
sebagai subjek”; tetapi hanya “Dalam memikirkan eksistensi saya, saya bisa
menggunakan Ego hanya sebagai subjek penilaian.” Tapi ini merupakan proposisi
yang identik dan tidak memberikan penjelasan apa pun mengenai modus eksistensi
saya.
Apersepsi adalah
sesuatu yang nyata, dan kesederhanaan sifatnya ditunjukkan dalam kenyataan
tentang kemungkinannya. Sekarang, di dalam ruang tidak ada yang nyata dan pada
saat yang sama bersifat sederhana, karena benda-benda sederhana dalam
ruang hanyalah merupakan batas, tetapi
bukan merupakan bagian dari ruang. Psikologi rasional memiliki asal-usul dalam
sebuah kesalahpahaman belaka. Kesatuan kesadaran, yang terletak didasar
kategori, dianggap sebagai intuisi dari subjek, dan kategori substansi tersebut
diterapkan ke dalam intuisi.
Persepsi yang belum
ditentukan disini hanya menunjukkan sesuatu yang nyata, namun hanya terhadap
pemikiran sendiri (noumenon), melainkan hanya sebagai sesuatu yang benar-benar
ada, dan ditunjukkan seperti itu dalam proposisi, “saya berpikir.” Karena harus
dikatakan bahwa ketika saya menyebut proposisi, “saya berpikir” itu adalah
sebuah proposisi empiris. Dengan demikian, saya tidak bermaksud menyatakan
bahwa ego dalam proposisi tersebut adalah representasi empiris, tetapi
sebaliknya, ia adalah intelektual murni, karena ia menjadi bagian dari pikiran
secara umum. Tetapi tanpa beberapa representasi empiris, yang menyajikan bahan
berpikir kepada pikiran, yakni tindakan mental “saya berpikir”, tidak akan
terjadi, dan hal yang empiris hanya merupakan kondisi bagi penerapan atau
aktivitas fakultas intelektual murni.
Akal budi terbatas
dalam wilayah khusus dalam pengaturan tujuan dan maksud yang merupakan
pengaturan alam dan sebagai sebuah fakultas mental dan praktis, tanpa membatasi
dengan yang terakhir, maka untuk memperluas yang pertama dengan eksistensi yang
melampui batas-batas pengalaman dan kehidupan. Bukti yang kuat dan tak
terbantahkan terus meningkat sesuai untuk mencapai tujuan melaui keyakinan,
kesadaran, dan keinginan. Bahkan setelah kognisi teoritis tentang diri yang
telah gagal untuk menetapkan eksistensi setelah kematian.
KESIMPULAN
TENTANG SOLUSI ATAS PARALOGISME PSIKOLOGIS
llusi dialektis dalam
psikologi rasional muncul dari gagasan yang membingungkan tentang akal budi
(dari kecerdasan muri) dengan konsepsi tersebut yang belum ditentukan yakni
tentang berpikir secara umum. Saya memikirkan diri saya sendiri berdasarkan
pengalaman yang mungkin membuat abstraksi dan semua pengalaman yang nyata, dan
darinya saya menyimpulkan bahwa saya bisa menyadari diri sendiri terlepas dari
pengalaman dan kondisi empiris. Akibatnya,
dikacaukan oleh abstraksi yang mungkin tentang eksistensi yang secara
empiris ditentukan oleh kesadaran akan eksistensi yang terpisah yang berpikir
bahwa mengenali sesuatu yang substansial sebagai subjek Transendental, ketika
tak ada lagi pikiran kesadaran yang berada di dasar penentuan semua kognisi. Tugas
untuk menjelaskan bukan merupakan bagian dari psikologi, karena ia mengusulkan
untuk membuktikan kepribadian jiwa yang terpisah dari penyatuannya (setelah
kematian), dan karena itu bersifat transenden dalam arti kata yang benar. Tapi
jawaban yang tepat dapat ditemukan dalam pertanyaan tentang sistem kesulitan
yang ada dalam pelaksanaan tugas seperti yang telah diketahui terletak dalam
heterogenitas yang mengandaikan objek indera Internal (jiwa) dan objek-objek
Indera ekstemal, sebab kondisi formal intuisi seseorang adalah waktu dan juga ruang
yang lain. Tetapi jika memikirkan bahwa kedua jenis objek itu tidak berbeda
secara internal, tetapi hanya sejauh yang muncul secara eksternal bagi yang
lain. Akibatnya, sesuatu yang terletak di dasar fenomena, sebagai sebuah benda
dalam dirinya sendiri, mungkin tidak menjadi heterogen; sehingga kesulitan akan
menghilang. Kemudian tetap tidak ada kesulitan lain daripada yang ditemukan
dalam pertanyaan bagaimana komunitas substansi menjadi mungkin sebuah
pertanyaan yang terletak di luar wilayah psikologi, dan di mana pembaca,
setelah mengetahui melalui analisis tentang kekuatan primitif dan kemampuan
mental, juga akan mudah untuk menilai hal-hal di luar wilayah kognisi manusia.
PERNYATAAN
UMUM MENGENAI KOGNISI
DARI
PSIKOLOGI RASIONAL HINGGA KOSMOLOGI
Penerapan kategori
terhadap ego ini sangat diperlukan jika membuat menjadi objek pengetahuan.
Berkaitan dengan eksistensi tanpa bantuan indera internal, intuisi yang
menyajikan objek bukan sebagai benda yang ada tetapi selalu sebagai sebuah
fenomena. Sekarang dalam intuisi ini, yang berpikir harus mencari kondisi
pelaksanaan fungsi logis sebagai kategori substansi, penyebab, dan sebagainya,
tidak hanya untuk membedakan dalam dirinya sendiri dengan cara representasi
“saya” tetapi untuk menentukan modus eksistensinya yaitu mengenali diri sendiri
sebagai noumenon. Tapi mustahil bagi intuisi empiris internal inderawi, dan
tidak menyajikan apa pun kecuali fenomenal yang tidak membantu objek kesadaran
murni dalam mengenali diri sendiri sebagai eksistensi terpisah, tapi berguna
sebagai kontribusi bagi pengalaman. Kesadaran eksistensi apriori yang berfungsi
untuk menentukan eksistensi-eksistensi yang secara inderawi dapat ditentukan,
namun secara relative, bagi fakultas internal tertentu yang berhubungan dengan
dunia yang dapat dipahami. Dalam psikologi rasional yaitu masih menemukan
intuisi inderawi, untuk memberikan makna tentang konsepsi substansi dan
penyebab dapat memiliki pengetahuan, tetapi intuisi tidak pernah dapat
meningkatkan di atas bidang pengalaman. Berdasarkan fungsi logis subjek dan
predikat, prinsip dan konsekuensi, yang sesuai dengan semua tindakan, sehingga
mampu untuk dijelaskan bersama hukum alam, yang sesuai dengan kategori
substansi dan penyebab, meskipun berasal dari prinsip yang sangat berbeda.
BAB
II
ANTINOMI
BAGI AKAL BUDI MURNI
Skema logika memberikan
kepada kita tiga spesies formal dalam silogisme sebagaimana kategori menemukan
skema logis dalam empat fungsi dari semua penilaian. Jenis pertama dari
argument sofistik berkaitan dengan kesatuan yang tidak dikondisikan dari
kondisi subjektif semua representasi pada umumnya (tentang subjek atau jiwa )
kaitannya dengan silogisme kategori, premis major sebagai sebuah prinsip
menyatakan hubungan sebuah predikat dengan sebuah subjek. Tapi perlu dinyatakan
bahwa paralogisme transendental dihasilkan dalam pikiran merupakan sepertiga
dari ilusi dan konsepsi tentang akal budi tidak memiliki landasan untuk
mempertahankan proposisi yang sebaliknya. Keuntungan tersebut sepenuhnya berada
di pihak Pneumatisme, yang sangat berbeda adalah kasus ketika menerapkan akal
budi terhadap sintetis fenomena objektif. Akal budi menetapkan mengenai
prinsip-prinsip kesatuan yang tidak dikondisikan, tapi terjebak dalam kontradiksi
dalam kaitannya dengan kosmologi untuk menolak presentasinya. Oleh karena itu,
karena paralogisme akal budi murni akan menyajikan kepada kita prinsip-prinsip
transendental murni terhadap kosmologi (rasional), namun bukan untuk menyatakan
validitas dan kesesuaiannya, tetapi merupakan istilah konflik akal budi yang
menunjukkan bahwa hadir sebagai sebuah ide yang tidak dapat dipertemukan dengan
fenomena dan pengalaman.
BAGIAN
I
SISTEM
IDE KOSMOLOGI
Kita dapat menghitung
dengan presisi yang sistematis tentang ide-ide yang sesuai dengan prinsip.
Kemudian ide-ide transendental tersebut bukan merupakan sesuatu selain kategori
yang diangkat pada yang tidak dikondisikan. Kemudian semua kategori tidak
tersedia untuk tujuan ini, tetapi hanya kategori yang bersifat sintetis yang
merupakan sebuah rangkaian dari kondisi yang berada dibawahnya, yang tidak
saling terkoodinasi. Sebab, dalam kondisi tertentu, berbagai kondisi diandaikan
dan dianggap menyertainya. Totalitas mutlak dari serangkaian kondisi terhadap
kondisi tertentu selalu tidak dikondisikan, karena di luar itu ada kondisi lain
yang mungkin bergantung padanya. Tapi totalisasi mutlak dalam rangkaian
tersebut hanya merupakan sebuah ide, atau lebih tepatnya konsepsi problematis,
kemungkinan yang harus diselidiki terutama dalam kaitannya dengan modus di mana
yang dikondisikan , sebagai ide transendental yang merupakan subjek nyata dalam
penyelidikan, mungkin terkandung didalamnya. Alam sebagai kata sifat yang dapat
dipahami (formaliter), menunjukkan kompleks penentuan satu benda, memiliki
hubungan berdasarkan prinsip kausalitas internal. Disisi lain, kita memahami
melalui alam adanya, substantiva (materialiter), jumlah total fenomena,
berdasarkan prinsip internal, kausalitas, yang memiliki hubungan satu sama lain
dalam keseluruhan. Dalam pengertian yang pertama, kita berbicara tentang sifat
materi cair, tentang api, dan lain-lain, dan kita menggunakan kata tersebut
hanya sebagai kata sifat, sementara kita berbicara tentang benda-benda alam,
yang ada dalam pikiran kita adalah gagasan tentang sebuah keseluruhan yang
hidup.
BAGIAN
II
ANTITESIS
TERHADAP AKAL BUDI MURNI
Mengenai antithesis
pernyataan dogmatis merupakan kontradiksi diri dari kognisi yang tampaknya
bersifat dogmatis (thesis cum antitesis), tidak satupun dapat di termukan dari
superioritas yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, antitesis tidak membahas
tentang pernyataan sepihak, tetapi membahasa tentang sifat kontradiktif
mengenai kognisi umum dalam akal budi dan penyebabnya. Antitesis transendental
adalah penyelidikan terhadap antinomy akal budi murni, penyebabnya dan
hasilnya. Petanyaan-pertanyaan yang secara alami muncul dalam pembahasan
dialektika akal budi murni adalah :
1. Dalam
proposisi apakah akal budi murni mau tidak mau tunduk pada sebuah antinomy?
2. Apa
penyebab dari antinomy ini?
3. Apakah
dan dengan cara apakah akal budi bisa membebaskan dirinya dari kontradiksi diri
ini?
Sebuah proposisi
dialektis atau teorema akal budi murni harus sesuai dengan apa yang telah
dikatakan, yaitu dibedakan dari semua proposisi sofistik, berdasarkan fakta
bahwa bukan jawaban bagi pertanyaan yang sembarangan, yang dapat diangkat hanya
demi kesenangan seseorang, setiap orang, tapi bagi akal budi manusia yang harus
selalu ditemui dalam setiap aktivitasnya. Pernyataan sofistik merupakan medan
pertempuran dimana pihak yang memperoleh kemenangan telah diizinkan untuk
membuat serangan, dan untuk menyerah bagi yang bertahan dari serangan.
Proposisi transendental
mengklaim wawasannya di luar wilayah pengalaman yang mungkin, di satu sisi
tidak bisa menunjukkan sintesis abstrak dalam setiap intuisi apriori. Oleh
karena itu, akal budi transendental tidak menghadirkan kriteria selain upaya
untuk mempertemukan pernyataan tersebut.
KONFLIK
PERTAMA TENTANG IDE TRANSENDENTAL
TESIS
Dunia memiliki awal
dalam kaitannya dengan waktu, dan juga terbatas dalam kaitannya dengan ruang.
BUKTI
Sesungguhnya dunia tidak memiliki awal
dalam waktu. Dunia adalah keseluruhan tertentu yang tak terbatas dari
benda-benda yang ada secara berdampingan. Kita dapat mempertimbangkan kuantitas
yang belum ditentukan secara keseluruhan ketika ia terkungkung dalam batas,
meskipun tidak bisa membangun atau memastikan totalitasnya melalui pengukuran,
yaitu dengan sintesis berurutan dari bagian-bagiannya. Karena batas tersebut
pada diri mereka sendiri menentukan kelengkapannya secara keseluruhan.
ANTITESIS
Dunia tidak memiliki
awal dan tidak ada batas dalam ruang, tetapi dalam kaitannya dengan waktu dan
ruang bersifat tak terbatas.
BUKTI
Ruang hanyalah bentuk intuisi
eksternal (intuisi formal), dan bukan objek nyata yang dapat dirasakan secara
eksternal. Ruang, sebelum segala sesuatu yang menentukan (yang mengisi atau
membatasi), atau lebih tepatnya yang menyajikan intuisi empiris disebut ruang
absolut, di dalamnya tidak ada sesuatu kecuali kemungkinan fenomena eksternal
belaka, sejauh mereka ada dalam diri mereka sendiri atau bisa menganeksasi diri
mereka sendiri terhadap intuisi tertentu. Oleh karena itu, intuisi empiris
bukanlah komposisi fenomena dan ruang (persepsi dan intuisi yang kosong). Yang
tidak berkorelasi dengan yang lain secara sintesis, tapi sangat berkaitan
dengan intuisi empiris yang sama, seperti materi dan bentuk. Jika kita ingin
dari mfenomena maka akan timbul segala macam penentuan intuisi eksternal kosong
yang sangat jauh dari persepsi yang mungkin. Misalnya, gerakan atau bagian
dunia lain dalam ruang kosong yang tak terbatas, atau penentuan hubungan timbal
balik, yang tidak mungkin dapat dirasakan, dan karena itu hanyalah merupakan
predikat bagi entitas gagasan.
PENGAMATAN
TENTANG ANTINOMY PERTAMA BERDASARKAN TESIS
Kuantum dalam
pengertian ini berisi kumpulan unit tertentu yang lebih besar dari jumlah apa
pun dan ini adalah konsepsi matematika tentang yang tak terbatas.
TENTANG
ANTITESIS
Jelaslah bahwa yang
dimaksud di sini adalah bahwa ruang kosong, sejauh ini dibatasi oleh fenomena-ruang,
yaitu di dalam dunia tidak bertentangan dengan prinsip transendental, dan
karena itu mungkin harus diakui, meskipun kemungkinannya dalam hal ini tidak dapat
di dipastikan. Karena, sehubungan dengan dalih yang digunakan oleh orang-orang yang
berusaha untuk menghindari konsekuensi tersebut-sehingga jika dunia ini
terbatas dalam ruang dan waktu, maka kekosongan yang tak terbatas tentu
menentukan eksistensi benda-benda yang sebenarnya dalam dimensi mereka ia
muncul semata-mata berdasarkan fakta bahwa bukannya dunia inderawi, yakni
sebuah dunia yang tak dapat dipahami di mana tidak ada sesuatu pun yang dapat
dikenal yang terkadang kita memikirkannya, bukannya awal yang sebenarnya
(eksistensi yang didahului oleh suatu periode di mana tidak ada sesuatupun yang
ada), sebuah eksistensi yang mengandalkan adanya kondisi selain waktu, dan
bukannya batas-batas keluasan, tetapi batas-batas alam semesta. Tapi
pertanyaannya dalam kaitannya dengan mundus phaenomenon dan kuantitasnya; dan
dalam hal ini kita tidak dapat membuat abstraksi dari kondisi sensibilitas
tanpa bersinggungan dengan realitas penting dari dunia ini sendiri. Dunia
indera, jika ia bersifat terbatas, tentu terletak dalam kekosongan yang tak
terbatas. Jika hal ini dan dengan ruang sebagai kondisi apriori dalam kemungkinan
fenomena, yang terlepas dari pengamatan, maka seluruh dunia indera akan
menghilang. Dalam masalah kita, hal ini saja dianggap sebagai masalah yang ada
dengan sendirinya. Mundus intelligibilis tidak lain adalah konsepsi umum dalam
sebuah dunia, di mana abstraksi yang telah dibuat dari semua kondisi intuisi,
dan dalam kaitannya dengan proposisi sintetis baik positif atau negatif adalah
mungkin.
KONFLIK
KEDUA TENTANG IDE TRANSENDENTAL
TESIS
Setiap substansi
komposit di dunia terdiri dari bagian-bagian yang sederhana, dan tidak ada
sesuatu pun yang tidak sederhana maupun yang terdiri dari bagian-bagian yang
sederhana.
BUKTI
Karena berdasarkan kenyataan
bahwa substansi komposit tidak terdiri dari bagian-bagian yang sederhana, maka
jika semua kombinasi atau komposisi dihilangkan dari pikiran, maka tidak ada
bagian komposit dan sebagaimana anggapan, maka tidak ada bagian yang sederhana.
Akibatnya, tidak ada substansi, sehingga tidak akan ada sesuatu yang ada.
Kesimpulan, semua benda-benda di dunia ini tanpa terkecuali merupakan wujud
yang sederhana yakni komposisi hanya merupakan kondisi eksternal yang berkaitan
dengan wujud sehingga tidak pernah dapat memisahkan substansi dasar dari sifat
komposisinya, akal budi sebagai subjek utama dari semua komposisi, yang
merupakan substansi yang sederhana.
ANTITESIS
Tidak ada benda
komposit di dunia ini yang terdiri dari bagian-bagian yang sederhana, dan tidak
ada substansi apa pun yang sederhana.
BUKTI
Kita asumsikan bahwa
sebuah benda komposit (sebagai substansi) terdiri dari bagian yang sederhana. Karena
semua merupakan hubungan eksternal, akibatnya semua komposisi substansi hanya
mungkin berada dalam ruang. Ruang yang
ditempati disebut komposit dari jumlah yang sama dari bagian-bagian yang
terkandung dalam komposit. Oleh karena itu, setiap bagian dari komposit harus
menempati ruang. Tetapi bagian yang benar-benar absout adalah komposit yang
sederhana. Proposisi yang kedua dari antitesis adalah bahwa yang ada di dunia
ini bukanlah sesuatu yang sederhana yang setara dengan eksistensi yang
benar-benar sederhana tidak dapat ditunjukkan berdasarkan pengalaman, baik
eksternal maupun internal, dan sesuatu yang benar-benar sederhana hanya
merupakan ide belaka, di mana realitas objektifnya tidak dapat dibuktikan dalam
pengalaman yang mungkin, sehingga akibatnya dalam eksposisi terhadap fenomena
tanpa penerapan dan tanpa objek.
OBSERVASI
TERHADAP ANTINOMI YANG KEDUA
TESIS
Ketika berbicara
tentang keseluruhan, yang tentu terdiri dari bagian-bagian yang sederhana,
bahwa keseluruhan substansial sebagai komposit yang benar, yaitu bahwa kesatuan
kontingen dari berbagai jenis tertentu yang tampak sangat terisolasi, ditempatkan
dalam hubungan timbal balik, dan merupakan satu kesatuan. Ruang seharusnya
disebut sebagai Compositum, tetapi Totum, karena bagian-bagiannya mungkin
dalam keseluruhan, dan bukan keseluruhan melalui bagian-bagiannya. Mungkin
dapat disebut sebagai Compositum Ideale,
tapi bukan Compositum Reale.
ANTITESIS
Totum substansiale
phaenomenon, sebagai sebuah intuisi empiris dalam ruang ia memiliki sifat yang
diperlukan yang tidak mengandung bagian yang sederhana, karena alas an itulah
sehingga tidak ada bagian dari ruang yang sederhana. Dialektis kedua memiliki
keistimewaan karena telah menentang proposisi dogmatis, di mana semua
pernyataan sofistik hanya merupakan satu-satunya usaha untuk membuktikan kasus
objek pengalaman, bahwa yang benar hanya merupakan gagasan transendental, yakni
kesederhanaan mutlak dan substansi.
KONFLIK
KETIGA TENTANG GAGASAN TRANSENDENTAL
TESIS
Kausalitas menurut
hukum alam bukan satu-satunya kausalitas asal-usul fenomena di dunia. Sebuah
kausalitas tentang kebebasan untuk memperhitungkan fenomena.
BUKTI
Hukum alam menentukan
bahwa tidak ada yang bisa terjadi tanpa penyebab apriori yang menentukan
penyebab. Dengan demikian proposisi adalah jika semua kausalitas hanya sesuai
dengan hukum alam, hal itu dinyatakan dalam cara yang tak terbatas dan umum,
yang bertentangan dengan dirinya. Melalui kausalitas segala sesuatu terjadi
tanpa penyebab yang ditentukan berdasarkan hukum oleh beberapa penyebab
sebelumnya. Artinya harus ada sebuah spontanitas penyebab yang mutlak dari
serangkaian fenomena yang terjadi sesuai dengan hukum alam yang berakibat pada
kebebasan transendental.
ANTITESIS
Tidak ada sesuatu
seperti halnya kebebasan, tetapi segala sesuatu di dunia terjadi semata-mata
sesuai dengan hukum alam.
BUKTI
Kita tidak memiliki
hubungan apa pun, tetapi alam lah yang mencari hubungan dan keteraturan dalam
peristiwa kosmik. Kebebasan, yakni kemerdekaan dalam hukum alam, tentu
merupakan pembebasan dari kekangan, tetapi juga merupakan pembebasan dari
bimbingan hukum dan atauran. Hukum kebebasan dapat dimasukkan ke dalam
kausalitas berlangsungnya alam. Sebab, jika kebebasan ditentukan sesuai dengan
undang-undang, maka tidak akan ada kebebasan lagi, tetapi yang ada hanya hukum
alam. Oleh karena itu alam dan kebebasan transendental berbeda dengan
kesesuaian hukum dan pelanggaran hukum.
OBSERVASI
TERHADAP ANTINOMI
TESIS
Ide transendental
tentang kebebasan tidak membentuk seluruh isi konsepsi psikologis yang sebagian
bersifat empiris. Ia hanya menyajikan konsepsi tindakan spontanitas sebagai
dasar yang tepat untuk menghubungan kebebasan dengan penyebab dari kelompok
tertentu dalam objek.
ANTITESIS
Orang yang menyatakan
tentang adanya yang maha mencukupi di alam dalam kaitannya dengan kausalitas
(fisiokrasi transendental), bertentangan dengan doktrin kebebasan, akan
mempertahankan pandangannya dari pernyataan tersebut dengan cara mengatakan
untuk menjawab argument sofistik dari pihak lawan. Sebuah sistem alam hamper
tidak dapat dikenali, karena hukum yang kedua akan terus tunduk pada pengaruh
yang menganggu dari hukum yang pertama, fenomena tersebut tidak akan berjalan
secara teratur dan seragam, sehingga akan menjadi sangat membingungkan dan
tidak memiliki konektivitas.
KONFLIK
KEEMPAT TENTANG IDE TRANSENDENTAL
TESIS
Dalam hubungannya
dengan dunia baik sebagai bagian darinya atau sebagai penyebabnya ada sebuah
wujud yang mutlak diperlukan.
BUKTI
Secara objektif, waktu
sebagai kondisi formal dari kemungkinan perubahan mendahului semua perubahan,
tetapi secara subjektif dan dalam kesadaran, representasi waktu sebagaimana
setiap sesuatu yang lain hanyalah ditunjukkan oleh kesempatan dalam persepsi.
ANTITESIS
Sebuah wujud yang
mutlak diperlukan tidak ada, baik di dunia atau yang berasal darinya sebagai
penyebabnya.
BUKTI
Kata “mulai” memiliki dua pengertian.
Yang pertama adalah aktif yaitu penyebab yang dianggap sebagai awal dari
serangkaian kondisi sebagai efeknya (infit).
Yang kedua adalah pasif kausalitas dalam penyebab itu sendiri yang mulai
beroperasi (fit).
BAGIAN
III
PENTINGNYA
AKAL BUDI TENTANG KONTRADIKSI DIRI
Proposisi dialektis berupaya untuk
memecahkan empat masalah yang tidak dapat dihindari oleh akal budi. Karena
tidak ada rangkaian hipotesis sintesis yang membatasi sintetis empiris secara
apriori. Empiris murni bukan hanya penjelasan tentang fenomena dunia, tetapi
solusi ide transendental, bahkan tentang alam semesta. Dalam penentuan ide
kosmologis, kita menemukan:
1.
Sebuah kepentingan praktis.
2.
Kepentingan spekulatif.
3.
Keuntungan popularitas.
Namun dalam hal ini
masih ada keraguan apakah Epicurus pernah mengemukakan prinsip-prinsip sebagai
arah untuk mencapai tujuan bagi pemahaman. Jika semua itu tidak lebih dari
sekadar pepatah dalam melaksanakan akal budi spekulatif, di dalamnya terdapat
bukti bagi semangat filosofis yang lebih asli daripada para filsuf kuno.
Sehingga dalam menjelaskan fenomena tersebut, kita harus melanjutkan penyelidikan
tersebut yang tidak dibatasi oleh ruang atau permulaannya tidak dibatasi oleh
waktu; sehingga kita harus puas dalam mengajarkan pengalaman yang mengacu pada materi
dimana dunia diungkapkan, sehingga kita tidak harus mencari modus lain dari
asal-usulnya dari peristiwa yang ditentukan oleh hukum alam yang tidak dapat
diubah; dan akhirnya kita tidak menggunakan hipotesis mengenai penyebab yang
berbeda dari dunia tersebut untuk menjelaskan tentang sebuah fenomena atau
tentang dunia itu sendiri yang merupakan prinsip-prinsip bagi perluasan
filsafat spekulatif, dan penemuan terhadap sumber yang sebenarnya dari
prinsip-prinsip moral, yang bagaimanapun hanya agak sesuai dengan keadaan hari
ini, yang tidak diragukan lagi kebenarannya. Pada saat yang sama, siapa pun yang
berkeinginan untuk mengabaikannya dan hanya berdasarkan spekulasi belaka, maka
proposisi dogmatis ini karena alasan tersebut tidak perlu dituduh telah menolaknya.
BAB
IV
TENTANG
PERLUNYA MENERAPKAN SOLUSI MASALAH TRANSENDENTAL ATAS AKAL BUDI MURNI
Pertanyaan,
"Apakah konstitusi dari sebuah objek transendental itu?" adalah pertanyaan
yang tidak bisa dijawab - kita tidak dapat mengatakan apa itu; tapi kita bisa
melihat bahwa pertanyaan itu sendiri bukanlah sesuatu; karena ia tidak berhubungan
dengan objek yang dapat disajikan kepada kita. Untuk alasan ini, kita harus mempertimbangkan
semua pertanyaan yang muncul dalam psikologi transendental sebagai jawaban;
karena mereka berhubungan dengan subjek transendental dari semua fenomena
internal, yang tidak dengan sendirinya merupakan fenomena, dan akibatnya tidak
disajikan sebagai objek, di mana tak satu pun dari kategori pertanyaan tersebut
diarahkan dengan benar dan menemukan kondisi penerapannya. Oleh karena itu, di
sini terdapat kasus di mana tidak ada jawaban sebagai satu-satunya jawaban yang
tepat. Karena pertanyaan mengenai konstitusi dari sesuatu yang tidak dapat
dipikirkan oleh predikat apa pun yang ditentukan, yang benar-benar berada di
luar lingkup objek dan pengalaman, yang benar-benar nol dan kosong.
BAGIAN
V. PEMAPARAN SKEPTIS TENTANG MASALAH KOSMOLOGIS YANG DISAJIKAN DALAM EMPAT IDE
TRANSENDENTAL
Pertama, bahwa dunia
tidak memiliki awal, karena konsepsi berada dalam urutan mundur, sehingga tidak
bisa melampaui seluruh keabadian. Kedua, jika setiap fenomena (materi) di dalam
ruang terdiri dari jumlah yang tak terbatas, maka regresi pembagian selalu
terlalu besar bagi konsepsi. Ketiga, anggap lah bahwa setiap peristiwa di dunia
terjadi sesuai dengan hukum alam. Keempat, jika kita menganggap eksistensi dari
sebuah wujud absolut maka harus
menempatkannya dalam sebuah waktu pada jarak yang tak terbatas.
BAGIAN
VI. IDEALISME TRANSENDENTAL SEBAGAI KUNCI BAGI SOLUSI DIALEKTIKA KOSMOLOGI
MURNI
Di tempat lain menyebut
teori ini sebagai idealisme formal, untuk membedakannya dari idealisme
material, yang meragukan atau menolak eksistensi benda-benda eksternal.
BAGIAN
VII
SOLUSI
KRITIS TERHADAP MASALAH KOSMOLOGIS
Dialektika
transendental tidak mendukung skeptisisme meskipun menyajikan penjelasan
mengenai keuntungan metode skeptic, utilitas besar yang terlihat dalam
antinomy, di mana argumen dari akal budi diizinkan untuk saling berhadapan satu
sama lain dalam kekuatan yang tidak pernah berkurang.
BAB
VIII
PRINSIP
REGULATIF AKAL BUDI MURNI DALAM KAITANNYA DENGAN GAGASAN KOSMOLOGIS
Prinsip totalitas kosmologis tidak
memberi pengetahuan tertentu dengan sifat maksimal dalam serangkaian kondisi
indera. Regresi aktual dalam rangkaian ini adalah satu-satunya cara untuk
mendekati sifat maksimum. Prinsip tentang akal budi murni masih dianggap valid
bukan sebagai aksioma, tetapi sebagai sebuah masalah pemahaman, yang
mengharuskan untuk melanjutkan sesuai dengan ide totalitas dalam pikiran.
Karena, dalam dunia indera, yaitu dalam ruang dan waktu setiap kondisi yang
ditermukan bukan merupakan benda dalam diri sendiri tetapi hanya merupakan
representasi empiris.
I.
SOLUSI
ATAS IDE KOSMOLOGIS DALAM TOTALITAS KOMPOSISI FENOMENA DI ALAM SEMESTA
Rangkaian kosmik ini
tidak dapat lebih besar atau lebih kecil dan kemungkinan regresi empiris, di
mana konsepsi tersebut didasarkan Dan karena regresi terbatas tertentu
(benar-benar terbatas), jelaslah bahwa kita tidak bisa menjadi sebuah regresi
yang tak terbatas bukan merupakan yang anggap dunia terbatas atau tak terbatas,
karena regresi tersebut yang memberi kita representasi tentang dunia, tidak terbatas
juga bukan tidak terbatas Dengan demikian dari apa yang telah kita katakan di
atas, bahwa kita tidak dibenarkan untuk menyatakan bahwa dunia tak terbatas
dalam ruang, atau dalam kaitannya dengan waktu masa lalu. Karena konsepsi
tentang kuantitas yang tak terbatas ini bersifat empins, tapi kita tidak bisa
menerapkan konsepsi kuantitas terbatas terhadap dunia sebagai objek indera Saya
tidak bisa mengatakan, "Regresi dari persepsi tertentu bagi segala sesuatu
bersifat terbatas, baik dalam ruang atau waktu, yang berlangsung secara in
infinitum, "Karena ia mengandaikan kuantitas kosmik yang tak terbatas,
sehingga tidak bisa saya katakan, "la adalah terbatas, karena sebuah batas
mutlak juga tidak mungkin dalam pengalaman Oleh karena hu saya tidak berhak
untuk membuat pernyataan sama sekali mengenai setiap objek pengalaman yakni
dunia indera. Saya harus membatasi pemyataan saya mengenai aturan yang sesuai
dengan pengalaman atau pengetahuan empiris yang harus dicapai Dengan demikian,
terhadap pertanyaan mengenai setiap kuantitas kosmik, jawaban negatif yang
pertama adalah 'Dunia tidak memiliki awal dalam waktu, dan tidak memiliki batas
mutlak dalam ruang. Sebab, dalam kasus yang sebaliknya, ia akan dibatasi oleh
waktu yang kosong di satu sisi, dan oleh ruang kosong dalamnya. Tapi aturan ini
hanya mengu terbatas dalam dirinya sendiri bagi sebuah fenomena yang bukan sebuah
benda dalam dirinya sendiri; ia menjadi mungkin bagi kita untuk memiliki
persepsi tentang keterbatasan ini dengan waktu kosong dan ruang kosong. Tapi
persepsi seperti itu sebuah pengalaman yang tidak mungkin; karena ia tidak
memiliki isi. Akibatnya, batas kosmik absolut secara empiris benar-benar tidak
mungkin Pembaca akan berkomentar bahwa bukti yang diketengahkan di atas sangat
berbeda dari demonstrasi dogmatis yang ditentukan dalam antitesis dari antinomy
pertama. Dalam demonstrasi itu dianggap begitu saja bahwa dunia adalah benda
yang ada dalam dirinya sendiri yang ditentukan dalam totalitasnya sebelum semua
regresi, dan posisi yang ditentukan dalam ruang dan waktu ditolak darinya, jika
ia tidak dianggap menempati semua waktu dan semua ruang.
II.
SOLUSI
BAGI IDE KOSMOLOGIS DARI TOTALITAS DIVISI DARI SEBUAH KESELURUHAN YANG
DIBERIKAN DALAM INTUISI
Benda-benda yang dapat
bersandar pada ruang merupakan kondisi kemungkinan dari suatu keseluruhan yang
diperluas.
KOMENTAR PENUTUP MENGENAI SOLUSI
TERHADAP IDE MATEMATIKA TRANSENDENTAL DAN PENGANTAR ATAS SOLUSI IDE DINAMIS
Pemahaman tidak dapat
mengakui di antara fenomena sebuah kondisi yang dalam dirinya sendiri tidak
dikondisikan secara empiris. Tetapi jika memungkinkan untuk memikirkan sebuah
kondisi yang dapat dipahami yakni kondisi yang bukan merupakan anggota dari
serangkaian fenomena karena sebuah fenomena yang dikondisikan tanpa memutus
rangkaian kondisi empiris, maka kondisi seperti itu dapat diakui secara empiris
sebagai yang tak dikondisikan, dan regresi empiris terus berlanjut, tidak
berhenti, dan tetap utuh.
KEMUNGKINAN KEBEBASAN DALAM
KESELARASAN DENGAN HUKUM UNIVERSAL KEBUTUHAN ALAM
Fenomena abadi harus
mampu memperngaruhi dan tindakannya sesuai dengan hukum-hukum alam yaitu hukum
kausalitas, untuk dikenali melalui pengalaman.
PENJELASAN IDE KOSMOLOGIS TENTANG
KEBEBASAN DALAM HARMONI DENGAN HUKUM UNIVERSAL KEBUTUHAN ALAM
Moralitas nyata dari
tindakan, yakni kelebihannya atau kekurangannya, dan bahkan yang merupakan
perilaku kita sendiri, benar-benar tidak kita ketahui. Perkiraan kita hanya
dapat berhubungan dengan karakter empiris. Berapa banyak hasil dari tindakan
kehendak bebas, berapa banyak yang berasal dari alam dan dengan kesalahan yang
tak dapat disalahkan, atau yang berhubungan dengan merito Fortunae, tidak ada
seorang pun yang bisa menemukannya, atau untuk alasan ini yang dapat menentukannya
dengan keadilan yang sempurna.
III.
SOLUSI
BAGI IDE KOSMOLOGIS MENGENAI TOTALITAS KETERGANTUNGAN EKSISTENSI FENOMENAL
Eksistensi dari wujud
yang mutlak diperlukan, tapi hal itu tidak pernah dapat dibuktikan berdasarkan
kontigensi universal dan ketergantungan terhadap fenomena inderawi, atau
berdasarkan prinsip untuk menghentikan rangkaian anggotanya, untuk mencari
penyebab bidang eksistensi di luar dunia.
BAB
III
CITA-CITA
AKAL BUDI MURNI
BAGIAN
I. CITA-CITA SECARA UMUM
Konsepsi murni tidak
menghadirkan objek ke dalam pikiran, kecuali dalam kondisi inderawi, karena
kondisi realitas objektif tidak ada dalam konsep. Cita-cita dalam filsafat
Plato adalah ide tentang pikiran ilahi objek individu yang hadir dalam intuisi
murni, yang paling sempurna dan merupakan pola dasar dari semua eksistensi
fenomenal. Menurut Stoa, cita-cita yaitu seorang manusia yang ada dalam pikiran
dan dengan gagasan kebijaksanaan. Cita-cita berfungsi sebagai pola dasar untuk
menentukan secara sempurna dan lengkap mengenai tiruan.
Cita-cita bersifat
imajinasi, yang artinya monogram yang ditarik sesuai dengan aturan pasti. Dalam
cita-cita, akal budi bertujuan untuk melengkapi dan menyempurnakan penentuan
yang sesuai dengan aturan apriori, karena sebuah objek harus benar-benar
ditentukan sesuai beberapa prinsip dan konsepsi terhadap objek yang bersifat
trasenden.
BAGIAN
II. TENTANG CITA-CITA TRANSENDENTAL (PROTOTYPON TRANCENDENTAL)
Konsepsi dan prinsip
saling terkait. Prinsip adalah setiap dua predikat yang berkontradiksi hanya
satu yang menjadi milik konsepsi. Prinsip yang menjadi milik konsepsi adalah
prinsip yang benar-benar logis. Karena membuat abstraksi lengkap dan isi
tersebut logis dan kognisi. Prinsip tentang penentuan lengkap yang berkaitan
dengan isi dan bukan logis. Ia adalah prinsip sintesis dari semua predikat
untuk membentuk konsepsi lengkap dari sebuah benda, dan bukan hanya merupakan
prinsip representasi analitis yang menyatakan bahwa salah satu dari dua
predikat kontradiktif tersebut merupakan bagian dari sebuah konsepsi. Oleh
karena itu, dia menjadi konsepsi bagi sebuah objek individu yang sepenuhnya
ditentukan oleh dan melalui ide belaka, dan karenanya harus disebut sebagai
cita-cita akal budi murni. Ketika kita mempertimbangkan semua predikat yang
mungkin, bukan hanya secara logis, namun secara transcendental, yaitu dengan
mengacu pada isi yang mungkin kadang kita pikirkan sebagai yang ada di dalamnya
secara apriori, kita akan menemukan bahwa sebagian menunjukkan sebuah wujud,
dan yang lain hanyalah non wujud. Ungkapan ketidakabadian tidak menunjukkan
bahwa non-wujud yang kadang kita pikirkan dalam objek tidak menyangkut isi sama
sekali. Sebaiknya sebuah negasi transcendental yang menunjukkan non-wujud itu
sendiri dan menentang penegasan transcendental, konsepsi tersebut dari dirinya
sendiri mungungkapkan sebuah wujud. Dengan demikian, akal budi dalam meletakkan
cita cita transendentalnya berdasarkan analogi yang tepat, yang dengannya ia
mengejar silogisme disjungtif, sebuah proporsi yang membentuk dasar pembagian
sistematis semua ide transcendental.
BAB III. TENTANG ARGUMEN YANG
DIGUNAKAN OLEH AKAL BUDI SPEKULATIF MENGENAI BUKTI EKSISTENSI YANG MAHATINGGI.
Proses
alami bagi akal budi manusia. Ia memulai
dengan membujuk diri sendiri dari eksistensi beberapa wujud yang diperlukan.
Dalam wujud ini ia diakui sebagai karakteristik eksistensi yang tidak
dikondisikan. Kemudian ia mencari konsepsinya dari sesuatu yang tidak terikat
dengan semua kondisi, dan menemukan bahwa ia sendiri merupakan kondisi yang
memadai bagi semua benda-benda lainnya, dengan kata lain; di dalam sesuatu, di
dalamnya berisi semua realitas. Tapi semuanya yang tak terbatas adalah kesatuan
mutlak dan dipahami oleh pikiran sebagai sebuah wujud yang satu dan mahatinggi;
dan dengan demikian akal budi menyimpulkan bahwa yang mahatinggi adalah dasar
primal dari segala sesuatu, yang memiliki eksistensi yang benar-benar
diperlukan.
BAB IV. KEMUSTAHILAN
BUKTI ONTOLOGIS TENTANG EKSISTENSI TUHAN.
Sudah
terbukti dari apa yang telah dikatakan bahwa konsepsi tentang wujud yang mutlak
diperlukan adalah ide belaka realitas objektif yang jauh dari yang
ditetapkan and1 fakta bahwa ia adalah kebutuhan bagi akal budi. Para filsuf
selalu berbicara tentang sebuah wujud yang mutlak diperlukan namun demikian
tetap menolak untuk menghadapi kesulitan dalam memikirkan apakah dan
bagaimanakah wujud dari alam ini dapat dipahami belum lagi bahwa eksistensinya
yang sebenarnya dapat dibuktikan untuk mengasumsikan eksistensi segitiga dan
bukan eksistensi tiga sudut adalah saling berkontradiksi; tapi
untuk menganggap non eksistensi dari kedua segitiga dan sudut-sudut tersebut,
hal ini sepenuhnya dibolehkan. Begitu juga dengan konsepsi tentang sebuah
wujud yang benar-benar diperlukan. Dengan menghilangkan eksistensinya
dalam pikiran, dan anda menghilangkan benda itu sendiri dengan segala
predikat tersebut; bagaimana kemudian bisa ada ruang bagi
kontradiksi?
Tuhan
maha kuasa yang penilaiannya diperlukan. Kemahakuasaannya tidak bisa
dipungkiri jika eksistensi sebuah ketuhanan dikemukakan, dimana
eksistensi tersebut yang merupakan wujud yang tak terbatas, maka kedua
konsepsi tersebut identik. Tetapi ketika anda mengatakan bahwa tuhan
tidak ada, maka kemahakuasaannya maupun predikat lainnya tidak dapat
dinyatakan; semuanya pasti menghilang bersama dengan subjek
tersebut, dan dalam penilaian ini tidak ada yang bisa ada kecuali
kontradiksi diri. Dengan demikian anda telah melihat bahwa ketika predikat bagi
sebuah penilaian sedang dihilangkan dalam pikiran bersama dengan subjek,
maka tidak ada kontradiksi internal yang dapat muncul, apapun predikat
tersebut. Tidak ada kemungkinan untuk menghindari kesimpulan
tersebut. Anda menemukan diri anda dipaksa untuk menyatakan: ada
subjek tertentu yang tidak dapat dihilangkan dalam pikiran. Tapi hal ini
tidak lebih daripada mengatakan: kan ada subjek yang benar-benar
diperlukan, yakni hipotesis di mana anda dikehendaki untuk
menetapkannya. Sebuah predikat yang logis mungkin dapat anda gunakan
sesuka anda, bahkan subjek tersebut dapat didasarkan dari dirinya
sendiri; karena logika tidak mempedulikan isi sebuah penilaian.
Namun, penentuan terhadap sebuah konsepsi adalah sebuah predikat yang
melakukan penambahan untuk memperbesar konsepsi tersebut. Dengan demikian
ia harus terkandung dalam konsepsi. Wujud itu jelas-jelas bukan merupakan
predikat yang nyata, yaitu konsepsi tentang sesuatu yang ditambahkan kepada
konsepsi tentang beberapa benda lainnya. Ini hanyalah menyatakan sebagai
fakta tentang suatu benda, atau penentuan tertentu di dalamnya nya.
Logikanya, ia hanyalah merupakan kata kerja penghubung dari sebuah
penilaian. Proposisi tersebut, yakni tuhan maha kuasa, berisi
dua konsepsi yang memiliki objek tertentu atau isi; dan kata tersebut
tidak memiliki predikat tambahan- ia hanyalah menunjukkan hubungan predikat
dengan subjek. Sekarang, yang jika saya menggunakan subjek tuhan dengan
semua predikatnya ( wujud yang maha kuasa adalah satu), dan berkata;
tuhan ada atau ada tuhan, maka saya tidak menambahkan predikat baru
terhadap konsepsi tentang tuhan, saya hanya mengandaikan atau menegaskan
adanya subjek tersebut dengan semua predikat dimana saya hanya mengandaikan
objek dalam kaitannya dengan konsepsi saya. Isi dari keduanya sama
dan dan disini ini tidak ada penambahan yang dilakukan dalam konsepsi tersebut
yang menyatakan bahwa hal itu hanyalah merupakan kemungkinan tentang objek
tersebut melalui pemikiran saya tentang objek tersebut dalam ekspresi
bahwa ia benar-benar telah ditentukan atau sudah ada.
BAB V. KEMUSTAHILAN BUKTI
KOSMOLOGIS MENGENAI EKSISTENSI TUHAN.
Bukti
kosmologis yang akan kita kaji mempertahankan hubungan antara kebutuhan mutlak
dan realitas tertinggi; tapi bukan penggunaan akal budi dari realitas
tertinggi untuk memahami eksistensi yang diperlukan, seperti argumen
sebelumnya, yang disimpulkan dari keharusan yang tidak dikondisikan yang
ditentukan dari beberapa wujud yang realitas nya terbatas. Objek semua
pengalaman yang mungkin itu disebut dunia, dan ia disebut sebagai bukti
kosmologis. Ia tidak memiliki hubungan dengan sifat-sifat objek
inderawi, yang dengannya dunia Indera dapat dibedakan dengan Dunia Lain
yang mungkin; dan dalam hal ini berbeda dengan pembuktian
fisio-teologis yang didasarkan pada pertimbangan konstitusi dunia
inderawi kita. Tujuan dari kosmologis adalah untuk menghindari perlunya
membuktikan eksistensi sebuah wujud yang diperlukan yang mendahului konsepsi
sebuah bukti yang bersifat ontologis, dan terhadapnya kita merasa bahwa
diri kita cukup mampu. Dalam kasus ini tidak perlu untuk menunjukkan
kemungkinannya. Karena setelah terbukti bahwa ia ada, maka
pertanyaan mengenai kemungkinannya sungguh berlebihan.
Sekarang
hal ini benar-benar dapat diterima dalam setiap jenis penggunaan akal budi,
dari konsekuensi kepada prinsip; tetapi dalam kasus ini sayangnya bahwa
kondisi kebutuhan mutlak tidak dapat ditemukan kecuali dalam sebuah wujud tunggal,
dimana akibatnya konsepsi mengandung segala sesuatu yang diperlukan untuk
menunjukkan kehadiran kebutuhan mutlak, dan dengan demikian menyebabkan
saya untuk menyimpulkannya sebagai kebutuhan mutlak apriori.
TINJAUAN PENJELASAN
ATAS ILUSI DIALEKTIS DALAM SEMUA ARGUMEN TRANSENDENTAL MENGENAI EKSISTENSI
WUJUD YANG WAJIB.
Kedua
argumen di atas bersifat transcendental. dengan kata lain, mereka
tidak melangkah berdasarkan prinsip-prinsip empiris. Sebab, argumen
kosmologis meletakkan dasar pengalamannya dalam bangunan akal-budi,
ia tidak berlandaskan pada prosedur nya dalam konstitusi
pengalaman, tapi berdasarkan prinsip-prinsip akal budi murni dalam
kaitannya dengan sebuah eksistensi yang diberikan oleh kesadaran empiris;
yang benar-benar mengabaikan bimbingan dengan tujuan untuk mendukung pernyataan
yang sepenuhnya berdasarkan konsepsi murni. kesimpulan yang terelakkan
adalah bahwa kebutuhan dan kontingensi bukanlah merupakan sifat dari benda itu
sendiri; jika tidak tentu akan berakibat pada kontradiksi internal;
yang akibatnya tak satu pun dari prinsip-prinsip ini yang bersifat
objektif, tetapi hanya merupakan prinsip-prinsip subjektif dari akal
budi- yang mengharuskan kita untuk mencari landasan yang diperlukan untuk
segala sesuatu yang ada, yang harus dipenuhi tanpa penjelasan lain yang
benar-benar apriori, sedangkan yang lain melarang kita untuk mencapai
perlengkapan ini, yaitu untuk menganggap bahwa tidak ada anggota
dari dunia empiris yang tidak dikondisikan. Tapi, karena setiap penentuan
materi membentuk sesuatu yang nyata di dalamnya- dan akibatnya sifat tidak
dapat ditempuh tersebut adalah sebuah efek yang harus memiliki sebuah
penyebab, dan karena alasan ini maka selalu diperoleh gagasan materi yang
tidak bisa diselaraskan dengan gagasan sebuah wujud yang diperlukan,
dalam karakter yang sesuai dengan prinsip di mana semua kesatuan itu
berasal. karena setiap orang memiliki sifat yang diturunkan, maka
tentu hanya ada yang diperlukan secara kondisional, dan karena itu dapat
dimusnahkan dalam pikiran; dan dengan demikian seluruh eksistensi materi
bisa dimusnahkan atau ditekan.
BAB VI. TENTANG
KEMUSTAHILAN BUKSTI PSIKO-TEOLOGIS
Saya
berpendapat bahwa argumen fisiko teologis tidak memadai bagi dirinya sendiri
untuk membuktikan eksistensi wujud yang Maha Tinggi, sehingga ia harus
mempercayakan masalah ini kepada argumen ontologis yang hanya berfungsi sebagai
penghantar, akibatnya argumen ini hanya berisi satu-satunya landasan yang
mungkin bagi bukti tersebut (yang dimiliki oleh akal budi spekulatif) bagi
eksistensi wujud ini. Momentum utama dalam argumen fisiko teologis ini
sebagai berikut:
1. Kita
mengamati dalam tanda-tanda yang tampak jelas di dunia tentang sebuah
pengaturan yang sarat dengan tujuan, yang dilaksanakan dengan kebijaksanaan
yang besar, dan argumen dalam seluruh isi yang keberagamannya tak
terlukiskan, dan luas tanpa batas.
2. Penataan
dalam sarana dan tujuan yang benar-benar asing bagi benda-benda yang ada di
dunia ia hanya menjadi milik mereka sebagai sebuah sifat kontingen.
3. Oleh
karena itu ada penyebab mulia dan bijaksana yang sangat kuat yang menghasilkan
wujud dan peristiwa yang mengisi dunia dalam kemakmuran yang tidak
disadari, tapi merupakan sebuah penyebab dunia yang bebas dan cerdas.
4. Kesatuan
dari penyebab ini dapat disimpulkan dari kesatuan hubungan timbal balik yang
ada antara bagian-bagian di dunia, sebagai bagian dari sebuah bangunan
artistik- sebuah kesimpulan di mana semua pengamatan kita menyetujuinya,
dan semua prinsip-prinsip analog yang mendukungnya
Menurut
argumen fisiko teologis, hubungan dan harmoni yang ada di dunia merupakan
bukti bagi kontingensi dalam bentuknya saja, tetapi bukan materinya yaitu
tentang substansi dunia. Fisiko teknologi mampu menyajikan konsepsi yang pasti
tentang penyebab tertinggi dunia, dan karena itu tidak cukup sebagai
prinsip teologi, sebuah teologi yang dengan sendirinya menjadi dasar bagi
Agama. Pencapaian totalitas mutlak benar-benar mustahil dengan jalan
empirisme. Namun ini adalah jalan yang ditempuh dalam argumen fisiko
teologis. Kita membiarkan argumen tersebut atas dasar empiris, dan
melanjutkannya untuk menyimpulkan kontingensi dunia berdasarkan tatanan dan
kesesuaian dengan tujuan yang diamati di dalamnya. Dengan demikian risiko
teologis didasarkan pada kosmologi, dan berdasarkan bukti ontologis
mengenai eksistensi Wujud yang Maha Tinggi; dan karena selain ketiga hal
tersebut tidak ada jalan lain yang terbuka bagi akal-budi spekulatif,
maka bukti ontologis yang berdasarkan konsepsi akal budi hanyalah satu-satunya
yang mungkin, jika ada bukti tentang posisi yang melampaui penerapan
empiris dalam pemahaman ini yang bersifat mungkin
BAB VII. KRITIK ATAS
SEMUA TEOLOGI YANG BERDASARKAN PADA PRINSIP AKAL BUDI SPEKULATIF
Pada
istilah teologi memahami kognisi tentang sebuah wujud primal, kondisi
tersebut didasarkan pada akal budi saja atau berdasarkan wahyu. orang
yang hanya percaya pada teologi transendental disebut orang deis; Dan orang
yang mengakui kemungkinan teologi alami disebut orang teis;. Yang pertama
mengakui bahwa ketika dengan menggunakan akal budi murni dapat memikirkan
eksistensi wujud yang Maha Tinggi, Tetapi pada saat yang sama menyatakan bahwa
konsepsi kita tentang wujud ini bersifat transendental murni. yang kedua
menegaskan bahwa akal budi berdasarkan analogi dengan alam mampu menyajikan
kepada kita konsepsi yang lebih pasti tentang wujud ini, dan
pelaksanaannya adalah hasil dari kecerdasan dan kehendak bebas. Teologi
transendental bertujuan untuk menyimpulkan adanya sebuah wujud yang Maha Tinggi
berdasarkan sebuah pengalaman umum, tanpa memiliki rujukan yang lebih
dekat dengan dunia yang dimiliki oleh pengalaman dan dalam hal ini disebut
Kosmo teologi; artinya ia berupaya untuk mengenali sepenuhnya eksistensi
wujud tersebut melalui konsepsi belaka tanpa bantuan
pengalaman(ontoteologi). teologi alam menyimpulkan sifat dan eksistensi
pencipta dunia berdasarkan konstitusi aturan dan kesatuan yang dapat diamati
dunia, dimana 2 modus kausalitas itu harus diakui ada yakni alam dan kebebasan.
dalam kasus yang pertama ia disebut sebagai fisiko teologi, dalam kasus
yang kedua ia disebut teologi etika atau moral.
Mustahil
untuk memperoleh hasil dari spekulasi murni dari penjelasan akal budi bahwa ada
tidak ada wujud yang Maha Tinggi sebagai dasar dari segala sesuatu yang ada
atau bahwa wujud ini tidak memiliki sifat-sifat yang kita anggap sebagai
sesuatu yang analogis dengan kualitas dinamis dari wujud yang berpikir.
dengan demikian sebuah wujud yang Maha Tinggi, bagi akal budi speculative
hanyalah merupakan ide belaka meskipun ia memiliki kesempurnaan sebuah konsepsi
yang menyempurnakan sistem kognisi manusia tetapi realitas objektifnya tidak
dapat dibuktikan atau dibantah dengan akal budi murni. Sifat-sifat tak
terbatas, kesatuan, eksistensi yang terlepas dari dunia (dan bukan
sebagai jiwa dunia), keabadian (yang bebas dari kondisi waktu),
mahahadir (bebas dari kondisi ruang), kemahakuasaan, dan
lain-lain, adalah predikat transcendental murni; dengan demikian
merupakan konsepsi akurat tentang wujud yang Maha Tinggi yang mengharuskan
setiap teologi untuk dijelaskan oleh teologi transcendental saja.
TENTANG TUJUAN AKHIR
DIALEKTIKA ALAM DALAM AKAL BUDI MANUSIA
Ide-ide
akal budi murni, dalam diri mereka sendiri dan di alam mereka sendiri
tidak bersifat dialektis; Iya merupakan kesalahan penerapan mereka sendiri
sehingga muncul kekeliruan dan ilusi/ karena mereka berasal dari sifat
akal budi itu sendiri dan tidak mungkin bahwa pengadilan tertinggi dari semua
hak dan klaim spekulasi ini tidak layak untuk memiliki rasa percaya diri
dan kesalahan. Dengan demikian diharapkan bahwa ide-ide ini memiliki
tujuan asli dan sah.
Akal
budi murni tidak ada yang tersisa kecuali sifatnya secara umum, dan
lengkapnya kondisi dalam sifat tersebut sesuai dengan beberapa prinsip.
Totalitas absolut dari serangkaian kondisi ini adalah sebuah ide yang tidak
pernah sepenuhnya dapat diwujudkan dalam penerapan empiris akal budi,
sementara itu ia berguna sebagai aturan bagi prosedur akal budi dalam kaitanya
dengan totalitas tersebut.
Tujuan
akal budi dalam prosedur ini adalah terbentuknya aturan formal untuk memperluas
wilayahnya dalam dunia pengalaman; sehingga ia tidak bertujuan untuk
memperluas kognisi yang melampaui batas-batas pengalaman; sehingga akibatnya
Ide ini tidak mengandung prinsip konstitutif
II. DOKTRIN METODE
TRANSENDENTAL
Jika
kita menganggap jumlah kondisi akal budi speculatif murni sebagai
bangunan, gagasan yang setidaknya ada dalam pikiran manusia, maka
dapat dikatakan bahwa dalam doktrin unsur-unsur transendental kita telah
meneliti bahan-bahan tersebut untuk menentukan dimiliki oleh siapa bangunan
tersebut dan seberapakah tingginya dan stabilitasnya. Sesungguhnya kita telah
menemukan bahwa meskipun kita bertujuan untuk membangun untuk diri kita sendiri
menara yang harus mencapai langit, pasokan bahan yang mencukupi hanyalah untuk
tempat tinggal yang cukup luas untuk semua tujuan teresterial, dan cukup
tinggi untuk memungkinkan kita melakukan survei terhadap dataran di tingkat
pengalaman. Tugas kita saat ini berhubungan dengan materi, tapi dengan
rencana sebuah bangunan; dan sebagaimana kita telah memperoleh peringatan
yang cukup agar tidak membabi buta dalam melakukan rancangan yang dapat
ditemukan untuk mengatasi kekuatan alam kita, sementara pada saat yang
sama, kita tidak bisa bagi pikiran, sehingga hingga kita harus
menyesuaikan rancangan kita dengan bahan yang diberikan kepada kita, dan pada
saat yang sama, cukup untuk memenuhi semua keinginan kita
BAB I. DISIPLIN AKAL
BUDI MURNI
Akal
budi, ketika digunakan di bidang pengalaman, tidak membutuhkan
kritik, karen prinsip-prinsipnya tunduk pada uji terus-menerus dalam
pengamatan empiris. juga tidak diperlukan kritik di bidang
matematika, di mana konsepsi akal budi harus selalu ditampilkan dalam
intuisi murni, dan pernyataan yang tidak berdasar atau sembarangan
ditemukan tanpa kesulitan. Tapi ketika akal budi tidak digunakan di jalan
yang benar melalui pengaruh empiris atau intuisi murni, yaitu ketika digunakan
di bidang transendental dalam konsepsi murni, ia sangat membutuhkan
disiplin, dan menahan kecenderungannya untuk melangkahi batas pengalaman yang
bersifat mungkin dan untuk menjaga agar tidak terjebak ke dalam
kesalahan.
BAGIAN I. DISIPLIN AKAL
BUDI MURNI DALAM DOGMATISME
Ilmu
matematika menyajikan contoh yang paling cemerlang mengenai perluasan bidang
akal budi murni tanpa bantuan pengalaman. Contohnya semakin banyak;
dan mereka memberikan pengaruh penting dalam fakultas yang sama, yang
sesungguhnya mendukung dirinya sendiri bahwa ia akan memiliki keberuntungan
yang sama dalam kasus lain ketika ia berada dalam contoh yang
menguntungkan. Oleh karena itu akal budi murni diharapkan dapat
memperluas wilayahnya nya dalam lingkup transendental dengan keberhasilan
dan keamanan yang sama, terutama ketika ia menerapkan metode yang sama
dengan hasil yang cemerlang seperti dalam ilmu matematika. Oleh karena
itu, penting bagi kita untuk mengetahui apakah metode untuk sampai pada
Kepastian Yang demonstratif, yang disebut matematika identik dengan
kepastian di mana kita berusaha untuk mencapai tingkat yang sama dalam
kepastian filsafat, yang disebut sebagai ilmu dogmatis. Kognisi filosofis
adalah akal budi melalui konsepsi; kognisi matematika adalah kognisi
melalui pembangunan konsepsi. Pembangunan konsepsi adalah presentasi apriori
dari intuisi yang sesuai dengan konsepsi. jadi saya membangun sebuah
segitiga dengan presentasi objek yang sesuai dengan konsepsi ini Baik hanya
melalui imajinasi intuisi murni atau di atas kertas dalam intuisi
empiris. dalam kedua kasus tersebut benar-benar bersifat apriori tanpa
meminjam gambar dari bentuk pengalaman. Oleh karena itu kondisi filosofis
menganggap sesuatu yang khusus berada dalam sesuatu yang umum; matematika umum
berada dalam matematika khusus yakni dalam individu. Namun demikian hal
ini sepenuhnya bersifat apriori dan melalui akal budi murni, sehingga
figur individu ini ditentukan berdasarkan syarat konstruksi universal
tertentu, yakni objek konsepsi, dimana figur individual ini sesuai
dengan skema yang kadang harus kita pikirkan sebagai sesuatu yang telah
ditentukan secara universal. Konsepsi matematika tentang sebuah segitiga harus
saya bangun, yakni secara apriori dalam intuisi saat ini, ini dan
dengan cara ini telah mencapai kognisi rasional sintetis. tapi ketika
konsep transcendental tentang realitas, atau substansi, atau daya
ditampilkan ke dalam pikiran saya, Maka saya merasa bahwa ia tidak berhubungan
atau menunjukkan intuisi empiris atau intuisi murni, tetapi ia hanya
menunjukkan sintetis intuisi empiris, yang tentu saja tidak dapat
ditentukan secara apriori.
1. TENTANG
DEFINISI
Definisi
adalah, sebagaimana yang ditunjukkan oleh istilah itu sendiri, merupakan
representasi berdasarkan landasan utama, dari konsepsi lengkap tentang benda
dalam batasannya sendiri. dengan demikian, konsepsi empiris tidak
dapat didefinisikan, ia hanya bisa dijelaskan. Karena, sebagaimana
dalam konsepsi tersebut hanya ada sejumlah tanda atau tanda-tanda, yang
menunjukkan objek inderawi. kita tidak pernah bisa yakin bahwa kita tidak
memikirkannya berdasarkan perkataan yang menunjukkan objek yang sama pada satu
waktu di mana keadaannya lebih besar, dan di lain waktu dengan sejumlah
kecil tanda-tanda. contohnya, seseorang mungkin memikirkan dalam
konsepsinya tentang emas, selain sifat-sifatnya yang berat,
warnanya, kelenturannya, sifatnya yang tidak bisa berkarat,
sementara orang lain mungkin tidak memperhatikan kualitas ini. contoh
tersebut kita hanya menggunakan tanda-tanda tertentu selama kita membutuhkannya
untuk membedakan dalam pengamatan baru yang digunakan untuk
mengabstraksi beberapa hal dan menambahkan hal yang baru, sehingga
konsepsi empiris tidak pernah dalam batas-batas yang permanen. Hal ini pada
kenyataannya tidak berguna untuk menentukan konsepsi semacam ini. contoh
lain ketika kita berbicara tentang air dan sifat-sifatnya, kita tidak
berhenti pada apa yang sebenarnya kita pikirkan tentang perkataan air, tetapi
untuk melanjutkan pengamatan dan eksperimen; dan kata tersebut dengan
beberapa tanda-tanda yang melekat padanya, nya lebih tepat untuk
menyebutkan konsepsi tentang benda. Oleh karena itu, karena konsepsi
tersebut tidak bersifat empiris atau bersifat apriori yang dapat
didefinisikan, kita harus melihat apakah ada satu-satunya
jenis lain dari konsepsi tersebut- yakni konsepsi yang sembarangan- yang tunduk
pada operasi mental.
Akibatnya,
hanya ilmu matematika saja yang memiliki definisi. karena objek yang
dipikirkan disini disajikan secara apriori dalam intuisi; dan dengan
demikian tidak pernah dapat berisi lebih atau kurang dari konsepsi
tersebut, karena konsepsi tentang objek telah dilaksanakan melalui
definisi dan bukan merupakan definisi yang berasal dari sumber lain.
Dengan
demikian:
a. Bahwa
dalam filsafat kita tidak harus meniru penggunaan matematika yang dimulai
dengan definisi kecuali dengan cara hipotesis atau percobaan. pendek
kata, definisi yang lengkap dan jelas dalam filsafat, seharusnya
bukan untuk membentuk kesimpulan dan dimulainya jerih payah kita ( filsafat
sangat berlimpah dengan definisi yang salah, terutama yang mengandung
beberapa unsur yang diperlukan untuk membentuk definisi yang lengkap).
Sebaliknya dalam matematika, kita tidak bisa memiliki konsepsi sebelum adanya
definisi; karena definisi adalah yang memberi kita konsepsi, dan karena alasan
ini ia membentuk permulaan setiap rantai penggunaan akal budi dalam matematika
b. Definisi
matematika tidak salah. Karena konsepsinya hanya ditentukan di
dalam dan melalui definisi, dan dengan demikian hanya berisi apa yang kadang
telah kita pikirkan dalam definisi. tapi meskipun definisi tersebut tidak
mesti benar, namun dalam hal isinya, kesalahan kadang-kadang
terjadi meskipun jarang, yang menjurus kepada bentuk. kesalahan ini
terletak dalam presisinya yang kurang. dengan demikian, definisi
umum dari sebuah lingkaran an- yakni ia adalah garis melengkung, setiap
titik di mana sama-sama jauh dari titik lain yang disebut Pusat- adalah sebuah
kesalahan, berdasarkan fakta bahwa penentuan tersebut ditunjukkan oleh
kata melengkung yang berlebihan. karena harus ada suatu teorema tertentu
yang mudah dapat dibuktikan dari definisi, yang menyatakan bahwa setiap
garis memiliki semua titik pada jarak yang sama dari titik lain, harus
merupakan garis melengkung yaitu, yang bahkan bukan merupakan bagian
terkecil dari nya yang lurus. dalam kasus terakhir, definisi ini tentu salah,
karena kita tidak pernah dapat sepenuhnya menentukan kelengkapan analisis
kita. karena alasan ini, metode definisi yang digunakan dalam
matematika tidak dapat ditiru dalam filsafat.
2. TENTANG
AKSIOMA
Sejauh ini,
aksioma adalah prinsip sintesis apriori. Sekarang satu konsepsi tidak
dapat dihubungkan secara sintetis dan secara langsung dengan yang lain;
karena jika kita ingin melanjutkan dari dan diluar sebuah konsepsi, maka
diperlukan sebuah kognisi mediasi ketiga. Dan karena filsafat adalah kognisi
akal budi dengan bantuan konsepsi saja, maka tidak dapat ditemukan di
dalamnya prinsip yang pantas disebut sebagai aksioma. Matematika di sisi
lain mungkin memiliki aksioma, karena selalu dapat menghubungkan predikat
dengan suatu objek apriori, dan tanpa hubungan perantara, dengan cara
membangun konsepsi intuisi. Memang benar bahwa dalam analitis yang saya
perkenalkan ke daftar prinsip-prinsip pemahaman murni, yakni aksioma
tertentu dalam intuisi, tetapi prinsip yang dibahas tersebut tidak dengan
sendirinya merupakan sebuah aksioma, tetapi disajikan semata-mata untuk
menjelaskan prinsip kemungkinan aksioma secara umum, sementara itu ia
benar-benar tidak lebih dari sebuah prinsip yang berdasarkan pada
konsepsi. Maka filsafat tidak memiliki aksioma dan tidak memiliki hak
untuk memaksakan prinsipnya secara apriori berdasarkan pemikiran, sampai
ia menetapkan kewenangan dan keabsahannya melalui deduksi yang
menyeluruh.
3. TENTANG
DEMONSTRASI
Hanya bukti apodeistis
yang berdasarkan pada intuisi yang dapat disebut demonstrasi. Pengalaman
mengajarkan kita tentang apa yang sesungguhnya, tetapi tidak dapat
meyakinkan kita bahwa tidak mungkin terjadi yang sebaliknya. Oleh karena
itu bukti atas landasan empiris tidak bersifat apodeistis. Dengan demikian
matematika mengandung demonstrasi, karena ia tidak menyimpulkan
kondisinya dari konsepsi, tapi dari pembangunan konsepsi, yaitu
dari intuisi, yang dapat diberikan secara apriori sesuai dengan
konsepsi. Metode aljabar, persamaan, dimana jawaban yang benar
disimpulkan melalui reduksi, adalah semacam konstruksi yang bukan
geometris, tetapi melalui simbol-simbol di mana semua konsepsi,
terutama yang berdasarkan hubungan kuantitas, direpresentasikan dalam
intuisi oleh tanda-tanda. Dengan demikian, dari semua pertimbangan
ini yang tidak sejalan dengan filsafat, khususnya di bidang akal budi
murni, dalam menggunakan metode dogmatis untuk menghiasi dirinya dengan
judul dan lencana ilmu matematika. Upayanya untuk menunjukkan bukti
matematika adalah pretensi yang sia-sia, yang hanya menyebabkan
kemunduran dari tujuan yang sebenarnya, yaitu untuk mendeteksi prosedur
ilusi akal budi ketika melampaui batas yang tepat dan dengan sepenuhnya
menjelaskan dan menganalisis konsepsi kita untuk menunjukkan kepada kita
wilayah spekulasi yang samar-samar kepada wilayah yang jelas dalam pengetahuan
yang sederhana. Dengan demikian akal budi murni dalam lingkup spekulasi
tidak berisi penilaian sintetis tunggal berdasarkan konsepsi. Konsepsi
yang diberikan dari penyebab dan peristiwa tidak akan cukup untuk menunjukkan
proposisi; setiap peristiwa memiliki sebab. Karena alasan ini ia
merupakan dogma; meskipun dari sudut pandang yang lain, berdasarkan
pengalaman, ia mampu untuk dibuktikan melalui demonstrasi. Pembuktiannya
sendiri yaitu pengalaman, dan membentuk sebuah pengandaian yang diperlukan
dalam semua pengamatan empiris.
BAGIAN
II. DISIPLIN AKAL BUDI MURNI DALAM POLEMIK
Dalam semua
operasinya, akal budi murni harus tunduk pada kritik, yang harus selalu
diizinkan untuk melaksanakan fungsi-fungsinya tanpa menahan diri; jika
kepentingannya yang terancam dan pengaruhnya mengundang kecurigaan. Akal budi
murni, ketika terlibat dalam lingkup dogmatisme, tidak begitu
sepenuhnya sadar akan ketaatan hukum tertinggi, untuk tampil di hadapan
pengadilan akal budi yang lebih tinggi dengan keyakinan yang sempurna.
Sebaliknya ia harus meninggalkan pretensi dogmatis nya yang megah dalam
filsafat. Akal budi tidak memegang miliknya berdasarkan kesabaran dalam
menanggung penderitaan nya; karena meskipun ia tidak menunjukkan judul
yang sangat memuaskan kepada mereka, namun tidak ada yang bisa
membuktikan bahwa dia bukan pemilik yang sah.
Tapi ada kasus
di mana kesalahpahaman serupa tidak dapat diberikan dan sengketa tersebut tetap
tidak dapat dihentikan. Taruhlah misalnya proposisi tentang
teistik: wujud yang mahatinggi; dan di sisi lain, kontra pernyataan yang
ateistik: tidak ada wujud yang mahatinggi; atau dalam psikologi;
segala sesuatu yang berpikir memiliki atribut kesatuan mutlak dan
permanen, yang sama sekali berbeda dengan kesatuan sementara dalam
fenomena material; dan kontra proposisi: jiwa bukanlah kesatuan
immaterial, dan sifatnya sementara, seperti pada fenomena. Dari sudut
pandang ini benar-benar tidak ada antitesis sebagai akal budi murni karena
satu-satunya arena dalam perjuangan tersebut akan menjadi bidang teologi murni
dan psikologi; tapi berdasarkan landasan ini dapat muncul penantang yang
tidak perlu kita takuti. Biarkan lawan untuk mengatakan apa yang dianggap
sebagai hal yang wajar, dan lawan lah dia hanya dengan senjata akal budi.
Jangan merasa cemas karena adanya kepentingan praktis pada umat manusia, semua
ini tidak pernah membahayakan dalam sengketa spekulatif murni. Akal budi
memperoleh manfaat dari penyelidikan terhadap sebuah subjek dari kedua sisi dan
penilaiannya dikoreksi melalui keterbatasannya. Apa yang harus dilakukan untuk
mengatasi bahaya yang tampaknya dalam kasus ini mengancam kepentingan umat
manusia? Tentu saja yang akan ditempuh dalam referensi terhadap subjek ini
adalah salah satu cara yang sempurna dan alami. Biarkan setiap pemikir menempuh
jalannya sendiri; jika ia menunjukkan bakat, jika ia memberikan bukti pemikiran
yang mendalam. Pendek kata, jika ia menunjukkan bahwa ia memiliki kekuatan akal
budi untuk dapat meraihnya. Jika anda memiliki jalan lain dan sarana lain, jika
anda mencoba untuk memaksa akal budi, jika anda meneriakkan penghianatan kepada
umat manusia, yang tidak dapat memahami atau bersimpati dengan spekulasi hal
seperti itu, anda hanya akan membuat diri anda konyol.
Sengketa seperti
itu hanya berfungsi untuk mengungkapkan antinomi akal budi, yang karena
bersumber pada sifat akal budi, maka harus diselidiki secara tuntas. Akal budi
memperoleh manfaat dari penyelidikan terhadap sebuah subjek dari kedua sisi,
dan penilaiannya dikoreksi melalui keterbatasannya. Bukan bahan yang
dapat memberikan kesempatan bagi munculnya perselisihan, tapi cara.
Karena diperbolehkan untuk menerapkan dihadapan akal budi, bahasa keyakinan
yang berakar kuat bahkan setelah kita diharuskan untuk meninggalkan semua
pretensi bagi pengetahuan.
Sungguh tidak
masuk akal untuk mengharapkan pencerahan dari akal budi, dan pada saat yang
sama untuk menunjukkan kepadanya tentang sisi pertanyaan yang harus ia
terapkan.selain itu, akal budi cukup ditopang oleh kekuatannya sendiri,
batas-batas yang dikenakan padanya oleh kodratnya sendiri sudah mencukupi;
tidak perlu bagi anda untuk menempatkan lebih banyak penjaga tambahan, seakan
kekuatannya sangat berbahaya bagi keadaan intelektual. Dalam dialektika tentang
akal budi tidak ada kemenangan yang diperoleh yang mengganggu ketenangan anda.
Perselisihan dalam dialektika diperlukan oleh akal budi dan kita tidak bisa
berharap bahwa ia dilakukan dengan kebebasan yang sempurna yang seharusnya
menjadi kondisi esensial. Dalam kodrat manusia ada suatu kecenderungan yang
tidak memiliki nilai, yakni kecenderungan dari segala sesuatu yang muncul dari
alam, yang tujuan akhirnya bermanfaat bagi kebaikan umat manusia untuk
menyembunyikan sentimen kita, dan memberikan ekspresi hanya terhadap pendapat
tertentu yang dapat diterima, yang dianggap aman dan memajukan
kepentingan umum karena apakah yang bisa lebih merugikan kepentingan kecerdasan
daripada pemasukan sentimen kita, untuk menyembunyikan keraguan yang kita
rasakan dalam pernyataan kita, atau untuk mempertahankan keabsahan akal budi
berdasarkan bukti yang baik yang kita tahu tidak memadai. Tapi kita harus
berpikir bahwa tidak ada sesuatu di dunia ini yang lebih fatal bagi
terpeliharanya tujuan baik daripada penipuan, kekeliruan, dan kepalsuan. Bahwa
hukum kejujuran yang paling tegas harus diamati dalam pembahasan subjek
spekulatif murni adalah persyaratan minimal yang dapat dibuat
Kritik akal budi
murni dapat dianggap sebagai pengadilan tertinggi bagi semua sengketa
spekulatif; karena ia tidak terlibat dalam sengketa ini, yang memiliki hubungan
langsung dengan benda-benda tertentu dan bukan dengan hukum pikiran, tetapi
dilembagakan untuk tujuan menentukan hak dan membatasi akal budi. Tanpa kontrol
kritik, akal budi dalam keadaan alami, dan hanya dapat menyatakan kliennya.
Sebaliknya, kritik memutuskan semua pertanyaan sesuai dengan hukum dasar dari
lembaga sendiri yang menjamin bagi kita kedamaian dan ketertiban hukum, dan
memungkinkan kita untuk mendiskusikan semua perbedaan dengan cara yang lebih
tenang dalam proses hukum. Sengketa tak berujung dalam akal budi dogmatis
memaksa kita untuk mencari beberapa modus dalam memperoleh keputusan yang pasti
dengan penyelidikan kritis terhadap akal budi itu sendiri; seperti yang
dinyatakan hobbes bahwa keadaan alam adalah keadaan ketidakadilan dan
kekerasan, dan bahwa kita harus meninggalkannya dan menyerahkan diri kita
kepada paksaan hukum yang sesungguhnya membatasi kebebasan individu tetapi
memungkinkan adanya kebebasan orang lain dan demi kebaikan bagi semuanya.
Kebebasan ini antara lain akan memungkinkan kita secara terbuka untuk
menyatakan kesulitan dan keraguan yang kita sendiri tidak mampu memecahkannya,
tanpa menimbulkan keadaan yang bergolak dan berbahaya bagi warga.
Untuk
membangkitkan akal budi terhadap dirinya sendiri, untuk menempatkan senjata di
tangan satu pihak di satu sisi serta dipihak lain dan untuk tetap menjadi
penonton yang yang tidak terganggu dan sarkastik dari perjuangan sengit yang
terjadi, tampaknya dari sudut pandang dogmatis, menjadi bagian yang pas hanya
jika memiliki disposisi yang jahat.
SKEPTISISME BUKAN
SEBUAH KEADAAN TETAP BAGI AKAL BUDI MANUSIA
Kesadaran
terhadap ketidaktahuan mutlak diperlukan bukannya untuk membentuk kesimpulan
dari pertanyaan saya tetapi menjadi motif terkuat untuk mengejarnya. Semua
ketidaktahuan adalah ketidaktahuan tentang benda-benda atau batas pengetahuan.
Jika ketidaktahuan disengaja dan tidak perlu maka ia harus mendorong saya dalam
kasus pertama untuk melakukan penyelidikan dogmatis mengenai objek yang saya
ketahui; kedua untuk penyelidikan kritis dalam batas-batas semua pengetahuan
yang bersifat mungkin. Oleh karena itu penentuan batas-batas akal budi dapat
dilakukan hanya berdasarkan landasan apriori; sedangkan pembatasan empiris
terhadap akal budi yang hanya merupakan kondisi yang tidak pasti dari kebodohan
tidak pernah bisa benar-benar dihilangkan, bisa terjadi hanya secara
aposteriori dengan kata lain, pengetahuan empiris kita dibatasi oleh apa yang
belum tetap bagi kita untuk diketahui. Kognisi yang pertama dari ketidaktahuan
kita, yang mungkin hanya atas dasar rasional adalah ilmu; dan yang terakhir
hanyalah merupakan persepsi, dan kita tidak bisa mengatakan seberapa jauh
kesimpulan yang diambil darinya dapat diperluas. Jumlah semua benda yang
mungkin bagi kognisi kita tampaknya bagi kita merupakan permukaan yang rata,
dengan cakrawala yang jelas yang membentuk batas luasnya, dan yang telah
disebut oleh kita sebagai ide totalitas yang dikondisikan. Untuk mencapai batas
ini dengan cara empiris tentu tidak mungkin, dan semua upaya untuk menentukan
hal ini secara apriori berdasarkan prinsip juga sia-sia. Tapi semua pertanyaan
yang diajukan dengan akal budi murni berhubungan dengan sesuatu yang terletak
diluar cakrawala ini, atau setidaknya dalam garis batasnya.
Perhatiannya
terutama diarahkan pada prinsip kausalitas; dan dia mengatakan dengan keadilan
yang sempurna tentang kebenaran prinsip ini, dan bahkan tentang keabsahan
tujuan konsepsi penyebabnya, yang tidak didasarkan pada pemahaman yang jelas,
yaitu berdasarkan sebuah kognisi apriori. Oleh karena itu ia menyimpulkan bahwa
hukum ini tidak memperoleh kewenangannya dan kebutuhannya, tetapi hanya dari
penerapan umum melalui pengalaman, dan merupakan semacam keharusan subjektif
yang timbul yang disebut sebagai kebiasaan. Karena ketidakmampuan akal budi
untuk membangun prinsip ini sebagai hukum yang diperlukan untuk mengakuisisi
seluruh pengalaman, ia menyimpulkan nulitas dari semua upaya akal-budi untuk
melewati wilayah empiris. Kita menunjukkan berdasarkan prinsip-prinsip
yang bisa dilakukan, bukan hanya tentang ketidaktahuan kita dalam kaitanya
dengan subjek ini atau subjek itu, tetapi dalam kaitannya dengan semua
pertanyaan yang bersifat mungkin dari kelompok tertentu. Dengan demikian,
skeptisisme adalah tempat peristirahatan bagi akal budi, di mana ia mungkin
berpikir atas dasar pengembaraan dogmatis dan mendapatkan beberapa pengetahuan
tentang wilayah di mana ia terjadi, sehingga mungkin menempuh sebuah jalan
dengan kepastian yang lebih besar; tetapi tidak bisa secara permanen menjadi
tempat kediaman. Ia harus mengambil tempat tinggalnya yang berada di
wilayah kepastian yang lengkap, apakah hal ini berkaitan dengan kognisi dari
objek itu sendiri atau batas-batas yang terikat dengan semua kognisi
kita.
Akal budi
tidak bisa dianggap sebagai sebuah bidang tanpa batas waktu yang luas, dari
batas-batas di mana kita hanya memiliki pengetahuan yang umum; yang seharusnya
dibandingkan dengan sebuah bidang, radius yang dapat ditemukan dari permukaan
yang lengkung, yaitu sifat dari proposisi sintetis apriori- dan dengan demikian
merupakan lingkarannya dan luasnya. Di luar lingkup pengalaman tidak ada objek
yang dapat disadari sepenuhnya; bahan pertanyaan tentang objek-objek tiruan
yang hanya berhubungan dengan prinsip-prinsip subjektif dari penentuan lengkap
tentang hubungan yang ada ada antara konsepsi pemahaman yang berada dalam
bidang ini. Kami benar-benar memiliki sebuah kognisi sintetis apriori,
sebagaimana dapat dibuktikan dengan adanya prinsip-prinsip pemahaman yang
mengantisipasi pengalaman. Jika seseorang tidak dapat memahami kemungkinan
tentang prinsip-prinsip ini ia mungkin memiliki beberapa alasan untuk melakukan
apakah mereka benar-benar bersifat apriori; tapi dia tidak bisa menyatakan
mereka sebagai sesuatu yang tidak mungkin, dan menegaskan nulitas dari
langkah-langkah dimana akal-budi mungkin telah digunakan sebagai bimbingan
mereka. Dia hanya bisa mengatakan: jika kita melihat asal-usul mereka dan
keaslian mereka, kita harus dapat menentukan luas dan batas-batas akal budi;
tapi sampai kita bisa melakukan hal ini, semua proposisi mengenai keduanya
hanyalah merupakan pernyataan acak belaka. Berdasarkan pandangan ini keraguan
terhadap semua filsafat dogmatis yang berlangsung tanpa bimbingan kritik
memiliki alasan yang kuat; tapi kita tidak bisa menyangkal bahwa akal budi
memiliki kemampuan untuk membangun sebuah filsafat yang masuk akal ketika jalan
sudah disiapkan oleh penyelidikan kritis yang menyeluruh.
BAGIAN III. DISIPLIN
AKAL BUDI MURNI DALAM HIPOTESIS
Kritik atas akal
budi ini sekarang telah mengajarkan kita bahwa semua upaya untuk memperpanjang
batas-batas pengetahuan melalui spekulasi murni benar-benar sia-sia. Begitu
banyak bidang yang lebih luas yang mungkin muncul, yang terbuka bagi hipotesis;
karena ketika kita tidak bisa mengetahui dengan pasti, kita bebas untuk
melakukan dugaan dan membentuk anggapan. Imajinasi mungkin diperbolehkan di
bawah pengawasan ketat dari akal budi untuk menciptakan anggapan; tapi ia harus
didasarkan pada sesuatu yang sangat jelas dan itu adalah objek kemungkinan.
Jika kita juga yakin terhadap poin ini, maka diizinkan untuk meminta bantuan
kepada pengandaian dalam kaitannya dengan realitas objek; tapi pengandaian ini
harus benar-benar beralasan dan memiliki hubungan, sebagai landasan bagi
penjelasan dengan apa yang benar-benar ditentukan dan benar-benar diyakini.
Pengandaian seperti itu disebut hipotesis. Di luar kekuasaan kita untuk
setidaknya membentuk konsepsi apriori dari kemungkinan hubungan dinamis dalam
fenomena; dan kategori pemahaman murni tidak akan memungkinkan kita untuk
menciptakan hubungan tersebut tetapi hanya membantu kita untuk memahaminya.
Untuk alasan ini, berdasarkan kategori tersebut kita tidak bisa membayangkan
atau menemukan objek atau sifat apapun dari suatu objek yang tidak
ditentukan.jika tidak, kita harus mendasarkan rantai kita dalam penggunaan akal
budi berdasarkan khayalan yang tidak masuk akal dan bukan pada konsepsi tentang
benda-benda. Dengan demikian, kita tidak punya hak untuk mengasumsikan
eksistensi kekuatan yang baru, yang tidak ada di alam misalnya pemahaman
tentang intuisi non inderawi, kekuatan atraksi tanpa hubungan, atau beberapa
jenis baru substansi yang menempati ruang namun tidak memiliki sifat dapat
ditembus, dan akibatnya kita tidak bisa berasumsi bahwa ada komunitas jenis
lain diantara beberapa substansi selain yang dapat diamati dalam pengalaman,
setiap jenis kehadiran selain yang hadir dalam ruang, atau segala jenis durasi
darinya dalam waktu.
Konsepsi tentang
akal budi, seperti yang telah kita tunjukkan, hanyalah merupakan ide-ide belaka
dan dan tidak berhubungan dengan objek apapun dalam setiap jenis pengalaman.
Pada saat yang sama, mereka tidak menunjukkan objek imajiner atau objek yang
mungkin. Jika kita meninggalkan landasan pengalaman ini objek-objek tersebut
akan menjadi fiksi pemikiran belaka, yang kemungkinan nya tidak dapat
dibuktikan; dan akibatnya mereka tidak bisa diterapkan sebagai hipotesis dalam
penjelasan fenomena yang nyata. Akal budi tidak memberikan landasan yang baik
untuk mengakui eksistensi wujud yang dapat dipahami, atau sifat yang dapat
dipahami dari benda-benda inderawi meskipun karena kita tidak memiliki konsepsi
tentang kemungkinan mereka atau ketidakmungkinan mereka, ia akan selalu berada
di dalam kekuatan kita untuk menegaskan secara dogmatis bahwa mereka tidak
ada.
Sebuah
hipotesis transcendental, dimana hanya ide tentang akal budi yang digunakan
untuk menjelaskan fenomena alam, tidak akan memberi kita wawasan yang lebih
baik mengenai sebuah fenomena, karena kita harus mencoba untuk menjelaskan
sesuatu dimana kita tidak cukup memahaminya dari prinsip-prinsip empiris yang
diketahui melalui sesuatu yang kita tidak memahaminya sama sekali.
Prinsip-prinsip hipotesis tersebut mungkin menimbulkan kepuasan bagi akal budi,
tapi hal itu tidak akan membantu pemahaman dalam penerapannya terhadap berbagai
objek. Oleh karena itu, hipotesis transcendental tidak dapat diterima; dan kita
tidak bisa menggunakan kebebasan untuk menerapkannya tanpa kehadiran fisik,
yakni landasan hiper fisik bagi penjelasan. Terdapat dua alasan yang
menjadi penyebab hal ini yaitu yang pertama, karena hipotesis tersebut tidak
mengajukan alasan, melainkan berhenti dalam kemajuannya; kedua , karena lisensi
ini tidak akan membuahkan hasil dari semua kerja keras dalam lingkup yang
tepat, yaitu lingkup pengalaman.
Syarat agar
diterimanya hipotesis adalah kecukupannya. Artinya, ia harus menentukan secara
apriori konsekuensi yang diberikan dalam pengalaman dan yang seharusnya
muncul dari hipotesis itu sendiri. Jika kita perlu menggunakan hipotesis
tambahan kecurigaan akan muncul sehingga mereka hanyalah merupakan fiksi belaka;
karena kebutuhan bagi masing-masing memerlukan justifikasi yang sama seperti
dalam kasus hipotesis asli dan dengan demikian kesaksian mereka tidak
valid.
BAGIAN IV. DISIPLIN
AKAL BUDI MURNI DALAM KAITANNYA DENGAN BUKTI.
Ini adalah
sebuah keganjilan yang membedakan bukti proposisi sintetis transcendental
dengan bukti-bukti lainnya dari kognisi sintetis apriori lainnya yakni akal
budi. Ini bukan hanya merupakan aturan kehati-hatian yang penting bagi
kemungkinan bukti proposisi transcendental. Dalam matematika, intuisi apriori
adalah yang memandu sintesis saya; dan dalam kasus ini semua kesimpulan kita
dapat ditarik secara langsung dari intuisi murni. Dalam kognisi transcendental,
selama kita hanya berurusan dengan konsepsi pemahaman kita dibantu oleh pengalaman
yang bersifat mungkin. Artinya bukti dalam lingkup kognisi transcendental tidak
menunjukkan bahwa konsepsi yang diberikan (yakni suatu peristiwa, misalnya)
mengarah langsung kepada konsepsi yang lain (dari sebuah sebab)- karena hal ini
akan menjadi sebuah saltus yang tidak ada ada yang dapat membenarkannya; tapi
ia menunjukkan pengalaman itu sendiri, dan akibatnya menunjukkan objek
pengalaman yang mustahil tanpa adanya hubungan yang ditunjukkan oleh konsepsi
ini. Oleh karena itu bukti tersebut harus menunjukkan kemungkinan sintetis dan
apriori yang sampai pada pengetahuan tertentu tentang benda-benda, yang tidak
terkandung dalam konsepsi kita mengenai benda-benda ini. Kecuali kita memberi
perhatian khusus terhadap persyaratan ini dan bukti kita, bukannya menempuh
jalan yang lurus yang ditunjukkan oleh akal budi, yang mengikuti jalan
berliku-liku dari hubungan subjektif belaka.
Karena
alasan ini, semua upaya yang telah dilakukan untuk membuktikan prinsip
akal-budi yang memadai, menurut pengakuan universal para filsuf, setelah
mengalami kegagalan; dan sebelum munculnya kritik transendental, baik karena
prinsip ini tidak bisa ditinggalkan untuk menyatakan dengan berani tentang akal
sehat manusia , daripada mencoba untuk menemukan bukti dogmatis yang baru.
Tapi, jika proposisi yang harus dibuktikan itu adalah proposisi akal budi murni
dan jika saya bertujuan untuk melangkah diluar konsepsi empiris saya dengan
bantuan ide belaka, maka sangat penting bahwa bukti yang pertama harus
menunjukkan bahwa langkah dalam sintesis tersebut adalah mungkin sebelum
melanjutkan untuk membuktikan kebenaran dari proposisi itu sendiri apa yang
disebut sebagai bukti tentang sifat sederhana jiwa dari kesatuan apersepsi
adalah salah satu bukti yang sangat masuk akal.
BAB
II. NORMA BAGI AKAL BUDI MURNI
Sungguh
merupakan pertimbangan yang memalukan bagi akal budi manusia yang tidak mampu
untuk menemukan kebenaran melalui spekulasi murni, tetapi sebaliknya, ia sangat
membutuhkan disiplin untuk memeriksa penyimpangannya dari jalan yang lurus dan
untuk menyingkapkan ilusi yang berasal darinya. Tapi di sisi lain,
pertimbangan ini harus meningkatkan dan memberikan kepercayaan diri karena
disiplin ini dilaksanakan oleh dirinya saja, dan ia tunduk pada kecaman dari
kekuatan lainnya. Apalagi batasnya yang dipaksa untuk diterapkan oleh penerapan
spekulatif juga melakukan sebuah pemeriksaan atas pretensi lawan yang keliru;
dan dengan demikian apa yang tersisa dari yang dimilikinya, setelah klaim yang
berlebihan ini telah dianulir, aman dari serangan atau perampasan. Dengan
demikian, yang terbesar dan mungkin satu-satunya dalam penggunaan semua
filsafat akal budi murni memiliki karakter negatif murni. Pada saat yang
sama, harus ada beberapa sumber kognisi positif yang termasuk ke dalam
wilayah akal budi murni dan yang menjadi penyebab kesalahan hanya karena kita
menganggapnya sebagai karakter mereka yang sebenarnya, sementara mereka
membentuk tujuan ke suatu arah dimana akal budi terus mengupayakannya.
BAGIAN
I. TENTANG TUJUAN AKHIR PENGGUNAAN AKAL BUDI MURNI
Di dalam akal
budi terdapat hasrat kodrati untuk melakukan usaha di luar bidang pengalaman
untuk mencoba mencapai batas maksimal dari semua kognisi melalui bantuan ide
belaka dan tidak untuk berpuas diri jika telah mencapai kognisi keseluruhan
dalam subsistensi diri secara sistematis . Apakah motif dalam usaha ini dapat
ditemukan pada kepentingan spekulatif nya atau kepentingan praktis nya saja?
Dengan mengabaikan hasil usaha akal budi murni dalam penerapan spekulatif nya
pada saat ini, saya hanya akan menanyakan mengenai masalah solusi yang
membentuk tujuan akhirnya, apakah tercapai atau tidak, dalam kaitannya dengan
semua tujuan lain yang bersifat parsial dan tujuan perantara. Tujuan tertinggi
ini berdasarkan sifat akal budi harus memiliki kesatuan yang lengkap.
Spekulasi transendental dalam akal budi berkaitan dengan tiga hal titik2
kebebasan kehendak, keabadian jiwa dan eksistensi tuhan. Kita mungkin akan
menemukan bahwa kehendak itu memiliki kebebasan tetapi pengetahuan ini hanya
berkaitan dengan penyebab yang dapat dimengerti dari kemauan kita. Mengenai
fenomena atau ekspresi dari kehendak kehendak ini, yaitu tindakan kita terikat
untuk menaati pepatah yang tidak dapat diganggu gugat yang tanpanya akal budi
tidak dapat digunakan dalam bidang pengalaman. Untuk menjelaskan hal ini dengan
cara yang sama seperti yang kita jelaskan mengenai semua fenomena alam lainnya,
yaitu berdasarkan hukum-hukumnya yang tidak dapat berubah. Kita mungkin telah
menemukan l spiritualitas dan keabadian jiwa, tetapi kita tidak bisa
menggunakan pengetahuan ini untuk menjelaskan fenomena tentang kehidupan ini,
atau keadaan khusus di masa depan karena konsepsi kita yang bersifat
incorporeal benar-benar negatif dan tidak menambahkan sesuatu kepada
pengetahuan kita dan satu-satunya kesimpulan yang bisa ditarik dari nya
benar-benar bersifat fiktif. Jika sekali lagi kita membuktikan adanya sebuah
kecerdasan yang tertinggi, darinya kita harus bisa membuat kesesuaian dengan
tujuan yang ada dalam susunan dunia yang dapat dipahami; tapi kita tidak
dibenarkan untuk menyimpulkan darinya setiap pengaturan atau disposisi
tertentu, atau menyimpulkan apapun yang tidak dapat dipersepsikan. Karena ia
merupakan aturan yang diperlukan dalam penggunaan spekulatif akal budi sehingga
kita tidak harus mengabaikan sebab-sebab alamiah atau menolak untuk
mendengarkan pelajaran dari pengalaman, demi menyimpulkan apa yang kita tahu
dan memahami dari sesuatu yang berada diluar semua pengetahuan kita. Pendek
kata 3 proposisi ini, karena akal budi spekulatif selalu bersifat transenden
dan tidak dapat digunakan sebagai prinsip-prinsip imanen dalam kaitannya dengan
objek pengalaman; akibatnya mereka tidak ada gunanya bagi kita dalam bidang ini
sehingga menjadi tidak berharga bagi upaya kita, dan tidak menguntungkan bagi
akal budi. Oleh karena itu dalam bidang ini akal budi tidak bisa menghadirkan
kepada kita selain hukum pragmatis dari tindakan bebas, karena bimbingan kita
terhadap tujuan yang ditetapkan oleh indera tidak mampu untuk memberikan hukum
murni dan pasti secara apriori semua kekuatan akal budi dalam bidang yang dapat
disebut sebagai filsafat murni pada kenyataannya ditunjukkan kepada tiga
masalah yang disebutkan di atas saja. Sekarang, karena masalah ini berkaitan
dengan tujuan tertinggi umat manusia jelaslah bahwa tujuan utama alam, dalam
menciptakan akal budi kita telah diarahkan kepada masalah moral saja.
Pengalaman
menunjukkan kepada kita adanya kebebasan praktis sebagai salah satu penyebab
yang ada di alam yaitu ia menunjukkan kekuatan kausal bagi akal budi dalam
penentuan kehendak titik sebaliknya, ide kebebasan transcendental membutuhkan
akal budi tersebut dalam kaitannya dengan kekuatan kausal nya yang dimulai
dengan serangkaian fenomena yang harus bebas dari semua penyebab inderawi yang
menentukan; dan dengan demikian tampaknya ia bertentangan dengan hukum alam dan
dengan semua pengalaman yang bersifat mungkin.
BAGIAN
II. TENTANG CITA-CITA SUMMUM BONUM SEBAGAI LANDASAN PENENTUAN BAGI TUJUAN AKAL
BUDI MURNI.
Akal budi
menjelaskan kepada kita dalam penggunaan speculative nya melalui bidang
pengalaman, dan karena ia tidak pernah dapat menemukan kepuasan yang lengkap di
bidang tersebut dari sini ke pada ide-ide spekulatif, namun demikian pada
akhirnya membawa kita kembali lagi kepada pengalaman, dan dengan demikian
memenuhi tujuan akal budi dengan cara yang meskipun berguna namun sama sekali
tidak sesuai dengan harapan kita. Dengan demikian, kita harus memastikan apakah
dari sudut pandang kepentingan praktis, akal budi tidak dapat memberikan kepada
kita sisi spekulatif yang sepenuhnya mengajukan bantahan kepada kita. Seluruh
kepentingan akal budi baik yang spekulatif maupun yang praktis, berpusat pada
tiga pertanyaan berikut:
1.
Apa yang bisa saya ketahui?
2.
Apa yang harus saya lakukan?
3.
Apa yang dapat saya harapkan?
Pertanyaan
pertama benar-benar bersifat spekulatif. Kita telah menggunakan semua jawaban
yang bersifat rentan, dan pada akhirnya telah menemukan jawaban yang dengan
jawaban itu akal budi harus berpuas diri, dan yang dengannya ia merupakan isi,
asalkan ia tidak menaruh perhatian kepada yang praktis. Sejauh ini sepanjang
yang bersangkutan dengan pengetahuan tersebut setidaknya pengetahuan yang telah
ditegakkan dalam kaitannya dengan kedua masalah tersebut ia terletak di luar
jangkauan kita.
Pertanyaan
kedua benar-benar bersifat praktis. Karena ia mungkin berada dalam wilayah akal
budi murni, tapi tetap saja tidak bersifat transcendental, tapi bersifat moral,
dan akibatnya tidak bisa dengan sendirinya membentuk subjek bagi kritik kita.
Pertanyaan
ketiga, ika saya bertindak sebagai mana saya harus melakukannya, apakah
kemudian yang bisa saya harapkan? Masalah tersebut sekaligus bersifat praktis
dan teoritis. Karena semuanya berharap untuk memiliki kebahagiaan bagi obyeknya
dan ia berada dalam hubungan yang sama dengan hukum praktis dalam hukum
moralitas ketika mengetahui tentang kondisi teoritis tentang benda-benda dan
hukum alam.
Yang pertama
pada akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa ada sesuatu yang menentukan tujuan
akhir, karena sesuatu harus terjadi; dan yang terakhir, bahwa sesuatu adalah
yang beroperasi sebagai penyebab tertinggi, karena sesuatu tidak terjadi.
Kebahagiaan adalah kepuasan atas semua keinginan kita yang bersifat luas dalam
kaitannya dengan keanekaragaman mereka; yang bersifat intensif dalam kaitannya
dengan tingkatan mereka; dan bersifat potensi dalam kaitannya dengan
keberlangsungan mereka. Yang pertama didasarkan pada prinsip-prinsip empiris;
karena hanya dengan pengalaman sehingga saya dapat belajar kecenderungan yang
ada yang menginginkan kepuasan, atau cara apa saja yang bersifat alami untuk
memuaskan mereka.
Yang kedua
tidak memperhitungkan keinginan kita atau sarana untuk memuaskan mereka,
dan hanya menganggap kebebasan dari sebuah wujud rasional dan kondisi
yang diperlukan di mana saja kebebasan ini dapat menyelaraskan dengan tersebarnya
kebahagiaan berdasarkan prinsip-prinsip. Hukum kedua ini dengan demikian
bersandar pada ide belaka pada akal budi murni dan mungkin dipikirkan secara
apriori. Oleh karena itu, akal budi murni sesungguhnya tidak mengandung prinsip
spekulatif, tetapi dalam arti yang lebih tepat dalam penerapan moralnya
menggunakan prinsip-prinsip kemungkinan pengalaman, di mana tindakan tersebut
yang sesuai dengan ajaran etika, mungkin dapat ditemukan dalam sejarah manusia.
Sebab, akal budi memerintahkan agar tindakan tersebut harus dilakukan, ia harus
dimungkinkan bagi mereka untuk dilaksanakan titik, dan karenanya merupakan
jenis tertentu dari kesatuan yang sistematis, yakni moral yang bersifat
mungkin. Hal ini kemudian digunakan terutama dalam penggunaan moral, sehingga
prinsip-prinsip akal budi murni memiliki realitas objektif. Tapi dunia ini
harus dipahami hanya sebagai dunia yang dapat dimengerti, karena abstraksi di
dalamnya berasal dari semua kondisi atau tujuan, dan pakan dalam semua hambatan
moralitas (kelemahan atau kekurangan sifat manusia).
Sekarang
dalam dunia moral yang dapat dimengerti, dalam konsepsi dimana kita dapat
membuat abstraksi dari semua hambatan bagi moralitas (hasrat inderawi), maka
sistem kebahagiaan seperti itu berhubungan secara proporsional dengan moralitas
yang dapat dipahami sebagai sesuatu yang diperlukan, karena kebebasan dalam
kemauan sebagian memicu dan sebagian menahan hukum-hukum moral dengan
sendirinya merupakan penyebab bagi kebahagiaan umum; dan dengan demikian wujud
rasional di bawah bimbingan prinsip-prinsip tersebut akan menjadi pencipta bagi
diri mereka sendiri baik dalam kesejahteraan abadi mereka sendiri maupun bagi
orang lain. Dengan demikian cita-cita kebaikan hakiki tertinggi, yaitu akal
budi murni, dapat menemukan landasan nya dalam hubungan praktis dari unsur
kebaikan dari fatih tertinggi, yaitu dunia moral. Oleh karena itu hukum moral
secara universal dianggap sebagai perintah, di mana mereka tidak bisa
menghubungkan konsekuensi tersebut secara apriori dengan perintah mereka, dan
dengan demikian membawa bersama mereka janji-janji sekaligus ancaman.
Seluruh proses
kehidupan kita harus tunduk pada prinsip-prinsip moral; tapi hal ini tidak
mungkin kecuali dengan hukum moral, yang hanya merupakan ide belaka titik akal
budi menghubungkan penyebab yang mentasbihkan semua perilaku yang sesuai dengan
hukum moral sebagai isu, baik dalam kehidupan ini atau dalam kehidupan yang
akan datang, yang sesuai dengan tujuan tertinggi kita titik dengan demikian,
tanpa tuhan dan tanpa dunia, tidak ada yang tidak terlihat oleh kita sekarang
kecuali harapannya dan ide-ide yang mulia tentang moralitas. Sesungguhnya semua
itu merupakan objek-objek persetujuan dan kekaguman tetapi tidak bisa menjadi
sumber dari tujuan dan tindakan. Karena mereka tidak memenuhi semua tujuan yang
bersifat alami bagi setiap wujud rasional, dan yang ditentukan secara apriori
oleh akal budi murni itu sendiri, dan sangat diperlukan.
BAGIAN III. TENTANG OPINI.
PENGETAHUAN. DAN KEYAKINAN.
Adanya
sebuah benda sesungguhnya merupakan fenomena dalam pemahaman kita yang mungkin
berada dalam landasan yang objektif, tetapi juga membutuhkan penyebab subjektif
dalam pikiran orang yang menilainya. Jika sebuah penilaian berlaku bagi setiap
wujud rasional, maka landasannya secara objektif telah mencukupi, dan ia
disebut sebagai sebuah keyakinan. Jika di sisi lain ia memiliki landasan dalam
karakter tertentu dari subjek tersebut ia disebut sebuah persuasi. Persuasi
adalah ilusi belaka, landasan dalam penilaian, yang hanya berada di dalam
subjek yang dianggap objektif. Oleh karena itu, penilaian semacam ini hanya
memiliki validitas pribadi yang hanya berlaku bagi individu yang menilai, dan
adanya suatu benda hanya berlaku dengan cara ini yang tidak dapat
dikomunikasikan.
Dengan
demikian keyakinan dari sudut pandang eksternal mungkin harus dibedakan dengan
persuasi, melalui kemungkinan untuk mengomunikasikannya dengan menunjukkan
validitasnya bagi akal budi dari setiap manusia; karena dalam hal ini anggapan
tersebut setidaknya muncul sehingga kesesuaian satu sama lain, terlepas dari
karakternya yang berbeda pada setiap individu bersandar pada kesamaan
kesesuaian masing-masing dengan objek nya, dan dengan demikian kebenaran
terhadap penilaian tersebut telah ditegakkan.
Dalam penilaian
akal budi murni, opini tidak memiliki tempat titik karena mereka tidak berada
dalam landasan empiris dan karena lingkup akal budi murni merupakan kebenaran
yang diperlukan dan merupakan kognisi apriori prinsip hubungan didalamnya
membutuhkan universalitas dan kebutuhan, dan akibatnya memerlukan
kepastian yang sempurna titik oleh karena itu sungguh tidak masuk akal untuk
memiliki pendapat berdasarkan matematika murni; kita harus tahu atau menjauhkan
diri sama sekali dari membentuk penilaian. Kasus ini sama dengan prinsip
prinsip moralitas. Karena kita tidak harus mengambil resiko sebuah
tindakan berdasarkan opini belaka, tapi kita harus tahu bahwa hal itu terjadi
titik di sisi lain dalam bidang akal budi transcendental, istilah opini terlalu
lemah sedangkan istilah pengetahuan terlalu kuat. Oleh karena itu, dari sudut
pandang spekulatif saja, kita tidak bisa membentuk sebuah penilaian sama
sekali.
Kita menemukan
di dalam penilaian teoritis murni terdapat analogi dalam penilaian praktis, di
mana istilah keyakinan dapat diterapkan dengan benar, dan mungkin kita bisa
menyebutnya sebagai keyakinan doktrinal. Saya tidak perlu ragu untuk menyatakan
kebenaran proposisi saya jika ada kemungkinan untuk membawanya kepada tes atas
pengalaman yang setidaknya pada beberapa planet yang dihuni yang kita lihat.
Oleh karena itu saya katakan bahwa saya tidak saja memiliki opini, tetapi juga
memiliki keyakinan yang kuat, yang dengan kebenarannya saya bahkan
mempertaruhkan banyak keuntungan dalam kehidupan sehingga di dunia yang lain
ada penduduknya. Sekarang kita harus mengakui bahwa doktrin eksistensi tentang
tuhan merupakan bagian dari keyakinan doktrinal. Dalam kebijaksanaan wujud yang
maha tinggi dan dalam kehidupan yang singkat, sangat tidak memadai bagi
pengembangan kekuatan mulia sifat manusia sehingga kita dapat menemukan
landasan yang cukup bagi keyakinan doktrinal dalam kehidupan masa depan jiwa
manusia. Istilah keyakinan hanya mengacu pada bimbingan yang diberikan oleh ide
kepada saya, dan terhadap pengaruh subjektifnya terhadap perilaku akal budi
saya, yang memaksa saya untuk memegangnya dengan erat, meskipun saya mungkin
tidak berada dalam posisi untuk memberikan penjelasan spekulatif tersebut.
Namun keyakinan doktrinal saja sampai batas tertentu membutuhkan stabilitas.
Kita seringkali melepaskan pegangan kita sebagai akibat dari kesulitan yang
terjadi dalam spekulasi, meskipun pada akhirnya kita pasti kembali ke sana
lagi.
BAB
III. ARSITEKTONIS AKAL BUDI MURNI
Yang saya maksud
dengan istilah arsitektonis adalah seni membangun sebuah sistem titik tanpa
kesatuan sistematis pengetahuan kita tidak bisa menjadi ilmu; ia akan menjadi
sebuah agregat dan bukan sistem. Jadi arsitektonis adalah doktrin ilmiah dalam
kognisi, dan karena itu tentu merupakan bagian dari metodologi kita. Akal budi
tidak dapat mengizinkan pengetahuan kita untuk tetap berada dalam keadaan yang
tidak terhubung, tetapi menghendaki agar jumlah komisi kita menjadi suatu
sistem titik dengan demikian mereka dapat melangkah maju untuk mencapai tujuan
akal budi. Yang saya maksud dengan sebuah sistem adalah kesatuan berbagai
komunitas dibawah satu ide. Ide adalah konsepsi yang diberikan oleh akal budi
dari bentuk keseluruhan, sejauh konsepsi menentukan secara apriori bukan saja
batas isinya, tetapi yang ditempati oleh masing-masing bagiannya. Dengan
demikian gagasan ilmiah itu berisi tujuan dan bentuk keseluruhan yang sesuai
dengan tujuan tersebut. Untuk mewujudkan ide dari sebuah sistem, kita
membutuhkan skema, yaitu isi dan susunan bagian yang ditentukan secara apriori
dengan prinsip yang bertujuan untuk mengaturnya. Sebuah skema yang tidak bisa
diproyeksikan sesuai dengan sebuah ide, yaitu dari sudut pandang tujuan
tertinggi akal budi, tetapi hanya secara empiris, yakni sesuai dengan tujuan
yang tidak disengaja dan tujuan yang tidak dapat memberikan apa-apa selain
kesatuan teknis. Namun skema tersebut yang berasal dari sebuah ide (di mana
akal budi menyajikan kepada kita dengan tujuan apriori, dan tidak terlihat bagi
mereka untuk mengalaminya), yang membentuk dasar bagi kesatuan
arsitektonis.
Tujuan kita saat
ini adalah semata-mata untuk membuat sketsa rencana arsitektonis dari semua
kognisi yang diberikan oleh akal budi murni; dan kita memulainya dari titik di
mana akar utama pengetahuan manusia terbagi menjadi dua salah satunya adalah
akal budi. Dengan akal budi saya dapat memahami seluruh fakultas yang lebih
tinggi pada kondisi, wujud rasional yang ditempatkan secara berseberangan
dengan wujud empiris. Semua kognisi rasional sekali lagi berdasarkan pada
konsepsi atau pada pembangunan konsepsi. Yang pertama disebut filosofis
dan yang kedua disebut matematis. Sebuah kognisi mungkin secara objektif
bersifat filosofis dan secara subjektif bersifat historis.
Dengan demikian dari semua ilmu pengetahuan apriori tentang akal budi,
matematika saja yang bisa dipelajari titik filsafat kecuali yang bersifat
historis tidak dapat dipelajari; kita paling-paling hanya bisa belajar untuk
berfilsafat. Filsafat adalah sistem dari semua kognisi filosofis. Kita harus
menggunakan istilah ini dalam arti kata objektif, jika kita memahami dengannya
pola dasar dari semua upaya untuk berfilsafat, dan standar yang dengannya
semua filsafat subjektif harus dinilai titik dalam hal ini tirta fat hanyalah
merupakan gagasan ilmu yang mungkin yang tidak ada, tapi yang dengannya kita
berusaha dengan berbagai cara untuk mendekatinya, sampai kita telah menemukan
jalan yang benar untuk memperolehnya sebuah jalan yang ditumbuhi oleh kesalahan
dan ilusi indera dan gambar di mana kita sampai sekarang telah mencoba namun
hasilnya sia-sia. Sampai saat itu, kita tidak bisa mempelajari filsafat
karena ia tidak ada; jika tidak, dimanakah iya yang memilikinya, dan
bagaimanakah kita mengetahuinya? Kita hanya bisa belajar berfilsafat; dengan
kata lain, kita hanya dapat menggunakan kekuatan akal budi kita sesuai dengan
prinsip-prinsip umum, pada saat yang sama mempertahankan hak untuk menyelidiki
sumber prinsip-prinsip ini mengujinya dan bahkan menolaknya.
Ide
dasar dari filsafat akal budi murni mengharuskan pembagian ini; oleh karena itu
ia bersifat arsitektonis yang sesuai dengan tujuan tertinggi akal budi, dan
bukan hanya bersifat teknis atau sesuai dengan kesamaan yang dengan tidak
sengaja telah diamati di antara bagian yang berbeda dari seluruh ilmu tersebut.
Kita telah belajar dari pengalaman bahwa tidak ada yang lebih diperlukan untuk
menyajikan kepada kita sebuah objek pada umumnya dari indera eksternal atau
dari indera internal. Dalam kasus yang pertama, melalui konsepsi tentang materi
belaka (ekstensi yang tidak dapat ditembus dan tidak bernyawa), dan pada yang
terakhir berdasarkan konsepsi tentang makhluk berpikir, yang diberikan dalam
representasi empiris internal. Karena pokok persoalannya adalah unsur-unsur dan
prinsip-prinsip tertinggi dalam akal budi, yang membentuk dasar dari
kemungkinan beberapa ilmu dan penggunaan semuanya. Sehingga sebagai ilmu
spekulatif murni, ia lebih berguna dalam mencegah kesalahan daripada
memperluas pengetahuan, yang tidak mengurangi nilainya. Sebaliknya, kedudukan
tertinggi bagi sensor yang ia lakukan adalah untuk menjamin otoritasnya yang
tertinggi dan kepentingannya. Kedudukan ini adalah untuk mengamankan
ketertiban, ketidakharmonisan, dan kesejahteraan ilmu pengetahuan dan
mengarahkan usaha yang mulia dan bermanfaat tersebut untuk mencapai tujuan yang
tertinggi yaitu kebahagiaan bagi seluruh umat manusia
BAB IV. SEJARAH AKAL BUDI MURNI
1.
Dalam kaitannya dengan objek kognitif akal budi, filsuf
dapat dibagi menjadi penganut inderawi dan penganut intelektual. Dapat dianggap
sebagai pelopor bagi yang pertama, dan plato sebagai pelopor yang terakhir.
Perbedaan tersebut disini menunjukkan tanggal permulaannya dan telah lama di
pertahankan titik yang pertama menegaskan bahwa realitas berada dalam objek
indrawi saja, dan bahwa segala sesuatu yang lain hanyalah khayalan; dan yang
kedua menyatakan bahwa indera adalah induk dari ilusi dan kebenaran yang dapat
ditemukan dalam pemahaman saja. Yang pertama tidak menyangkal konsepsi tentang
pemahaman, tapi bagi mereka hal itu hanyalah bersifat logis,dan bagi orang lain
bersifat mistis. Yang pertama mengakui adanya konsepsi intelektual, tetapi
menyatakan bahwa objek indrawi hanya dimiliki oleh eksistensi yang nyata. Yang
terakhir menyatakan bahwa semua objek-objek yang nyata dapat dipahami dan
percaya bahwa pemahaman murni memiliki sebuah fakultas intuisi selain
indra, yang menurut pendapat mereka hanya berfungsi untuk membingungkan
ide-ide dari pemahaman
2.
Dalam kaitanya dengan asal-usul kognisi murni akal
budi, aristoteles dapat dianggap sebagai tokoh empiris, dan plato adalah tokoh noologis.
Locke, pengikut aristoteles di zaman modern, dan leibnitz sebagai pengikut
plato (meskipun ia tidak dapat dikatakan telah meniru dia dalam mistisismenya),
belum mampi membawa pertanyaan ini kepada kesimpulan yang pasti. Prosedur
epicurus dalam sitem inderawinya, di mana ia selalu membatasi kesimpulannya
pada bidang pengalaman, jauh lebih konsekuen daripada aristoteles dan
locke.
3.
Dalam hubungannya dengan metode. Metode adalah prosedur
berdasarkan prinsip-prinsip. Kita saat ini dapat membagi metode penerapan
dibidang penyelidikan menjadi naturalistik dan ilmiah. Penganut naturalisme
akal budi murni meletakkannya sebagai prinsip akal budi umum, tanpa bantuan
ilmu pengetahuan yang disebutnya sebagai akal budi yang masuk akal, atau akal
sehat yang dapat memberikan jawaban yang lebih memuaskan atas pertanyaan
metafisika yang paling penting dari spekulasi yang mampu untuk dilakukan. Ikuti
akal sehat tanpa menunjukkan ketidaktahuan mereka sebagai sebuah metode yang
mengajarkan kita rahasia yang luar biasa, bagaimana kita dapat menemukan
kebenaran yang berada di dasar pemikiran Democritus. Mengenai orang-orang yang
ingin menerapkan metode ilmiah, mereka sekarang memiliki pilihan dogmatis atau
skeptis, sementara mereka terikat untuk tidak pernah meninggalkan modus
prosedur sistematis. Ketika saya menyebutkan dalam kaitannya dengan yang
pertama, Wolf yang terkenal dan dalam hubungannya dengan yang terakhir,
David Hume, sesuai dengan maksud saya ini, saya dapat meninggalkan orang-orang
lain yang tidak disebutkan namanya.
Komentar
Posting Komentar